Home Blog

Potensi & Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan per November 2021

0

Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat Setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraan-nya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan kemitraan kehutanan.

Pemerintah sejak tahun 2015 telah berkomitmen dan telah mencadangkan areal kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar untuk dapat dikelola oleh masyarakat. Sedangkan untuk di Sumatera Selatan, indikatif Hutan Sosial yang dituangkan dalam Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial seluas ± 247.185,56 Hektar, yang terdiri dari Hutan Lindung seluas 16.645,59 Ha, Hutan Produksi seluas 171.385,66 Ha, Hutan Produksi Konversi seluas 15.737,61 Ha, dan Hutan Produksi Terbatas seluas 43.416,70 Ha. (SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK.4028/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/5/2021 tentang Peta Indikatif Perhutanan Sosial – Revisi VI)

Hingga November 2021, pencapaian program Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan seluas 121,7 ribu Hektar yang terdiri dari 24 unit Hutan Desa, 77 Hutan Kemasyarakatan, 68 Unit Hutan Tanaman Rakyat, 2 unit Hutan Adat, dan 10 unit Kemitraan.

Perkembangan PS di Sumsel berdasarkan skema luasan

Perhutanan Sosial merupakan bentuk pengelolaan hutan lestari dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya dan menjaga kelestarian hutan. Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan telah memberikan akses kelola kepada masyarakat sekitar 29.801 KK.

Dengan adanya program ini, diharapkan pengelolaan kawasan hutan dapat memberikan kesejahteraan langsung kepada masyarakat dengan hak pengusahaan yang diserahkan ke masyarakat.

Tabel Perkembangan Luas Lahan Perhutanan Sosial WIlyah UPTD KPH Sumatera Selatan
sd. November 2021
Tabel Perkembangan Luas Lahan Izin Perhutanan Sosialdi Sumatera Selatan
per November 2021

SEGUDANG PERSOALAN BARU DALAM AMBISI PENINGKATAN KAPASITAS OKI MILL APP DI SUMATERA SELATAN

0
Lahan Suku anak dalam
default

Segudang persoalan baru PT. OKI Mill Asian Pulp and Paper (APP) dalam ambisinya meningkatan kapasitas produksi telah diprediksi akan banyak menimbulkan masalah, terutama dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku yang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan.

Situasi ini sekaligus akan menambah daftar kelam kejahatan yang terus disajikan oleh anak perusahaan pemasok bahan baku APP. Karena ambisi peningkatan produksi ini tentu akan menekan seluruh anak perusahaan HTI pemasok bahan baku untuk optimalisasi konsesi secara rakus dan berpotensi mengabaikan tanggung jawab sosial, lingkungan, dan aturan-aturan yang ada.

Tedapat tiga isu krusial yang ditimbulkan dari peningkatan kapasitas produksi OKI Mill yaitu penggusuran lahan, pembiaran konflik dan pengangkangan fungsi konservasi dan ekosistem penting lainnya.

Penggusuran Lahan
Baru-baru ini PT. Bumi Persada Permai (BPP) salah satu anak perusahaan APP telah menampilkan satu akrobatik aksi brutal penggusuran lahan usaha masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang berada di dalam konsesi.
Penggusuran ini dilakukan oleh PT. BPP pada tanggal 16 September 2021 yang mengakibatkan 6 Ha lahan usaha Suku Anak Dalam (SAD) dan 15 Ha lahan garapan masyarakat Pagar Desa diratakan dengan alat berat.
Aksi penggusuran yang dilakukan oleh PT. BPP ini sama sekali tidak menjunjung prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) yaitu menghormati hak masyakat yang berada didalam konsesi. Penggusuran ini menambah daftar baru konflik yang terjadi di dalam konsesi perusahaan pemasok bahan baku APP di Sumatera Selatan.

Pondok Suku Anak Dalam (SAD)

Pembiaran Konflik.
Komitmen menyelesaiakan konflik sosial secara berkeadilan sebagaimana yang telah dituangkan dalam kebijakan FCP hanya lip service dan kamuflase APP dalam membangun image publik semata. Sampai saat ini belum ada konflik yang terselesaikan secara tuntas dan berkeadilan. Bagi perusahaan, konflik seakan hanya dimaknai sebatas “deklarasi penyelesaian” dan tidak sampai pada implementasi kesepakatan.
Sebagaimana yang dialami oleh masyarakat Riding yang berkonflik dengan PT. BMH, masyarakat Pulai Gading dengan PT. BPP dan masyarakat Sinar Harapan dengan PT BPP.
Ketiga konflik yang dialami oleh masyarakat ini tidak ada yang terselesaikan sampai tuntas dan implementatif sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai. Pengabaian dalam menjalankan kesepakatan ini seakan-akan sengaja dilakukan oleh perusahaan untuk menciptakan dinamika di kelompok masyarakat yang berkonflik agar muncul konflik horizontal antar masyarakat.

default

Pengangkangan Fungsi Konservasi dan Ekosistem Penting lainnya.
Berdasarkan dari asesmen Report Industrial Forest Plantation High Conservation Value Public Summary PT. Bumi Persada Permai, 24.050 Ha, Musi Banyuasin Regency, South Sumatra Province September – November 2013, disebutkan bahwa tidak ada tegakan akasia 100 meter dari tepian sungai.
Dalam prakteknya di lapangan komitmen HCV ini tidak dijalankan dan bahkan  ditemukan ditepian Sungai Badak ditanam eucalyptus dan di land clearing oleh PT. BPP. Sehingga menghilangkan area yang meyediakan keanekaragaman hayati sebagai fungsi pendukung dan perlindungan lingkungan dan berdampak pada hilangnya penyediaan air dan rentan terjadi banjir.

Infografis: Capaian Perhutanan Sosial Sumsel 2024

0
Data info grafis Perhutanan Sosial, diolah berdasarkan update Pokja PPS Sumsel sepanjang tahun 2024. (HaKI)

Sepanjang tahun 2024, pergerakan penerbitan izin atau capaian Progam Perhutanan Sosial 2024 Sumatera Selatan (Sumsel), berjalan lamban. Berdasarkan data dari Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja-PPS) Sumatera Selatan (Sumsel), menunjukkan bahwa terhitung Januari hingga Desember 2024, terdapat 3.721 Ha dengan 9 izin baru PS 783 KK. Skema PS sepanjang tahun 2024 ini pertumbuhannya didominasi yaitu Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang tercatat mencapai 116 unit izin dengan luasan 50.672,53 Ha.

Data infografis Perhutanan Sosial, diolah berdasarkan update Pokja PPS Sumsel sepanjang tahun 2024. (HaKI)

Beda halnya dengan Hutan Adat, yang seakan berjalan di tempat yakni dua unit izin dengan luasan 379,70 Ha. Padahal merujuk pada data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Sumsel memiliki potensi hutan adat mencapai 146.000 Ha. Dalam Rapat Kerja Pokja PPS Sumsel, pada Desember 2024 menunjukkan potensi PS berdasarkan PIAPS Revisi IX atau untuk dapat diusulkan PS seluas 99.465 Ha sepanjang. Untuk memaksimalkan ruang tersisa bagi perhutanan sosial, Hutan Kita Institute menilai, dua hal yang perlu segera dilakukan adalah peningkatan kapasitas masyarakat dan penerapan teknologi untuk pemantauan dan pengelolaan hutan yang lebih efisien. (*)

Restrukturisasi Pokja PPS, Menekan Kesalahpahaman

0
Deddy Permana, S.Si Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute. (dok. HaKI)

Oleh: Deddy Permana, S.Si
Direktur Eksekutif Hutan Kita Insatitute

Keterlibatan lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait sangat penting dalam mendukung pemberdayaan masyarakat melalui program perhutanan sosial, yang berkesesuaian dengan tugas dan tanggung jawab dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menjaga kelestarian hutan.

Sinergi antar OPD ini diperlukan untuk menunjang mengembangkan usaha perhutanan sosial yang terintegrasi dengan pemanfaatan hutan sesuai dengan sektor masing-masing OPD.

Meskipun kebijakan perhutanan sosial telah ada sejak lama, saat ini masyarakat diberikan hak pengelolaan yang lebih jelas, sehingga mereka lebih diuntungkan untuk pengelolaan hutan lestari yang dilakukan dalam kawasan hutan Negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat atau masyarakat hukum adat, sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.

Implementasi program perhutanan sosial tidak jarang menghadapi kendala serius akibat kesalahpahaman antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Program yang seharusnya memperkuat pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini justru terhambat karena kurangnya sinkronisasi antara dinas terkait.

Di sisi lain, Dinas Lingkungan Hidup fokus pada aspek keberlanjutan dan pengendalian dampak lingkungan. Ketiga perspektif ini penting, tetapi tanpa koordinasi yang baik, program yang seharusnya menjadi solusi justru berubah menjadi sumber masalah.

Solusi dari Restrukturisasi
Perubagan susunan pejabat dari PSKL, merupakan solusi dalam mengantisipasi gejolak yang tak nampak di permukaan namun dapat mengganggu bekerlangsungan program strategis pemerintah dalam melegalisasi pengelolaan kawasan hutan secara berkelanjutan.

Jika diperhatikan, sebelum kedudukan tertinggi di tingkat daerah dipegang oleh Sekda (Provinsi), posisi tersebut dimandatkan kepada Dinas Kehutanan. Sedangkan OPD lain terkesan tidak memiliki peranan, meskipun secara kelembagaan, merupakan satu kesatuan untuk membangun atau memaksimalkan potensi yang ada dalam menyejahterakan masyarakat, terutama di sekitar kawasan hutan.

Komunikasi yang berkelanjutan sangat penting. Rapat koordinasi rutin yang bersifat terbuka dapat menjadi forum untuk membahas kendala yang muncul dan mencarisolusi secara bersama-sama. Transparansi dalam pengambilan keputusan juga akan mengurangi potensi kesalahpahaman.

Tim Koordinasi Lintas OPD
Pemerintah daerah bisa membentuk tim koordinasi khusus yang melibatkan semua OPD terkait, termasuk perwakilan dari organisasi sipil (NGO/CSO), dari masyarakat dan kelompok tani hutan. Tim ini bertugas memastikan semua pihak memahami peran masing-masing dan bekerja berdasarkan tujuan yang sama.

Standar Operasional Prosedur (SOP) bersama yang disepakati lintas OPD bisa menjadi pedoman dalam menjalankan program. Dengan SOP yang jelas, setiap dinas memiliki acuan yang sama dalam mengambil tindakan di lapangan.

Mewujudkan sistem perhutanan sosial yang baik, bukan satu perkara mudah, apalagi berjalan sendiri-sendiri. Semakin banyak pihak yang terlibat, maka kendala teknis dapat dengan mudah dilalui sehingga manfaat secara sosial, ekonomi dan ekologi bisa diperoleh. (*)

HaKI-HRNS Bersama Masyarakat Desa di OKU Selatan Menyusun CLUP

0
Manajer Kampanye HaKI Adiosyafri member sambutan pada kegiatan FGD CLUB Tiga Desa (Desa Sumber Makmur, Tanjung Agung dan Desa Karang Indah) Kecamatan Banding Agung, OKU Selatan, Sabtu (22/2/2025). (dok. HaKI)

Penyusunan Rencana Penggunaan Lahan Berbasis Masyarakat (Community Base Land Use Planning/CLUP) di Tiga Desa Sumber Makmur, Tanjung Agung dan Desa Karang Indah, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan, Sumsel.

Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) bekerjasama dengan HRN Stiftung, menggelar FGD dengan melibatkan masyarakat desa secara langsung untuk memetakan kembali kawasan area kelola untuk meningkatkan kesejahteraan dengan berkiontribusi terhadap keberlangsungan ekosistem terutama yang berada di kawasan hutan dengan skema Perhutanan Sosial Hutan Kemasyarakatan (HKm). kegiatan tersebut berlangsung selama dua hari Sabu-Minggu, 22-23 Februari 2025.

Majaner Kampanye HaKI Adiosyafri menyampaikan, dalam dokumen CLUP HaKI mengidentifikasi HKm sebagai serta kawasan kritis untuk dapat dimaksimalkan sebagai lahan kelola untuk tanaman penyangga hutan. Berbagai permasalahan muncul, seperti masih minimnya pemahaman atau pengetahuan masyarakat dalam mengolah lahan serta mengembangkan komoditi utama (kopi) dan tanaman pembayang serta tanaman tumpang sari. Termasuk juga persoalan sosial dan budaya lingkungan setempat.

“Masing-masing desa difasilitasi membuat CLUP sebagai landasan dasar atau acuan dalam perencanaan pengembangan kawasan sesuai dengan potensi dan kegiatan pertanian masyarakat, yang rata-rata petani kopi,” ujar Adiosyafri pada pembukaan FGD yang diselenggrakan di Gedung Pertemuan Desa Sumber Makmur, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan, Sabtu(22/2/2025).

Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) bersama HRN Stifung memmfasilitasi kegiatan Penyusunan Rencana Penggunaan Lahan Berbasis Masyarakat (Community Base Land Use Planning/CLUB) Desa Karang Indah, Tanjung Agung dan Desa Sumber Makmur, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan, berlangsung Sabtu-Minggu (22-23/2/2025). (dok. HaKI)

Menurutnya, dokumen CLUB ini nantinya selain akan kerangka dasar khususnya baik bagi pemerintah maupun para pihak lainnya (NGO/perusahaan) dalam menyalurkan bantuan di daerah tersebut, juga menjawab permasalahan dihadapi masyarakat sehingga aspek ekonomi dan lingkungan tidak saling bertentangan yang berdampak pada perubahan bentang alam.

“Pengelolaan HKm dapat dilakukan lebih konkret. Dari kegiatan ini ada agenda perencanaan untuk pengelolaan sumber daya alam (SDA) secara detail baik desa maupun masyarakat, termasuk permasalahan dan potensi yang ada,” ujar Adiosyafri.

Menurutnya, kegiatan Penyusunan Rencana Penggunaan Lahan Berbasis Masyarakat (Community Base Land Use Planning/CLUP) melibatkan 60 orang terdiri dari Pemdes, Kelompok Wanita Tani (KWT), Kelompok Tani HKm, dan Karang Taruna.

Peserta Penyusunan Rencana Penggunaan Lahan Berbasis Masyarakat (Community Base Land Use Planning/CLUB) yang merupakan masyarakat dari Desa Karang Indah, Tanjung Agung dan Desa Sumber Makmur, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan, berlangsung Sabtu-Minggu (22-23/2/2025). (dok. HaKI)

Sementara, Camat Banding Adung Adi Syaputra mengatakan, dari perjalanan kegiatan yang diselenggara HaKI bekerjasama dengan HRN Stiftung, dinilai bukan hanya sekedar seremonial, melainkan sebuah wujud keseriusan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya di desa yang ada di Kecamatan Banding Agung.

“Artinya, masyarakat diberi kemudahan mengurai persoalan yang dapat menghambat kemajuan serta kesejahteraan masyarakat. Manfaatkanlah kesempatan ini sebagi mungkin. HaKI sifatnya hanya memberi pancing, tinggal bagaimasyarakat memanfaatkannya untuk mendapatkan ikan,” kata Adi Syaputra.

Kepala Desa Sumber Makmur, HM Ujud mengapreasisasi dan mengajak segenap warganya untuk turut berpartisipasi menyampaikan gagasan guna menunjang pembangunan dan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan desa.

“Kegiatan ini sangat penting bagi kami. Tentunya dapat mengurai permasalahan dan jalan keluar dari permalsahan itu sendiri,” katanya, seraya mengatakan, Desa juga warganya tetap meminta pendampingan dalam meningkatkan kesejahteraan serta lingkungan. (*)

Mengawal Keberlanjutan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan

0
Rapat Kerja Pokja PPS Sumsel, yang dihadiri berbagai pihak dari Pemerintah, Akademisi dan NGO/CSO bertempat di Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel, Komplek Perhutanan Punti Kayu Jalan Kolonel H Burlian Palembang. (dok. HaKI)

Dalam beberapa tahun terakhir, perhutanan sosial (PS) masih menjadi salah satu solusi penting untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, menjaga kelestarian lingkungan, serta mengurani tekanan terhadap kawasan hutan yang semakin terdegradasi.

Di penghujung tahun 2024 dan mengawali tahun 2025 program Perhutanan Sosial tak terkecuali di Sumatera Selatan (Sumsel), masih menjadi isu strategis dalam upaya mengatasi permasalan di tingkat tapak, atas pengelolaan hutan. Perjalanan Perhutanan Sosial hingga hari ini, dimana Sumsel, dengan kekayaan alam yang melimpah, terus menghadapi tantangan besar dalam mengelola sumber daya hutan secara berkelanjutan.

Seperti yang dirasakan masyarakat Perhutanan Sosial dalam berkelompok: kendala modal, alat produksi, perizinan produk, akses penjualan yang belum luas.

Rapat Pokja PPS Sumatera Selatan lintas sektor yakni Pemprov Sumsel dan pemangku kepentingan termasuk NGO/CSO di Sumsel, pada akhir tahun 2024. (dok. HaKI)

Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana S.Si, menyampaikan bahwa Pendampingan dibutuhkan agar masyarakat bisa menjawab kendala-kendala di atas. Dengan demikian, manfaat secara sosial, ekonomi dan ekologi bisa diperoleh. “Semakin masyarakat diedukasi, akan ada peningkatan kapasitas masyarakat dalam hal kemampuan dan kekompakan dalam berorganisasi serta memahami rencana kerja yang disusun, kesadartahuan soal lingkungan meningkat,” ujar Deddy.

Akses Masyarakat Adat

Sebagaimana tujuan Perhutanan sosial yakni memberikan akses kepada masyarakat, terutama masyarakat adat dan lokal, untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan secara berkelanjutan.

Deddy menyebut, hingga penghujung tahun 2024, PS di Sumsel, realisasi izin PS di Sumsel, telah mencapai 139.002,23 Ha, jumlah izin 223 unit KPS dari 276.919,30 Ha potensi PS berdasarkan PIAPS Revisi IX atau untuk dapat diusulkan PS seluas 99.465 Ha sepanjang 2025-2026.

Untuk memastikan keberlanjutan perhutanan sosial, dibutuhkan kolaborasi yang kuat antara-pemerintah daerah, masyarakat, sektor swasta, dan berbagai pihak terkait. HaKI sendiri selalu menekankan prinsip keadilan sosial dan lingkungan hidup yang berkelanjutan menjadi kunci untuk menjamin program ini tetap berjalan sukses dalam jangka panjang.

Rapat Pokja PPS Sumatera Selatan lintas sektor yakni Pemprov Sumsel dan pemangku kepentingan termasuk NGO/CSO di Sumsel, pada akhir tahun 2024. (dok. HaKI)

“Untuk itu, kami berkomitmen untuk terus memberikan pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat, sekaligus melakukan pengawasan ketat terhadap kegiatan yang dapat merusak ekosistem hutan,” katanya.

Aplikasi Perhutanan Sosial

Sementara, dalam upaya mendorong percepatan perhutanan sosial di Sumsel, Dinas Kehutanan Pemprov setempat telah mempersiapkan sebuah aplikasi khusus untuk menyajika informasi seputra perhutanan sosial. Sistem informasi ini juga bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mengajukan izin perhutanan sosial.

Kepala Dinas Kehutanan Sumsel, Koimudin menekankan, pelaksanaan perhutanan sosial masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan kapasitas masyarakat dalam mengakses informasi yang dibutuhkan untuk mengajukan perizinan. Adanya tuntutan dan kebutuhan kecermatan bagi pendamping yang mendampingi masyarakat mengajukan usulan akses legal perhutanan sosial, maka sistem informasi diharapkan dapat membantu dalam proses penyusunan dokumen usulan Persetujuan Perhutanan Sosial secara cermat sesuai ketentuan yang berlaku.

Bejoe Dewangga, Staf HaKI menambahkan, Perhutanan sosial merupakan program pemerintah yang dirancang sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi masalah tenurial dan mengurangi kemiskinan, sekaligus membantu masyarakat beradaptasi terhadap perubahan iklim.

“Perhutanan sosial juga diyakini sebagai model pendekatan mutakhir dalam pengelolaan hutan yang mampu mengatasi sejumlah persoalan seperti perbaikan lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan, serta persoalan terkait dinamika sosial budaya lainnya,” kata Bejoe. (*)

Puyang Wariskan Tatanan Adat yang Selaras dengan Alam 

0
Tim Hutan Kita Institute berbincang dengan MHA Tebat Benawa Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, pada kegiatan Monev Program BPDLH-Terra CF berkerjasama dengan HaKI. Kegiatan tersebut untuk meningkatkan kapasitas dan penguatan kelembagaan bagi MHA Jumat (22/11/2024). (dok. HaKI)

Masyarakat Hukum Adat (MHA) Tebat Benawa Rempasai, Kota Pagaralam, dan MHA Aek Bigha, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan (Sumsel), masih memegang teguh nilai-nilai yang diwariskan oleh Puyang atau nenek moyang mereka sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari yang selaras dengan alam.

Bahkan kondisi ini dapat membentengi hutan di sekitar mereka dengan menjaga keselarasan lingkungan. Aspek budaya yang masih terpatri menjadi acuan pengaturan cara tradisional dalam mengelola hutan melalui hukum adat, ritual, dan sastra lisan.

Henni Martini Program Office program Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH-Terra CF) untuk Hutan Kita Institute (HaKI) menyampaikan, keberadaan MHA dengan memegang teguh warisan leluhurnya (Puyang), tidak dipungkiri memberi kontribusi tersendiri dalam menjaga alam di sekitarnya.

MHA Tebat Benawa bersama Tim HaKI mengunjungi makam Puyang, di sela kegiatan Monev KUPS, Jumat (22/11/2024). (dok. HaKI)

“Mereka memiliki aturan adat warisan Puyang dalam menjalani kehidupan, termasuk perlakuan terhadap hutan sebagai sumber penghidupan,” ujarnya di sela kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Agro Pasai dan KUPS Aek Bigha, Program BPDLH-Terra CF bersama HaKI, belum lama ini.

Disituasi sekarang lanjutnya, MHA menghadapi tantangan besar menjaga integritas lingkungan dan keberlangsungan budaya lokalnya. “Namun, kepatuhan atas nilai-nilai yang diwariskan oleh Puyangnya, dapat membawa kesadaran yang cukup bagi masyarakat setempat untuk mengemban peran sebagai penjaga tanah,” katanya.

Dalam ruang diskusi yang dihadiri Manajer Komunikasi dan Tata Kelola Pengetahuan HaKI Sigid Widagdo, mempertajam peran serta MHA dan juga Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) secara kelembagaan dalam meningkatkan ekonomi berkelanjutan.

Tim Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI), foto bersama MHA Ayek Bigha, Kabupaten Muara Enim, Sumsel, di tengah kegiatan Monev KUPS, Senin (25/11/2024)

“Masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan tentang pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan,” ujar Sigid, menggarisbawahi kontribusi nyata yang dapat diberikan oleh masyarakat adat dalam melestarikan lingkungan hidup.

Sigid menambahkan, seperti halnya dalam wilayah MHA Puyang Sure Aek Bigha memiliki aturan persawahan Blambangan yang membatasi pembukaan sawah, di mana pada awalnya hanya boleh membuka 8 petak sawah, dan selanjutnya 16 petak sawah. 

“Aturan Puyang Ketib yang merupakan orang pertama membuka aturan blambangan itu, bisa saja diartikan sebagai sebuah aturan semata yang patut dipatuhi saja. Namun apabila dilihat dari kondisi geografis dan kapasitas air yang tersedia, aturan tersebut sesuai dengan daya dukung lingkungan terutama ketersediaan sumber air yang ada di dataran itu,” tambah Sigid.

Anggota Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Agro Pasai, Kota Pagaralam, menunjukkan usaha roasting kopi yang merupakan bantuan dari Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) bekerjsama BPDLH-Terra CF, Jumat (22/11/2024). (dok. HaKI)

Kegiatan usaha yang dilakukan juga sudah mendapat perhatian pemerintah setempat, dengan terkoneksinya program pemerintah melalui OPD juga pemerintah desa, dengan kebutuhan MHA atau KUPS dalam hal produktifitas hasil pertanian dan lainnya, bersama-sama NGO/CSO dan BUMN.

HaKI akan memfinalisasi profil MHA Tebat Benawa maupun MHA Aek Bigha, dan memasukkan data-data nilai transaksi ekonomi KUPS Agro Pasai di system GoKUPS. Sejalan dengan berakhirnya program BPDLH Terra CF, HaKI tetap berkomitmen kepada kedua MHA tersebut untuk melakukan pendampingan. (*)

Sosialisasi Sistem Monev: Perkuat Perencanaan dan Perapihan Administrasi MHA Ghimbe Peramunan

0
Henni Martini Program Office HaKI untuk Program BPDLH, menerangkan materi sosialisasi Monev KUPS Adat kepada MHA Puyang Sure Aek Bigha, Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (04/11/2024) malam. (dok. HaKI)

Pengelolaan Hutan Adat yang berkelanjutan melalui penguatan kapasitas Masyarakat Hukum Adat (MHA), dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Sumatera Selatan (Sumsel), diharapkan meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya yang terus berkembang.

Beberapa hal harus diperhatikan dalam pengelolaan Hutan Adat khususnya bagi MHA Ghimbe Peramunan, Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, diuraikan Hutan Kita Institute (HaKI), pada kegiatan sosialisasi sistem Monitoring dan Evaluasi (Monev) terkait Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), di Desa Penyandingan, Senin (04/11/2024).

Henni Martini Program Office HaKI untuk Program BPDLH di awal pertemuan, memaparkan tentang hak dan kewajiban bagi MHA serta kebutuhan administrasi yang perlu dilengkapi Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA).

Henni Martini Program Office HaKI untuk Program BPDLH, berbincang dengan Ketua MHA Puyang Sure Aek Bigha M Yasir, di sela kegiatan Sosialiasi Monev KUPS Adat, Senin (04/11/2024). (dok. HaKI)

“Dari sini diharapkan MHA dapat memahami secara teknis dan substansi perihal ketentuan dalam pengelolaan Hutan Adat,” kata Henni di sela kegiatan sosialisasi Monev MHA, yang dihadiri Ketua LPHA Ghimbe Peramunan Emhadi Brata, Ketua KUPS Aek Bigha Sehamril Hadi dan Ketua KUPS Anak Belai Ani Tasriah, anggota perwakilan MHA, dan pemuda adat.

Selain itu, MHA juga dikenalkan platform GoKUPS yang merupakan sistem register nasional Perhutanan Sosial, updating data, monitoring, evaluasi, sumber informasi dan publikasi kinerja Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, MHA juga diperkenalkan cara mengisi formulir Nilai Transaksi Ekonomi KUPS dan formulir isian GoKUPS lainnya. 

Selai itu, MHA diperkenalkan dengan Layanan Dana Publik untuk lingkungan hidup yang disediakan BPDLH. Dana layanan masyarakat ini berasal dari kerja sama iklim dan filantropi dengan berbagai pihak yang diperuntukkan untuk mendukung aksi nyata masyarakat, seperti aksi iklim, penurunan emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan, aksi lingkungan, dan ekonomi sirkular.

“Kegiatan (Sosialisasi Sistem Monev) ini sendiri bertujuan terkait Perhutanan Sosial yang sudah ada agar dapat mengukur kinerja yang telah dilakukan KUPS dan MHA, serta informasi lainnya yang berhubungan sehingga memudahkan dalam mengukur pertumbuhan atau kemajuan bagi sektor-sektor yang dijalankan oleh KUPS Masyarakat Hukum Adat,” terangnya.

Suasana kegiatan Sosialiasi Monev KUPS Adat, yang dilakukan Tim Hutan Kita Institute (HaKI) kepada MHA Puyang Sure Aek Bigha, Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (04/11/2024) malam. (dok. HaKI)

Dalam sesi diskusi yang berlangsung, pemahaman MHA dalam mengelola Hutan Adat tergambar dalam rencana tata kelola yang dibuat. Termasuk juga pengembangan usaha untuk menunjang perekonomian berkelanjutan. Kendati demikian, kendala dalam menggapai pasar yang luas, masih menjadi sandungan bagi MHA.

Dari diskusi yang berkembang, juga didapati bagaimana perencanaan dan administrasi MHA belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Seperti, Rencana Kelola Hutan Adat (RKHA) ada, tetapi Rencana Kerja Tahunan (RKT) belum ada.

“Artinya soal kelembagaan dan tertib administrasi masih harus ditingkatkan. Apalagi, kalau dokumentasi foto luar biasa, bahkan sampai di upload di media sosial facebook,” imbuh Henni, seraya menambahkan, pihaknya senantiasa melakukan pendampingan baik pada saat program berjalan maupun sudah berakhir.

Sementara, Kepala Desa Penyandingan Emhadi Brata, di forum diskusi tersebut menyampaikan dukungannya kepada pengelolaan Hutan Adat dengan berkomitmen mengalokasikan dana desa sebesar Rp50 juta untuk kegiatan hutan adat pada tahun 2025. (*)

Sosialisasi Sistem Monev: Tingkatkan Partisipasi MHA Tebat Benawa Datangkan Dukungan Para Pihak

0
Henni Martini Program Office HaKI untuk Program BPDLH, saat menyosialisasikan terkait Monev KUPS Adat kepada MHA Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumsel, Jumat (01/11/2024). (dok. HaKI)

Hutan Kita Institute (HaKI) mengapresiasi partisipasi aktif Masyarakat Hukum Adat (MHA) Tebat Benawa, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan (Sumsel), dalam upaya mengelola Hutan Adat (HA) untuk meningkatkan ekonomi berkelanjutan berbasis ekologi.

Hal ini diungkapkan Henni Martini Program Office HaKI untuk Program BPDLH dalam kegiatan sosialisasi tentang Monitoring dan Evaluasi (Monev) Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), yang diselenggarakan HaKI di Dusun Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Jumat (01/11/2024).

Henni Martini menyampaikan, sosialiasi Monev bertujuan untuk menggali sejauh mana kesiapan dan pola perencanaan MHA dalam mengelola hutan adat. Kegiatan tersebut dihadiri Ketua Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA) Tebat Benawa Budiono, Ketua KUPS Kopi Ringkeh Surainah, dan anggota KUPS Agro Pasai, dan perwakilan pemuda MHA.

Tim HaKI berbincang dengan Kepala UPTD KPH Wilayah X Dempo Kota Pagaralam, Heri Mulyono di sela agenda Sosialisasi Monev KUPS Adat, di tempat kerjanya, Jumat (01/11/2024). (dok. HaKI)

Menurut Henni, adapun persoalan yang dihadapi MHA Tebat Benawa, tidak beda jauh dengan apa yang dialami MHA Ghimbe Peramunan. Selain berkenaan sektor pengembangan nilai produk yang dihasilkan, pemasaran, juga soal tertib administrasi serta dokumen perencanaan yang belum berjalan dengan baik.

“Seiring dengan perkembangannya, kami (HaKI) akan semakin baik. Apalagi memang tingkat keaktifan atau partisipasi generasi muda cukup aktif. Bahkan soal pemasaran dan inovasi produk, banyak muncul dari mereka (pemuda MHA),” kata Henni, belum lama ini.

Di sesi diskusi, terungkap MHA Tebat Benawa, khususnya KUPS Agro Pasai telah membangun komunikasi dengan para pihak terkait yang mendukung pengembangan usaha produktif dan pengelolaan Hutan Adat. 

Selain dari pihak Kelurahan Penjalang yang memberi dukungan, Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Pagaralam, memberikan bantuan bibit ikan patin, dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM akan membantu perizinan produk kopi, kerajinan dan produk laainnya dari KUPS Agro Pasai.

Suasana diskusi di tengah kegiatan sosialisasi Monev KUPS Adat, di Dusun Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumsel, Jumat (01/11/2024). (dok. HaKI)

Semakin banyaknya pihak yang berkontribusi jelas semakin baik. “Kendati demikian, sebagai LPHA, tentu harus memiliki Rencana Kelola Hutan Adat (RKHA) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) sebagai tolok ukur atau baromater untuk menjalankan program sesuai dengan semangat menjaga hutan tetap lestari,” jelasnya.

Selain itu, MHA juga dikenalkan platform GoKUPS yang merupakan sistem register nasional Perhutanan Sosial, updating data, monitoring, evaluasi, sumber informasi dan publikasi kinerja Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, MHA juga diperkenalkan cara mengisi formulir Nilai Transaksi Ekonomi KUPS dan formulir isian GoKUPS lainnya. 

Selai itu, MHA diperkenalkan dengan Layanan Dana Publik untuk lingkungan hidup yang disediakan BPDLH. Dana layanan masyarakat ini berasal dari kerja sama iklim dan filantropi dengan berbagai pihak yang diperuntukkan untuk mendukung aksi nyata masyarakat, seperti aksi iklim, penurunan emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan, aksi lingkungan, dan ekonomi sirkular. (*)

Semiloka Tata Kelola Lahan: Bersama Kita Wujudkan Masyarakat Sejahtera, Hutan Daerah Tangkapan Air Lestari dan Berkelanjutan

0
Warga Desa Karang Indah, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), dengan didampingi Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) bekerjasama HRNS, pada Sesi FGD Pemetaan Partisipatif, pada Jumat (25/10/2024) lalu. (dok. HaKI)

Siaran Pers

Pengembangan wilayah suatu daerah haruslah berdasarkan potensi yang dimiliki, agar dampak negatif yang ditimbulkan dari proses pengembangan wilayah itu dapat diminimalkan. Hutan lindung memiliki peranan penting dalam keberlangsungan ekosistem, terutama menjaga ketersediaan atau kualitas air dan udara untuk menunjang kebutuhan maanusia juga makhluk hidup lainnya.

Untuk mengantisipasi dampak dari pengelolaan tata kelola/tata guna lahan di kawasan hutan, HaKI bekerjasama dengan HRNStiftung, menggelar Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Perencanaan Partisipatif Penatanagunaan Lahan Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung (HL) Mekakau Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), Sumatera Selatan (Sumsel), dengan mengusung tema “Bersama Kita Wujudkan Masyarakat Sejahtera, Hutan dan Daerah Tangkapan Air yang Lestari dan Berkelanjutan” selama dua hari (24-25 Oktober 2024) di Hotel Graha Banding Agung, Kabupaten OKUS.

Sebagaimana diketahui bahwa pngembangan wilayah yang tidak mengacu pada perencanaan besar sebagai bagian dari perencanaan wilayah terpadu dan keberlanjutan, hanya akan menimbulkan ketimpangan perkembangan wilayah, kerusakan lingkungan, serta banyaknya korban dan kerugian harta benda jika terjadi bencana alam.

Di mana tata guna lahan sendiri merupakan salah satu faktor penentu lingkungan, utama dalam menjaga dan mengendalikan keseimbangan pengelolaan antara kawasan budidaya dan kawasan konservasi, menuju pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Tokoh masyarakat Desa Karang Indah, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKUSelatan, Sumsel, saat menunjukkan peta batas wilayah pada FGD Peta Partisipatif yang difasilitasi HaKI bekerjasama HRNS, Jumat (25/10/2024). (HaKI)

Direktur Eksekutif HaKI Deddy Permana mengatakan, fokus kegiatan yang diselenggarakan hasil kerjasama dengan HRNS dilakukan melalui beberapa tahapan. Selain sosialisasi, seminar, loka karya dan pendampingan kepada Masyarakat agar mendapat insight perihal pengelolaan dan penatagunaan lahan desa khususnya di sekitar kawasan hutan lindung (HL) dapat berjalan dengan baik.

“Kami berharap atas dukungan berbagai pihak, dapat berkolaborasi untuk menyelesaikan tantangan beberapa hal dengan melakukan langkah konkret sehingga menjadi triger jangka panjang terutama berkaitan dengan keberlangsung hutan yang tetap terjaga,” ujarnya, belum lama ini.

Kerangka Kerja

Manajer Program dan Kampanye, Adisosyafri menambahkan, perencanaan tata guna lahan wilayah/desa merupakan kerangka kerja yang menetapkan keputusan dan kesesuaian terkait rencana penggunaan lahan untuk konservasi, budidaya, termasuk fasilitas umum/sosial desa.

“Pada kegiatan ini, kita membuka wawasan masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan terkait peran dan fungsi mereka dalam penatagunaan lahan. Mereka juga dilibatkan untuk membuat sketsa peta partisipatif desa masing-masing yang nantinya akan menjadi acuan dalam penentuan batas antara desa satu dengan lainnya dan batas desa dengan kawasan hutan,” terangnya.

Ia menyebut, adapun desa yang terlibat dalam kegiaan tersebut yakni, Desa Sumber Makmur, Desa Karang Indah, dan Desa Tanjung Indah, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKUS. Menurutnya, peran partisipatif masyarakat desa sangat menentukan sebagai alas kebijakan peremcamaam dan penatagunaan kawasan desa.

Semiloka Perencanaan Partisipatif Penatanagunaan Lahan Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung (HL) Mekakau Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), Sumatera Selatan (Sumsel), dengan mengusung tema “Bersama Kita Wujudkan Masyarakat Sejahtera, Hutan dan Daerah Tangkapan Air yang Lestari dan Berkelanjutan” Kamis (24/10/2024) di Hotel Graha Banding Agung, Kabupaten OKUS. (dok. HaKI)

Dari kegiatan tersebut, terdapat beberapa isu penting yang muncul pertama batas wilayah administrasi dari ketiga desa tersebut dengan desa-desa sepadannya dan dinilai masih sangat indikatif, masyarakat berkebun di dalam kawasan hutan lindung yang masih satu hamparan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Sejauh ini, antisipasi batas desa hanya berupa kesepakatan antas desa.

“Dari kondisi eksisting penggunaan lahan yang disketsakan (land-use) di samping penyelesaian tata batas, juga akan ditindaklanjuti dengan perencanaan lahan/tata ruang desa sebagai acuan masyarakat dalam penggunaan lahan desa yang lestari dan berkelanjutan,” katanya.

Kepala DLH OKUS, Hermansyah menyampaikan, perencanaan partisipatif penatagunaan lahan desa satu modal penting untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terutama bagi masyarakat yang bersinggungan langsung dengan hutan lindung (HL), nantinya dapat diberdayakan untuk memelihara lingkungan dan hutan.

“Sehingga kawasan hutan bisa asri. Adanya penebangan hutan dengan liar dapat ditekan. Apalagi hutan merupakan kawasan tangkapan air, yang fungsinya menjaga stabilitas alam/lingkungan. Ketika musim kemarau air tidak kering, baru kemarau satu bulan sudah kesulitan mendapat air bersih. Begitu juga ketika musim penghujan tidak terjadi banjir,” ujarnya.

Ia berharap, kegiatan Semiloka dan pendampingan oleh stakeholder seperti yang HaKI-HRNS dan juga lainnya bukan hanya sekali atau singkat. Melainkan jangka panjang hingga masyarakat mendapatkan inti dan menjadi kesadaran bersama. Apalagi Danau Ranau merupakan sumber kehidupan yang harus dijaga, baik bagi Masyarakat sekitar maupun Masyarakat yang ada di hilir.

“Intinya Bumi dan Alam menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mewarisi anak cucu kita nantinya,” katanya.

Pada kesemapatan ini, pemateri Semiloka menjabarkan situasi kondisi landscape HL / TNBBS sebagai kawasan daerah tangkap air (DTA), keberlangsungan ekositem di dalamnya, hingga peranan penting masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan lindung sebagai zona penyangga TNBBSdalam menghadapi perubahan iklim, serta ancana bencana ekologi.

Selain itu, bagaimana aspek yang bisa dilakukan dalam penyelesaian konflik tenurial di sekitar kawasan hutan lindung melalui Pengelolaan Perhutaan Sosial (PPS). Pada program tesebut, ditekankan dalam beberapa hal yakitu: Penataan areal dan penyusunan rencana, Pengembangan usaha, Penanganan konflik tenurial, Pendampingan, dan Kemitraan lingkungan (selama ini Masyarakat yang mengelola di hutan itu dianggap perambah. Tetapi kalau sudah mendapat izin maka dianggap sebagai mitra.

Hasil yang diharapkan

    Semiloka Perencanaan Partisipatif Penatanagunaan Lahan Desa di Sekitar Kawasan Hutan Lindung, ini dihrapkan dapat terwujudnya:

    1. Terkomunikasikannya data/ informasi terkini terkait potensi dan tantangan serta upaya-upaya para pihak dalam perlindungan dan pengelolaan landskap Kawasan Hutan Lindung (HL) Mekakao termasuk sumber air/ Danau Ranau.
    2. Meningkatnya pemahaman dan mendorong peran aktif semua pihak termasuk masyarakat desa (inisiasi forum multi-pihak) dalam upaya perlindungan dan pengelolaan landskap Kawasan Hutan Lindung (HL) Mekakao termasuk sumber air/ Danau Ranau.
    3. Meningkatnya pemahaman dan pentingnya Tata batas wilayah desa dan penyusunan perencanaan tata guna lahan desa (PTGLD) menuju pembangunan desa yang lestari dan berkelanjutan.
    4. Adanya peta indikatif tata batas desa dan penggunaan lahan desa eksisting sebagai acuan lanjutan dalam penyusunan perencanaan tata guna lahan desa (PTGLD) berbasis masyarakat. (*)

    HaKI Konsen Melakukan Pembinaan Livelihood Masyarakat untuk Melestarikan Hutan

    0
    Manajer Program dan Kampanye HaKI, didampingi Departemen Pendidikan dan Penguatan Organisasi HaKI Bejoe Dewangga, saat audiensi dengan Sekretaris Daerah (Sekda) OKUS, M Rahmattullah STP MSi, beserta jajaran (OPD) membahas Persiapan Pelaksanaan Semiloka Partisipatif Penatagunaan Lahan Desa di sekitar Landskap Kawasan Hutan Lindung (HL) Kecamatan Banding Agung, Kamis (17/10/2024). (HaKI)

    Sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup di Sumatera Selatan (Sumsel), Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) konsen untuk melakukan pembinaan livelihood (mata pencaharian) masyarakat dan mendorong kolaborasi melestarikan hutan dan lahan.

    Hal ini disampaikan Adiosyafri, Manajer Program dan Kampanye HaKI, didampingi Departemen Pendidikan dan Penguatan Organisasi HaKI Bejoe Dewangga, saat audiensi dengan Sekretaris Daerah (Sekda) OKUS, M Rahmattullah STP MSi, beserta jajaran (OPD) membahas Persiapan Pelaksanaan Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Partisipatif Penatagunaan Lahan Desa di sekitar Landskap Kawasan Hutan Lindung (HL) Kecamatan Banding Agung, Kebupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), Kamis (17/10/2024).

    “Salah satu lokasi yang menjadi prioritas adalah Daerah Tangkapan Air (DTA) bagian hulu Provinsi Sumsel, tepatnya di Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS). Wilayah ini sebagai sumber air utama bagi daerah hilirnya dengan adanya Danau Ranau, Gunung Seminung, dan Hutan Lindung (HL) Mekakau,” paparnya.

    Adios menjelaskan, kawasan hutan lindung (HL) Mekakau, di samping berperan penting sebagai DTA, juga sebagai  habitat penting bagi flora dan fauna yang dilindungi yang sebagai bagian dari zona penyangga (bufferzone) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

    “Dalam aspek sosial ekonomi masyarakat, kawasan Hutan Lindung (HL) Mekakau sebagai sumber penghidupan masyarakat sekitar (desa) dengan memanfaatkannya sebagai areal perkebunan tanaman kopi dan ladah campuran (agroforestry),”.

    Sebagai upaya mendorong dan memfasilitasi pemanfaatan lahan yang lestari dan berkelanjutan, maka HaKI dan HRNStiftung bersama Pemkab OKUS telah bersepakat mengawalinya dengan melakukan Semiloka Partisipatif Penatagunaan Lahan Desa yang bakal di gelar pada 24-25 Oktober 2024 di Hotel Graha – Banding Agung.

    Pada kesempatan ini juga disampaikan bahwa proses perencanaan dan mendorong kolaborasi semua pihak, dalam implementasinya dipastikan memerlukan waktu panjang dan pembiayaan yang tidak sedikit.

    Olehkarenanya, HaKI dan HRNStiftung  dengan dukungan Pemkab OKUS tersebut akan berkomitmen dan siap memfasilitasi proses lanjutan di tingkat desa (khususnya pada 3 desa prioritas) sampai dibuat dan diimplementasikannya perenacanaan tata ruang wilayah desa tersebut.

    Dalam audiensi dengan Sekda Pemkab OKUS dan beberapa OPD terkiat ini, HaKI dan HRNStiftung mengapresiasi atas dukungan dan respon positif atas gagasan akan pentingnya perencanaan ruang wilayah desa yang akan mendukung upaya pelestarian kawasan HL sebagai DTA dan peningkatan penghidupan masyarakatnya.

    Sementara, Sekda OKUS, M Rahmattullah menyambut baik terkait rencana akan dilaksanakan kegiatan Semiloka Bersama HaKI dan HRNStiftung. “Ini sangat baik untuk menambah pengetahuan tentang pelestarian dan perlindungan ekosistem hutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong akses kelola masyarakat terhadap sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan berkeadilan,” katanya. (*)

    Tak Semasif 2023, Karhutla Masih Terjadi Dalam Konsesi

    0
    Pemadaman Karhutla menggunakan Helikopter Water Bombing. Pantauan Satelit NASA (Aqua-Modis), sebaran Hotspot dan Firespot di Sumsel, Januari - 26 September 2024 mencapai 935 titik di mana 35% berada di kawasan Lahan Konsesi. (Credit foto: BPBD Sumsel)

    Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera Selatan (Sumsel), kurun Waktu Januari hingga minggu ketiga September 2024, terpantau sebaran titik panas (hotspot) maupun titik api (firespot) mencapai 935 titik yang tingkat confidence 80-100 persen (firespot) sebesar 188 titik.

    Menurut data yang dihimpun Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI), berdasarkan pantauan melalui citra satelit Terra/Aqua-Modis hingga Kamis (26/09/2024), sebaran hotspot dan firespot pada musim kemarau tahun ini, daerah-daerah yang diidentifikasi langganan terjadinya Karhutla baik di Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) maupun non KHG masih mendominasi.

    Manajer Program dan Kampanye HaKI Adiosyafri, mengatakan HaKI memantau sebaran titik panas (hotspot) dan titik api (firespot) di Sumatera Selatan dengan dengan tingkat kepercayaan atau confidence 80-100 persen rentang waktu Januari – 26 September 2024. 

    “Sedangkan hotspot dan firespot yang terdeteksi di kawasan konsesi, baik konsesi perkebunan maupun konsesi kehutanan total mencapai 326 titik. Adapun rinciannya 154 di konsesi perkebunan dengan 57 firespot, 172 titik di konsesi kehutanan firespotnya mencapai 28 titik,” papar Adios.

    Grafis Titi Panas (Hotspot) & Titik Api (Firespot) diolah Tim GIS Hutan Kita Institute (HaKI) tangkapan Satelit NASA (Aqua-Modis) periode Januari – 26 September 2024.

    Ia menilai, meski angka hotspot dan firespot periode yang sama tidak sebesar tahun lalu (2023), namun hal demikian menjadi catatan mengenai masih adanya kebocoran dalam aspek mitigasi Karhutla yang dilakukan pemerintah maupun pemegang konsesi.

    “Sampai dengan 26 september, hotspot dan firespot tertinggi dijumpai di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), yang mencapai 287 titik api yang firespotnya sebanyak 56 titik,” jelas Adios Jumat (27/09/2024) lalu.

    Adiosyafri menjelaskan, tingkat kepercayaan atau confidence 80-100 persen yang sudah dikategorikan titik api (firespot) dimaknai sebagai penanda adanya Karhutla, mengutip Yogi Cahyo Ginanjar, S.T. – Analis Kebijakan Ahli Pertama pada ‘Informasi Titik Panas (Hotspot) Kebakaran Lahan dan Hutan, 2018’.

    Selanjutnya, hotspot dan firespot juga banyak ditemui di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) 101 titik dengan 23 firespot; Ogan Komering Ilir (OKI) 99 titik dengan 12 firespot; Musi Rawas (Mura) 97 titik dengan 25 firespot; Kabupaten Muara Enim 75 titik dengan 11 firespot; Banyuasin 70 titik dengan 22 firespot; Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) dari 54 titik dengan 15 firespot.

    Tabulasi Hotspo & Firespot di Sumatera Selatan periode Januari – 26 September 2024 yang diolah Tim GIS Hutan Kita Institute (HaKI) tangkapan NASA (Aqua-Modis).

    Berikutnya Kabupaten Ogan Ilir (OI) dengan 34 titik dengan 8 firespot; Ogan Komering Ulu (OKU) 33 titik dengan 2 firespot; OKU Timur 32 titik dengan 4 firespot; OKU Selatan 18 titik dengan 3 firespot; Lahat 17 titik dengan 1 firespot; dan Kabupaten Empat Lawang 11 titik dengan 3 firespot.

    “Beberapa hari lalu (pekan kedua September 2024), masyarakat sempat merasakan kabut asap menyelimuti Kota Palembang dan sekitarnya. Kita bersyukur musim kemarau tahun ini tergolong sebentar, sehingga indeks kualitas udara (AQI) dan polusi udara PM2.5 di Palembang akibat Karhutla (asap) tidak sampai pada taraf mengkhawatirkan,” katanya.

    Di kesempatan ini, Adiosyafri, juga menjelaskan bahwa hotspot atau titik panas, merupakan suatu area yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan sekitarnya yang dapat deteksi oleh satelit. Berbeda dengan firespot (titik api) yang seharusnya segera dilakukan penanggulangan adanya kebakaran yang disertai asap menyelimuti udara. (*)