Home Blog Page 3

Pediatapa Bersama MHA Tebat Benawa Program Pengelolaan Hutan Adat Berkelanjutan

0
Foto-Sosialisasi-PADIATAPA-RKHA-hutan adat -TEBAT-BENAWA haki BPDLH

Hutan Kita Institute (HaKI) melaksanakan program dengan dukungan BPDLH-Terra CF yang bertemakan ‘Mewujudkan Pengelolaan Hutan Adat yang Berkelanjutan Melalui Penguatan Kapasitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Sumatera Selatan’ periode tahun 2024 di dua Hutan Adat di Sumatera Selatan. 

Program tersebut dilaksanakan di dua Hutan Adat di Sumatera Selatan. Yakni, Hutan Adat Ghimbe Peramunan Puyang Sure Aek Bigha, Desa Penyandingan, Semendo Darat Laut, Muara Enim dan Hutan Adat Larangan Mude Ayek Tebat Benawa Kota Pagaralam, Sumatera Selatan. 

Untuk itu dilaksanakan proses Persetujuan tersebut merupakan bagian dari proses Free Prior Informed Consent (FPIC) atau Padiatapa (Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan) bersama dengan MHA Tebat Benawa pada 17 Februari 2024 lalu. 

Foto-Sosialisasi-PADIATAPA-RKHA-hutan adat -TEBAT-BENAWA haki BPDLH

Masyarakat Hukum Adat Tebat Benawa menyetujui dan mendukung program yang akan akan dilaksanakan HaKI. Ketua LPHA Tebat Benawa, Budiono, menyambut baik kehadiran HaKI melalui program ini. Dia berharap program ini dapat berjalan dengan baik dan memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan, dan juga lestarinya adat setempat. 

 Henni Martini, mewakili HaKI, menjelaskan gambaran kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun ke depan, termasuk sosialisasi program dan review RKHA (Rencana Kerja Hutan Adat) di Tebat Benawa. Salah satu poin penting dari kegiatan ini adalah meminta Persetujuan Atas Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa) kepada MHA Mude Ayek Tebat Benawa, yang merupakan langkah kunci untuk melanjutkan program-program tersebut.

Sigid Widagdo yang juga dari HaKI mengatakan, tujuan dari sosialisasi ini yaitu untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dapat memahami dan berperan aktif dalam pengelolaan Hutan Adat yang berkelanjutan. Dia juga menegaskan pentingnya kolaborasi antara HaKI dengan Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk mendukung kemajuan kelompok masyarakat setempat.

Foto-Penandatanganan-Sosialisasi-Padiatapa-hutan adat Tebat-Benawa

Pada kesempatan yang sama, turut hadir perwakilan dari KPH Wilayah X Dempo yaitu Badrul. Menurutnya, Hutan Adat Tebat Benawa sudah memiliki program pohon asuh, dan peningkatan kapasitas kelembagaan serta KUPS perlu ditingkatkan. 

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan yang dicapai, Henni mewakili HaKI melakukan penandatanganan Berita Acara Padiatapa bersama Ketua LPHA sebagai bentuk persetujuan resmi terhadap program-program yang akan dijalankan. 

Proses ini dihadiri oleh seluruh peserta dan ditutup dengan penyerahan souvenir sebagai tanda terima kasih dari tim HaKI, serta sesi foto bersama untuk mengabadikan momen bersejarah ini.Kegiatan hari ini menunjukkan komitmen HaKI dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Tebat Benawa melalui partisipasi aktif dan kolaborasi yang erat dengan seluruh pemangku kepentingan lokal. (Hen)

Karhutla Berulang-Ulang Tidak Bisa Dibiarkan 

0
DCIM102MEDIADJI_0054.JPG

Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) terulang lagi pada tahun 2023 ini. Kejadian Karhutla menjadi kejadian memprihatinkan, bukan hanya karena tingkat keparahannya namun karena banyak terjadi di lokasi yang sama pada kebakaran tahun 2015, 2019 dan 2023 termasuk kebakaran yang terjadi dalam izin konsesi perkebunan dan kehutanan.

Karhutla yang berulang patut menimbulkan tanda tanya besar; terkait perencanaan dan penanggulangan, dan penegakan aturan. Alokasi anggaran yang besar untuk pencegahan dan pemadaman kebakaran, namun dengan hasil yang tidak signifikan juga patut untuk menjadi perhatian penegak hukum seperti kepolisian dan KPK. Berdasarkan pantauan Koalisi Anti Asap Sumatera Selatan, Karhutla di Sumatera Selatan tahun 2023 menghanguskan 332.283 Hektar. Parahnya 175.063 Ha atau 53 % nya berada di Kawasan Hidrologi Gambut (KHG). (lihat grafik 1)

Grafik 1. Luasan Karhutla di Sumatera Selatan Tahun 2023

Karhutla yang terjadi di KHG tahun 2023 ini, sebagian besar dilokasi yang sama dengan Karhutla pada 2015 lalu. Seluas 157.567 Ha atau 90% Karhutla di KHG tahun 2023  terjadi pada lokasi yang sama saat Karhutla tahun 2015 lalu. (lihat grafik 2)

Secara keseluruhan, indikasi Karhutla 2023 berulang pada lokasi yang sama dengan Karhutla 2015 Ha seluas 157.567 Ha atau 73% nya. 

Kegagalan pemegang izin kehutanan dan perkebunan dalam mencegah kebakaran, menyebabkan lebih dari 116.000 hektar terjadi di dalam wilayah mereka. Yakni 40.446 Ha terjadi di Kawasan konsesi kehutanan, dan 76.160 Ha di konsesi perkebunan.

Grafik 2. Luasan Karhutla Berulang Tahun 2015-2023 di Sumatera Selatan

Karhutla yang terjadi dalam konsesi perkebunan dan kehutanan itu separuhnya atau 50% terjadi di KHG yang sebagian juga terjadi di lokasi yang sama saat Karhutla tahun 2015.

Karhutla yang terjadi di konsesi kehutanan ini terindikasi  72 % nya terjadi di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) Sinar Mas Group, atau seluas 29 ribu hektar dari total 40 ribu hektar.

Bahkan perusahaan HTI dimana Karhutla terjadi merupakan perusahaan yang mendapat penghargaan dari Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL). Apresiasi dari Dirjen PHL atas rekomendasi Balai PPI Sumsel ini merupakan penghargaan dengan penilaian terkait kontribusi aktif dan aksi responsif dalam rangka pengendalian Karhutla. Termasuk juga dalam kriteria penilaian yaitu kegiatan pengendalian Karhutla seperti perencanaan, pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran Karhutla di Sumsel tahun 2023 membakar 332.283 Hektar, paling parah di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) seluas 212.695 Ha atau 64%. Selanjutnya Kabupaten Ogan Ilir (OI) seluas 38.009 Ha atau 11,4%, dan Banyuasin seluas 36.828 Ha atau 11,1%.

Sebaran Hotspot dan Firespot

Hutan Kita Institute (HaKI) melakukan pemantauan Hotspot dan Firespot periode 1 Januari – 30 November 2023 di Sumatera Selatan, temuan HaKI adalah sebagai berikut ;

Grafik 3. Sebaran Hotspot dan Firespot di Sumatera Selatan Periode Januari-November 2023
  • Selama periode 1 Januari –  30 November 2023, Hotspot dan firespot di Sumsel mencapai 6.231 titik. Sebanyak 3.554 titik berada di lahan gambut.
  • Secara Nasional, Sumatera Selatan menempati posisi ke-3 setelah Kalimantan Tengah dengan 7.376 titik, terparah ke-2 adalah Kalimantan Barat sebanyak 7.314 titik.
  • Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) terparah di Sumsel dengan 3.969 titik hotspot dan firespot atau 63,7% dari total di Sumatera Selatan. Terparah ke-2 adalah Kabupaten Musi Banyuasin dengan 595 titik atau 9,5%, ke-3 adalah Kabupaten Banyuasin dengan 349 titik atau 5,5% dan terparah ke-4 Kabupaten Ogan Ilir dengan 286 titik atau 4,6%.

Konsesi Perkebunan dan Kehutanan di OKI terdeteksi ada 70,3% titik Hotspot dan Firespot di Sumsel atau 2.086 titik dari total titik hotspot di konsesi 2.967 titik. Dimana Konsesi perkebunan sebanyak 1.697 titik dan Konsesi Kehutanan 1.270 titik.

Kerugian akibat Karhutla jelaslah sangat besar, dari sisi lingkungan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat -utamanya anak dan lansia-, bahkan kerugian terbesar tentunya berdampak jangka panjang bagi generasi yang akan datang. Karhutla yang berulang-ulang ini tidak bisa dibiarkan. Terlebih terbukti berulang terjadi pada lokasi yang sama. (*)

Mensikapi & Merefleksikan Bencana Asap Akibat KARHUTLAH 2023 di Sumatera Selatan

0

Siaran Pers :
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Asap Sumatera Selatan

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Asap Provinsi Sumatera Selatan 2023 beranggotakan : Walhi Sumsel, LBH Palembang, Hutan Kita Institute (HaKI), FITRA Sumsel, Pilar Nusantara (Pinus) Palembang, Solidaritas Perempuan (SP) Palembang, JPIK Sumsel, Sumsel Bersih Lestari, Sumsel Budget Center (SBC), dan Posko Rumah Merdeka.

Koalisi dibentuk sejak dimulainya kejadian kebakaran hutan dan lahan (KARHUTLAH) yang telah menyebabkan bencana asap menyelimuti provinsi Sumsel. Koalisi ini, terdiri dari setidaknya 10 (sepuluh) organisasi masyarakat sipil di Sumsel, yang memiliki konsen dan kepedulian terhadap penyelamatan lingkungan & hutan, penegakan hukum & hak asasi manusia (HAM), pelayanan & pembiayaan publik di provinsi Sumsel. Anggota koalisi telah melakukan pendampingan & pembinaan masyarakat, pelayanan upaya adaptasi dampak bencana asap, serta memberikan masukan kepada instansi terkait dalam upaya memitigasi kejadian KARHUTLAH.

Mensikapi dan merefleksikan bencana asap sebagai akibat dari KARHUTLAH tahun 2023, kompilasi fakta KARHUTLAH di provinsi Sumsel sebagai bahan Dessiminasi, advokasi dan masukan kepada instansi terkait agar kejadian ini tidak terus terulang.

PENYEBAB & DAMPAK

  1. KARHUTLA ini disebabkan oleh faktor manusia sebagai sumber api baik disengaja maupun tidak disengaja (kelalaian) dengan dukung oleh kondisi lahan yang sangat rawan/rentan terbakar (areal/lahan semak belukar yang kering dan juga lahan gambut kering kerontang yang memiliki tatakelola air yang buruk).
  2. Faktor kesiapsiagaan KARHUTLAH yang tidak didukung oleh sarana prasarana dan sistem kelembagaan yang kuat sampai ke tingkat tapak (lokasi), yang menjadikan KARHUTLAH terus terjadi dan meluas.
  3. Kejadian KARHUTLAH tahun 2023 ini, telah berdampak luas terhadap kerusakan ekologi dan juga memperburuk kondisi lingkungan hidup di provinsi Sumsel.
  4. Menjadikan kualitas udara Sumsel, khususnya kota Palembang pernah menduduki status terparah se-Indonesia bahkan lebih parah dari kota-kota besar se-Dunia.
  5. Kejadian masyarakat yang terpapar ISPA sangat melonjak tajam, yaitu; ISPA dibulan Juli mencapai 8.653 penderita, Agustus mencapai 9.367, dan di bulan September 10.708.

Fakta Pendekatan Prakmatisme dalam Pengendalian KARHUTLAH

Pengendalian KARHUTLAH yang dilakukan Pemerintah dan juga pemilik konsesi masih cenderung responsive melalui “pendekatan pemadaman” api, dan aspek “pendekatan pencegahan” belum menjadi prioritas utama dan masih berorientasi tujuan jangka pendek (keproyekan);

  • Sudah banyak bahkan ribuan unit pembangunan sarana & infrastruktur pembasahan (penimbunan & sekat kanal, sumur bor, serta embung) tidak efektif dan tidak berfungsi dalam mencegah KARHUTLAH.
  • Sudah banyak dibentuk regu dan/atau kelompok-kelompok masyarakat peduli api (KMPA) dan/atau kelompok tani peduli api (KTPA) oleh instansi terkait dan pemilik konsesi, namun hanya “sekedar nama” tanpa didukung pembinaan & sarana prasarana memadai.
  • KMPA dan/atau KTPA yang dibentuk hanya menjadi objek sebagai syarat mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari bagi perusahaan kehutanan dan sertifikat ISPO bagi perusahaan perkebunan, serta pemenuhan output kinerja bagi Pemerintah.
  • Pengelolaan lahan gambut masih sangat parsial dan tidak pernah terpikirkan pentingnya grand design penataan & pengelolaan air (water management) yang berbasis komprehensif sekala ekosistem dan/atau kesatuan hidrologis gambut (KHG).
  • Pentaatan dan/atau kepatuhan akan aturan bagi setiap konsesi (kehutanan & perkebunan) dalam memenuhi sarana dan prasarana pengendalian KARHUTLAH masih sangat lemah.
  • Tidak ada fasilitasi dan dukungan yang memadai dari Pemerintah dan juga perusahaan-perusahaan konsesi bagi masyarakat & petani yang kebutuhannya dalam membuka lahan, hanya bisa “melarang” dan “penegakan hukum” yang tajam kebawah dan tumpul ke atas.
  • Orientasi Pemerintah melalui KLHK yang hanya memikirkan kontribusi dalam mengoptimalkan sektor pencapaian angka PDB Nasional, Nilai Ekspor Hasil Hutan, TSL dan Bioprospecting, dan Peningkatan Nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) saja, tanpa memikirkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berkelanjutan

Pernyataan Sikap & tawaran SOLUSI dan mendesak Pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggung jawab secara tuntas. Guna memastikan KARHUTLA tidak boleh terjadi lagi di tahun mendatang.

  1. Kebijakan politik yang tegas dari pemerintah untuk menyatakan bahwa pelaku pembakar yang menyebabkan karhutla adalah extra ordinary ecologycal crime (kejahatan lingkungan luar biasa).
    Hal ini harus dilakukan oleh pemerintah pusat dengan kebijakan yang bersifat nasional karena sebaran karhutla ada di berbagai provinsi. Kebijakan ini akan memberikan efek psikologis yang kuat bahwa karhutla tidak bisa dianggap sepele. Tanggungjawab utama ada pada pemerintah pusat.
  1. Kebijakan pemberian sanksi hukum yang tegas dan berefek jera kepada pelaku pembakar hutan dan lahan.
    Saat ini sudah ada 11 perusahaan yang disegel oleh pemerintah. Tetapi dalam konteks karhutla, tidak cukup hanya penyegelan semata. Harus berlanjut ke tahapan berikutnya, sampai ke pidana penjara atau denda. Sanksi ini harus diseriusi karena akan memberikan efek jera bagi pelaku di masa datang. Penerima sanksi harus dibuka dan dipublikasikan seluas-luasnya dengan status sebagai pelaku extra ordinary ecological crime. Tanggung jawab utama ada pada Kementerian LHK, Kejaksaan, dan Pengadilan.
  2. Kebijakan yang memfokuskan penanganan karhutla pada aspek pencegahan (masa musim hujan).
    Pelaku kebijakan ini adalah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Semua harus bekerja keras dan berjibaku di musim hujan, bukan kemarau. Fokus semua kebijakan adalah pencegahan karhutla pada saat musim hujan. Pihak korporasi harus dilibatkan sejak awal dan mereka harus memiliki langkah strategis. Harus ada perubahan mindset bahwa menangani karhutla bukan menjadi pemadam kebakaran.
    Kebijakan politik yang tegas dari pemerintah untuk menyatakan bahwa pelaku pembakar yang menyebabkan karhutla adalah extra ordinary ecologycal crime (kejahatan lingkungan luar biasa).
    Hal ini harus dilakukan oleh pemerintah pusat dengan kebijakan yang bersifat nasional karena sebaran karhutla ada di berbagai provinsi. Kebijakan ini akan memberikan efek psikologis yang kuat bahwa karhutla tidak bisa dianggap sepele. Tanggungjawab utama ada pada pemerintah pusat.
  3. Kebijakan pemberian sanksi hukum yang tegas dan berefek jera kepada pelaku pembakar hutan dan lahan.
    Saat ini sudah ada 11 perusahaan yang disegel oleh pemerintah. Tetapi dalam konteks karhutla, tidak cukup hanya penyegelan semata. Harus berlanjut ke tahapan berikutnya, sampai ke pidana penjara atau denda. Sanksi ini harus diseriusi karena akan memberikan efek jera bagi pelaku di masa datang. Penerima sanksi harus dibuka dan dipublikasikan seluas-luasnya dengan status sebagai pelaku extra ordinary ecological crime. Tanggung jawab utama ada pada Kementerian LHK, Kejaksaan, dan Pengadilan.
  4. Kebijakan yang memfokuskan penanganan karhutla pada aspek pencegahan (masa musim hujan).
    Pelaku kebijakan ini adalah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Semua harus bekerja keras dan berjibaku di musim hujan, bukan kemarau. Fokus semua kebijakan adalah pencegahan karhutla pada saat musim hujan. Pihak korporasi harus dilibatkan sejak awal dan mereka harus memiliki langkah strategis. Harus ada perubahan mindset bahwa menangani karhutla bukan menjadi pemadam kebakaran.

Api Membakar Lahan di Sumatera Selatan, Penanggulangan Harus Cepat

0
Karhutla di Sumatera-Selatan diduga dampak dari aktivitas perkebunan dan pertanian (Foto : Ahmad-Rizki-Prabu / Mongabay.co.id)

“Api sudah beguyur membakar lahan di Sumatera Selatan, semua pihak harus waspada (Karhutla – Kebakaran Hutan dan Lahan),” kata Deddy Permana, Direktur HaKI [Hutan Kita Institut], Selasa [05/09/2023]. Beguyur dalam bahasa Palembang artinya “mulai pelan-pelan”.

Hampir setiap hari dalam sebulan terakhir, beberapa helikopter melakukan water bombing di sejumlah lahan yang terbakar di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI, Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Ogan Ilir [OI], Sumatera Selatan. Sementara udara di Palembang, saat ini mulai dipenuhi kabut asap.

Sekitar tiga hektar lahan rawa gambut di Desa Tanjung Seteko, Kecamatan Inderalaya, Kabupaten Ogan Ilir, pada Sabtu [02/09/2023], terbakar. Kebakaran di lokasi tersebut terjadi berulang dalam sebulan ini.

Pertama, terjadi pada Jumat [12/8/2022], dan kedua, pada Minggu [27/08/2023] lalu sekitar 10 hektare lahan terbakar.

Selama terbakar, upaya pemadaman dilakukan Manggala Agni bersama BPBD Ogan Ilir dan TNI/Polri, serta masyarakat. Diduga, kebakaran ini terkait aktivitas perkebunan atau pertanian.

Berdasarkan siaran pers Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan [PKHL], Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, hingga 2 September 2023, tercatat 83 titik panas [hotspot] di Sumatera Selatan. Pada 1-2 September 2023, terpantau 18 titik.

Luas lahan terbakar di Sumatera Selatan periode 1 Januari-31 Juli 2023 sekitar 1.178,50 hektar. Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] paling luas, sekitar 874,9 hektar. Sementara lahan gambut terbakar seluas 310,5 hektar yang berada di Kabupaten OKI. Lokasinya di Desa Serdang dan Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan, serta di Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampam.

Berikut sebaran lahan terbakar; Kabupaten Muaraenim [56,7 hektar], Kabupaten Musi Banyuasin [42,1 hektar], Kabupaten Musi Rawas [8 hektar], Kabupaten Musi Rawas Utara [115,9 hektar], Kabupaten Ogan Ilir [36 hektar], Kabupaten Ogan Komering Ilir [874,4 hektar], Kabupaten Ogan Komering Ulu [18,8 hektar], Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan [2,5 hektar], dan Kabupaten PALI [5,4 hektar].

Dibandingkan periode yang sama tahun 2021 dan 2022, kebakaran di Sumatera Selatan mengalami penurunan. Pada 2021 kebakaran lahan seluas 1.298,2 hektar dan tahun 2022 seluas 2.445,6 hektar.

“Luas karhutla tahun 2023 di wilayah Sumatera Selatan masih terdapat akumulasi penurunan sebesar 1.267,12 hektar atau sebanyak 51,8 persen,” tulis siaran pers yang ditandatangani Thomas Nifinluri, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan [PKHL].

Karthutla besar mengancam

Selama dua tahun [2020-2021], Sumatera Selatan dan beberapa daerah lain di Indonesia, bebas dari bencana kebakaran hutan dan lahan [karhutla]. Sebab selama dua tahun itu, terjadi La Nina.

Karhutla di Sumatera Selatan diduga dampak dari aktivitas perkebunan dan pertanian. Foto: Ahmad Rizki Prabu / Mongabay.co.id

Tapi, kemarau panjang yang disertai El-Nino pada 2023 ini, karhutla kembali mengancam Sumatera Selatan. Bukan tidak mungkin Sumatera Selatan menjadi wilayah karhutla terluas di Indonesia. Sebab, berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia selama Agustus 2023, sebagian besar lahan basah di Sumatera Selatan mengalami kekeringan.

Pada perideo 2015-2019, Sumatera Selatan menjadi provinsi yang mengalami karhutla terluas di Indonesia, mencapai 1.011.733,97 hektar. Lebih tinggi dibandingkan Kalimantan Tengah [956.907,25 hektar], Papua [761.081,12 hektar], Kalimantan Selatan [443.655,03 hektar], Kalimantan Barat [329.998,35 hektar], Riau [250.369,76 hektar], dan Jambi [182.195,51] hektar.

Pada 2015, Sumatera Selatan mengalami karhutla seluas 646.298,80 hektar. Tahun 2018 seluas 16.226, 60 hektar dan 2019 seluas 336.778 hektar.

Seorang warga Desa Tanjung Seteko, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, turut memandamkan api di lahan yang terbakar. Foto: Ahmad Rizki Prabu.

Masalah Berulang

Sementara, kualitas udara di Palembang berdasarkan website indeks kualitas udara di iqair, pada Minggu [03/09/2023] sempat dalam kualitas tidak sehat, pada angka 151. Sementara hari ini, indeks kualitas udara mencapai angka 158 dengan polutan PM2.5.

“Keberadaan kualitas udara PM2.5 di Kota Palembang saat ini sudah sempat di angka 150-an yang mengindikasikan tidak sehat. Tentunya, penyebab utama adalah asap dan debu karhutla yang dominan terjadi di wilayah Kabupaten OI dan OKI,” kata Deddy.

Dijelaskan Deddy, karhutla ini sudah berulang terjadi, “Bahkan lokasinya juga mengulang pada tempat yang sama. Melihat kejadian ini, seharusnya sudah dapat dicegah dan diantisipasi sejak dini, apalagi sudah ada peringatan dari BMKG akan hadirnya El-Nino hingga Oktober 2023.”

Pencegahan dan penanggulangan karhutla, diperlukan keseriusan dan kolaborasi semua pihak. Mulai dari pemerintah pusat hingga ke tapak [desa].

Minimnya sumber air menyebabkan upaya pemandaman karhutla melalui darat tidak optimal. Foto: Ahmad Rizki Prabu / mongabay.co.id

“Dengan kondisi musim kemarau disertai El-Nino, diperlukan sebuah kesiapan yang matang. Baik sarana dan prasarana, pembiayaan operasional, serta menggerakan organisasi sampai ke tingkat tapak,” kata Deddy.

HaKI menyatakan, dari 14 kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, hanya di Kota Palembang, yang belum ditemukan titik panas [hotspot] dan titik api [firespot].

“Berdasarkan data satelit Terra/Aqua-Modis, Kabupaten OKI dengan jumlah tertinggi hotspot [183] dan firespot [62] di Sumatera Selatan. Secara keseluruhan, ada 314 hotspot dan 93 firespot di Sumatera Selatan,” kata Deddy.

Rinciannya, Kabupaten Muba [47 hotspot, 16 firespot]; Kabupaten Ogan Ilir [16 hotspot, 5 firespot], Kabupaten Musirawas Utara [12 hotspot, 4 firespot], Kabupaten Musirawas [12 hotspot, 2 firespot], Kabupaten Lahat [10 hotspot, 3 firespot], dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur [2 hotspot, 1 firespot]. (*)

Sandungan Kelompok Perhutanan Sosial

0

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Perhutanan Sosial tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tak sebagus slogan dispanduk yang terpampang, tak serapih slide-slide paparan dalam seminar dan teori-teeori dalam buku pedoman.

Pencapaian peningkatan kesejahteraaan masyarakat Perhutanan Sosial ditempuh dengan upaya pengembangan multiusaha berkelanjutan, pendampingan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), melalui peningkatan kapasitas kelembagaan usaha atau kewirausahaan KUPS.

Pembentukan KUPS menjadi awal dari upaya peningkatan kesejahterahan masyarakat Perhutanan Sosial. Walau demikian, dari 208 KPS yang ada di Sumatera Selatan lebih dari 50 % belum membentuk KUPS.

Survei Hutan Kita Institute (HaKI), KUPS yang sudah terbentuk masih didominasi dengan klasifikasi blue atau biru. Dengan kata lain, kebanyakan KUPS yang ada baru dibentuk dan mengidentifikasi potensinya saja, belum memiliki Rencana Kerja dan belum memiliki unit usaha. Tidak luput, beberapa KUPS Perempuan pun dibangun dan menjalankan usaha. Hal ini menunjukkan bahwa isu kesetaraan gender sudah ada dalam pengelolaan PS.

Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi Nasional, dimana 50,44 % KUPS dengan klasifikasi Blue dari 10.096 kelompok. Sedangkan KUPS yang sudah memiliki rencana kerja dan memiliki unit usaha tergolong dalam klasifikasi silver atau perak sebanyak 40,36 %, klasifikasi Gold atau Emas 8,74 %, dan Platinum 0,45 %.

Dari persentasi ini, jelas sekali bahwa kebanyakan KUPS Blue yang hanya baru dibentuk, namun belum memiliki rencana kerja. Dan KUPS Silver yang sudah memiliki rencana kerja dan sudah memiliki unit usaha. Namuan belum mencapai KUPS Gold, yang sudah berjalannya unit usaha, memiliki produk, memiliki modal usaha, dan sudah ada pasar lokal. Masih jauh sampai pada KUPS Platinum, yang sudah memiliki pasar regional atau internasional.

Dari survei HaKI, kebutuhan penguatan kelembagaan menjadi yang utama. Kebersamaan dalam berusaha belum dipandang penting dan menjadi kebutuhan Bersama masyarakat Perhutanan Sosial.

Selanjutnya pendampingan dibutuhkan pada sisi perencanaan, baik penyusunan Rencana Kerja Perhutanan Sosial, Rencana Kerja Tahunan, dan Rencana Kerja Usaha-nya itu sendiri. Tanpa kelompok yang kuat dan perencanaan yang baik, hampir dapat dipastikan KUPS tidak akan berjalan dengan baik. Belum lagi kebutuhan permodalan, manajemen, dan menghadapi kompetisi pasar.

Produk-produk Perhutanan Sosial di Sumsel cukup bervariasi. Biasanya, produk yang dihasilkan adalah bentuk respon masyarakat terkait potensi yang ada disekitar. Contohnya di dataran tinggi, produk yang dihasilkan berupa kopi, baik itu kopi yang dijual berupa green bean, kopi bubuk, sampai produk turunan kopi seperti parfum dan body lotion.

Ada juga asap cair yang dibuat dari arang batang karet yang digunakan sebagai pengendali hama serta peningkatan kualitas tanah. Beberapa KUPS juga memanfaatkan keindahan alam berupa air terjun, danau dan panorama, untuk ditawarkan sebagai pilihan ekowisata atau Jasa lingkungan.

Perjalanan Perhutanan Sosial hingga hari ini jelas menghadapi banyak kendala. Seperti yang dirasakan masyarakat Perhutanan Sosial dalam berkelompok ; kendala modal, alat produksi, perizinan produk, akses penjualan yang belum luas adalah sebagian kendala yang dihadapi. Pendampingan dibutuhkan agar masyarakat bisa menjawab kendala-kendala di atas.

Semakin masyarakat diedukasi, akan ada peningkatan kapasitas masyarakat dalam hal kemampuan dan kekompakan dalam berorganisasi Serta memahami rencana kerja yang disusun, kesadartahuan soal lingkungan meningkat, sehingga produk-produk yang dihasilkan dapat berkualitas dan kompetitif di pasaran. Dengan demikian, manfaat secara sosial, ekonomi dan ekologi bisa diperoleh. (*)

Energi Bersih Goes to Campus

0

Pagi ini sedikit beda di kampus Universitas Sumatera Selatan (USS). Tenda ditegakkan, tamu-tamu berdatangan dengan semangat yang sama ‘Energi Bersih Goes To Campus’. Universitas Sumatera Selatan (USS) dan Hutan Kita Institute (HaKI) menandatangani kesepahaman ‘Kampus Energi Bersih’.

Peresmian perpustakaan energi bersih yang menggunakan PLTS dilakukan oleh Kepala LLDIKTI Wilayah II Prof. Dr. Iskhaq Iskandar. Didampingi M.Sc dan Rektor Universitas Sumatera Selatan Yudha Pratomo Mahyuddin, M.Sc, Ph.D, Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana, S.Si, dan Manager Program Akses energi Bersih Berkelanjutan IESR DR. Marlistya Citraningrum. Talkshow bertajuk peran para pihak dalam mewujudkan parapihak di Sumsel pun digelar. Hadir sebagai narasumber dari Program Officer SEA IESR Rizqi Mahfudz Prasetyo, di Kampus A USS Palembang dan ESDM Sumsel, Kamis (24/8/2023).

Peresmian perpustakaan energi bersih yang menggunakan PLTS dilakukan oleh Kepala LLDIKTI Wilayah II Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc didampingi Rektor Universitas Sumatera Selatan Yudha Pratomo Mahyuddin, M.Sc, Ph.D, dan Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana, S.Si. di Kampus A USS Palembang, Kamis (24/8/2023).

Yudha Pratomo Mahyuddin mengatakan, sangat penting peran institusi pendidikan dan mahasiswa dalam mendukung terwujudnya transisi energi untuk pembangunan daerah berkelanjutan. Pelaksanaan MoU ini dimulai dari penggunaan energi bersih PLTS untuk perpustakaan dan kampus USS.  

Menurut Deddy Permana, Indonesia telah menunjukkan komitmen agenda transisi energi melalui kebijakan dan perjanjian internasional menghadapi perubahan iklim dan mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Transisi energi membawa dampak besar bagi ekonomi, lingkungan, dan masyarakat.

“Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, generasi muda, NGO dan pemangku kepentingan lainnya sangat penting untuk mencapai pembangunan rendah karbon yang bermanfaat untuk semua,” kata Deddy.

Penandatanganan Nota Kesepahaman tentang Perpustakaan Energi Bersih antara Rektor Universitas Sumatera Selatan Yudha Pratomo Mahyuddin, M.Sc, Ph.D, dan Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana, S.Si. di Kampus A USS Palembang, Kamis (24/8/2023).

Hadir juga dalam acara tersebut Bappeda Sumsel, Dinas ESDM, PT. PLN IUD S2JB, dari Direktur Pinus, WALHI Sumsel, LBH Palembang, Spora Institute, Perkumpulan Sumsel Bersih, serta tamu undangan dari pimpinan dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)/Himpunan Mahasiswa (HIMA) dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Wilayah LLDIKTI Wilayah II, khususnya di Kota Palembang.

“Acara ini didukung penuh pula oleh Ketua Yayasan P4SS Ibu dr. Hj. Halipah Mahyuddin, SpTHT, MM, para jajaran Rektorat USS, Wakil Rektor I Ibu Dr. Ir. Leila Kalsum, MT, Wakil Rektor II Bapak Rabin Ibnu Zainal, SE, M.Sc, Ph.D, serta jajaran Dekan, Kepala Lembaga, Ka.Prodi, Civitas Akademika di lingkungan USS, serta panitia bersama Kerjasama dan Launching Kampus Energi Bersih,” ujar Ketua Panitia, H. Agus Srimudin, S.Pd.I, M.I.Kom.

Untuk kerjasama dilakukan penandatanganan MoU antara Rektor USS Yudha Pratomo Mahyuddin, M.Sc, Ph.D dengan Direktur HaKI Deddy Permana, S.Si, dilanjutkan MoU Rektor USS dengan Kepala LPPM USS, Selly Ratna Sari, S.Pi, M.Si tentang Hibah Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.(*)

Jangan Ada PLTU Baru, STuEB Serahkan Policy Brief Transisi Energi ke JETP*

0

Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) merupakan gabungan 14 lembaga non-pemerintah dari 10 provinsi di Pulau Sumatera menyampaikan Policy Brief untuk transisi energi Pulau Sumatera. Policy Brief tentang tentang skema pemensiunan PLTU batubara di Sumatera disampaikan kepada Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP)

Penyampaikan masukan kebijakan itu disertai aksi puluhan orang di depan Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Aksi sempati itu dilaksanakan di depan sekretariat JETP itu bertujuan memberikan masukan kepada Sekretariat JETP tentang skema pemensiunan PLTU batubara di Sumatera. Aksi ini juga dimaksudkan untuk mengabarkan bagaimana dampak dari beroperasinya PLTU batubara di Pulau Sumatera.

Anggota STuEB, Sumiati Surbakti dari Yayasan Srikandi Lestari menyampaikan, bahwa dampak kesehatan yang dialami warga di ring satu PLTU batubara sangatlah serius dan harus menjadi perhatian dan pertimbangan mendasar untuk segera memensiunkan PLTU batu bara di Sumatera.

“Beroperasinya PLTU Pangkalan Susu di Sumatera Utara membuat 333 orang mengalami penyakit kulit, ISPA, hipertensi, paru hitam dan tiroid,” katanya.

Alfi Syukri perwakilan dari LBH Padang yang merupakan jejaring STuEB mengatakan,tidak hanya jakarta yang mengalami polusi, daerah sekitar PLTU juga mengalaminya. Salah satunya di sijantang koto (sawahlunto) tempat beroperasinya PLTU Ombilin dari tahun 1996, lalu PLN dan IDI (ikatan dokter Indonesia) melakukan cek kesehatan 53 orang murid SD Sijantang tahun 2017 dengan hasil telah menyebabkan 33 orang murid mengalami gangguan fungsi paru.

Menurut Alfi, dampak kesehatan ini selaras dengan data kesehatan dengan data BPS bahwa ISPA selalu masuk penyakit 10 besar di Kecamatan Talawi dan 3 kecamatan lainnya di sawahlunto. Setelah peristiwa tersebut telah diberikan sanksi proper hitam pada tahun 2018.

Alfi melanjutkan, namun tidak ada sikap serius untuk memperhatikan, menanggulangi dan memulihkan kesehatan sampai saat ini (sudah 5 tahun dari sanksi) oleh pihak PLTU maupun pemerintah Kota Sawahlunto. Bisa diihat dari tidak adanya informasi tentang kualitas udara (PM 2,5) dan bagaimana SOP untuk menanggulangi kesehatan.
Situasi urgent ini membuat PLTU Ombilin harus dipensiunkan dan seluruh masyarakat serta lingkungan secepatnya untuk dipulihkan karena hak atas kesehatan berkaitan dengan nyawa. Tidak ada harga yang pantas sampai mengorbankan hak atas kesehatan.

Sementara, Boni Bangun Koordinator Sumsel Bersih menyatakan bahwa aktivitas pembuangan limbah B3 berupa abu (Fly ash dan Bottom ash) hasil dari aktivitas PLTU Keban Agung di areal terbuka menimbulkan pencemaran udara di sekitar Desa Muara Maung Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. Dampaknya, kesehatan masyarakat dipertaruhkan, terutama gangguan pernapasan.

Ditegaskan pula bahwa PLTU batubara Tenayan Raya di Pekanbaru Riau menjadi salah satu pencemar utama Sungai Siak yang mengakibatkan nelayan Okura kehilangan mata pencaharian.

Wira Ananda perwakilan dari LBH Pekanbaru menyatakan, bahwa berdasarkan laporan pelaksanaan persyaratan dan kewajiban izin lingkungan PLTU Tenayan Raya periode semester I tahun 2020 hasil pemantauan kualitas air permukaan di perairan sekitar jetty diketahui melebihi baku mutu lingkungan hidup.

Lebih jelas secara keseluruhan, proyek-proyek PLTU batubara telah menghancurkan sumber kehidupan dan ancaman kesehatan serta keselamatan lingkungan yang dipaparkan lebih jelas dalam dokumen masukan kebijakan (policy brief) yang telah disampaikan Jejaring STuEB kepada perwakilan Sekretariat JETP.

Olan Sahayu, Direktur Program dan Juru Kampanye Energi Kanopi Hijau Indonesia yang juga menjadi juru bicara STuEB menyatakan, dua dokumen yang disampaikan ke Sekretariat JETP yaitu pemensiunan segera PLTU batubara di Sumatera dan demokratisasi energi, seharusnya menjadi dokumen pandu dalam proses penyusunan skema transisi energi yang sedang disusun oleh Sekretariat JETP.

“Transisi energi harus menitikberatkan pada penutupan PLTU batubara yang terbukti telah menyengsarakan rakyat di tapak dan PLTU juga merupakan kontributor emisi karbon yang memperparah krisis iklim,” kata Olan.

*Siaran Pers Sumatera Terang untuk Energi Bersih

Narahubung : Olan Sahayu : 085832649417 | Sumiati Surbekti : 081237179660 | Alfi Syukri : 082287898026 | Wira Ananda : 082167660758 | Boni Bangun : 081377561605

Hari Gajah Se-Dunia 2023 di Sumsel : Akrabkan Gajah Sumatera ke Gen Z

0

Seekor gajah celangak-celinguk menyapa pengunjung Kambang Iwak Family (KIF) Park Palembang. Bergoyang-goyang seperti menari, melambai-lambaikan tangannya, mengajak pegunjung KIF Park untuk foto bareng.

Anak-anak dengan sedikit ragu mendekat, lalu mulai akrab dan kemudian berfoto bersama. Tentu saja, orang tua mengizinkan anaknya mendekat, karena itu cosplay gajah. Setelah berfoto, pengunjung dipersilakan bergabung dengan kerumunan yang telah duduk-duduk santai di pelataran utama KIF Park.

Standing banner yang terpampang di sana bertuliskan ‘Global Elephant Day 2023’. Dengan logo penyelenggara BKSDA Sumsel, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Sumsel, Universitas Sriwijaya Fakultas Biologi, dan Hutan Kita Institute (HaKI).

Winda Indriati mengatakan, peringatan Hari Gajah Sedunia yang dirayakan setiap 12 Agustus. Kegiatan ini menjadi upaya menyebarkan kesadaran tentang pelestarian dan perlindungan satwa yang semakin berkurang populasinya akibat konflik dengan manusia, perambahan hutan dan perburuan.

“Peringatan hari gajah ini bertujuan mensosialisasikan dan edukasi masyarakat tentang gajah, utamanya gajah sumatera. Selain itu, kita juga mengajak masyarakat luas untuk berkontribusi langsung dalam pelestarian gajah. Walaupun dengan cara yang sederhana,” kata Winda yang merupakan Ketua Pelaksana Peringatan Global Elephant Day (Ged) di Sumatera Selatan.

Menurut Winda, Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang memiliki delapan kantong habitat bagi gajah Sumatera, dengan sebagian besar populasi berada diluar kawasan konservasi.

Kantong habitat gajah di Sumsel, lanjut Winda, terdiri dari Meranti Sungai Kapas, Lalan, Jambul Nanti Patah, Mesuji, Saka Gunung Raya, Sugihan-Simpang Heran, Saka Gunung raya, Jambul Nanti Patah, Suban Jeriji, Benakat Semangus. Degradasi dan fragmentasi habitat, perburuan, perdagangan gading, serta konflik menjadi ancaman utama bagi populasi gajah di wilayah ini.

Octavia Susilowati menceritakan tentang Tumbuhan Satwa Liar (TSL) di Sumatera Selatan, khususnya gajah sumatera. “Gajah Sumatera merupakan salah satu satwa kunci dilindungi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P 106 Tahun 2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa dilindungi di Indonesia. Secara global memiliki status terancam punah kategori daftar merah IUCN sejak tahun 2011,” kata Octavia yang mewakili BKSDA Sumsel menjadi salah satu Narasumber.

Narasumber dari Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) Beni Hidayat menyampaikan kearifan lokal tentang kebijakan konservasi satwa, khususnya gajah Sumatera. Beni mengatakan, beberapa faktor yang mendorong spesies ini menuju kepunahan adalah degradasi habitat akibat perusakan hutan untuk perkebunan dan area pengembangan.

“Faktor lainnya adalah perburuan dan pembantaian oleh manusia. Karena menganggap hewan-hewan ini sebagai musuh yang kadang-kadang masuk ke permukiman masyarakat,” kata Beni.

Narasumber lainnya dari Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Sumsel, yang diwakili oleh Ade Sumantri. Pada kesempatan ini Ade menyampiakan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan untuk berkonstribusi dalam upaya konservasi Gajah Sumatera.

Peringatan Hari Gajah Sdunia di Sumatera Selatan tidak hanya dilakukan di KIF Park Palembang. Kegiatan yang sama dilakaukan juga di Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya, Indralaya. (*)

Memastikan Akses Masyarakat Terhadap Keadilan Lingkungan

0

Lahan petani tergusur tanpa ganti rugi yang jelas, pencemaran air dan udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat desa, serta kasus lainnya yang kerap membelit masyarakat desa. Tidak sedikit cerita semangat perjuangan masyarakat mempertahankan haknya.

Pengetahuan dan akses yang tidak setara terhadap keadilan tampaknya menjadi tantangan besar. Masyarakat desa masih kesulitan mengakses bantuan hukum yang sangat mereka butuhkan. Pengetahuan mereka tentang hukum terbatas dan biaya juga menjadi kendala, serta kompleksitas kasus yang kadang membingungkan.

Pentingnya pengetahuan pengetahuan dan membangun kebersamaan, Hutan Kita Institute (HaKI) dan Sumsel Bersih mengadakan pelatihan Paralegal Lingkungan, di Balai Pelatihan HaKI, beberpa waktu lalu. Pelatihan ini tidak hanya memberikan pengetahuan hukum praktis tetapi juga memberikan bekal untuk membantu kelompok masyarakat yang membutuhkan perlindungan hukum.

Seperti hak atas bantuan hukum secara luas dan akses terhadap keadilan merupakan hak konstitusional warga Negara yang telah dijamin. Tertuang dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Dengan pelatihan ini diarahkan untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, paralegal terlatih harus mampu menguasai ilmu hukum praktis yang akan sangat membantu dalam membantu kelompok masyarakat. Kedua, dengan bertambahnya jumlah pendamping hukum diharapkan mampu memberikan dukungan yang lebih luas kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan.

Tidak hanya itu, paralegal juga harus memiliki kemampuan yang solid dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan hak-hak lain yang dijamin oleh hukum. Mereka akan dilatih untuk menjadi agen perubahan yang memberdayakan masyarakat dan membantu mereka menghadapi tantangan hukum yang kompleks.

Peserta yang mengikuti pelatihan ini terdiri dari mahasiswa, organisasi masyarakat, aktivis lingkungan, dan masyarakat yang tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang paralegal lingkungan.  

Pelatihan ini menggunakan metode pembelajaran yang menarik dan bervariasi. Peserta akan mendapatkan wawasan dari pakar hukum lingkungan melalui ceramah dan presentasi singkat. Adiosyafri, seorang mediator dan berpengalam menjadi Ketua Satgas Percepatan Penyelesaiaan Konflik Agraria Sumber Daya Alam (P2KA SDA) Kabupaten Musi Banyuasin, memberi mateir pertama terkait dengan resolusi konflik agrarian.

Sri Lestari Kadariah, SH, M.H, praktisi dan juga mantan ketua Lembaga Bantuaj Hukum (LBH) Palembang memberi materi Pengantar Hukum Lingkungan. Analisis kasus-kasus nyata diutarakan, dan studi kasus, peserta akan mengetahui bagaimana penerapan ilmu hukum dalam situasi kehidupan nyata.

Rektor Universitas IBA Dr. Tarech Rasyid, M.Si yang memberi materi hak Azazi Manusia. Tarech menceritakan sejarah HAM dan bebagai teori yang mendasarinya. Dengan mengalir diskusi akan memberi peserta kesempatan untuk memperdalam pemahaman mereka dan berbagi pandangan tentang masalah yang dihadapi masyarakat.

Pemateri lainnya Direktur Eksekutif WALHI Sumsel  Yuliusman, SH. Yang menyampaikan materi Pengantar Komunikasi Paralegal.  Materi Bantuan Hukum dan Advokasi disampaikan oleh Fribertson Parulian Samosir, S.H dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang. Pemateri lainnya Taslim, SH menyampaikan materi Pengantar Hukum dan Demokrasi di Indonesia, serta pemateri lainnya.

Paparan materi dan diskusi memberi peserta kesempatan untuk memperdalam pemahaman mereka dan pandangannya tentang masalah yang dihadapi masyarakat. Selain itu, dengan analisis kasus-kasus nyata dan studi kasus, peserta akan mengetahui bagaimana penerapan ilmu hukum dilapangan.

Para peserta diharapkan akan menjadi pendamping masyarakat, menjembatani kesenjangan pengetahuan dan akses keadilan. Mereka akan membawa secercah harapan bagi mereka yang berjuang melawan ketimpangan akses terhadap keadilan. (*)

Pelatihan Paramedia : Menebar Benih Jurnalis Lingkungan

0

Pelatihan Jurnalis lingkungan diselenggarakan dengan tujuan membekali peserta dengan pengetahuan dan keterampilan untuk secara efektif melaporkan isu-isu yang berkaitan dengan topik lingkungan hidup.

Pelatihan Jurnalis Lingkungan ini diikuti oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, jurnalis, penulis, aktivis lingkungan, hingga individu awam yang peduli terhadap lingkungan yang semakin memprihatinkan. Acara ini diselenggarakan oleh Hutan Kita Institute (HaKI) dan Sumsel Bersih, dan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Sumsel di Balai Pelatihan Hutan Kita, beberapa waktu lalu.

Direktur HaKI Deddy Permana, saat membuka acara menjelaskan tentang pentingnya peran jurnalis dalam permasalahan lingkungan saat ini. Dalam paparannya, Deddy menjelaskan beberapa isu lingkungan terkini, seperti pemanasan global dan perubahan iklim yang semakin memprihatinkan, deforestasi dan penggundulan hutan yang merajalela. Selain itu tentang polusi air dan udara adalah penyebab keberadaan manusia dan alam, pertambangan, dan Perhutanan Sosial.

Materi selanjutnya adalah “Pengantar Jurnalisme Lingkungan” yang disampaikan oleh Ibrahim Arsyad, Editor Media Gatra Prov. Sumsel. Materi ini mendalami sejarah jurnalisme lingkungan dan peran pentingnya dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan. Peserta semakin memahami bahwa menjadi jurnalis lingkungan bukan sekedar pekerjaan, melainkan panggilan untuk menjadi pengurus bumi.

Etika dalam Jurnalisme Lingkungan menjadi materi selanjutnya yang disampaikan oleh Sigid Widagdo, Manager Komunikasi dan Tata Kelola Pengetahuan HaKI. Materi ini menjelskan prinsip etika jurnalistik, penanganan konflik kepentingan, perlindungan narasumber dan menjaga kerahasiaan narasumber. “Menjadi jurnalis berarti memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyampaikan informasi yang akurat dan berdampak positif bagi masyarakat,” ujarnya.

Peserta juga diajak untuk belajar tentang ‘Metode Penelitian dan Pengumpulan Informasi’ terkait isu lingkungan. Materi ini disampaikan oleh Redaktur Tribun sumsel Prawira Maulana mendorong peserta untuk terus belajar dan berinovasi dengan mencari berbagai sumber informasi. Wira, panggilan akrabnya, berbagi pengalaman dalam dalam merancang liputan, proses penyajian fakta dan data secara akurat terutama dalam liputan investigasi.

Peserta pelatihan juga belajar bagaimana ‘Menulis Berita Lingkungan yang Efektif’. Kontributor Gatra Sumsel Yuliani, berbagi pengalaman tentang struktur artikel berita, penggunaan kutipan yang menarik, dan data statistik yang menjadi kunci untuk menyampaikan informasi secara baik.

Penggunaan media visual dalam jurnalisme lingkungan menjadi salah satu materi pelatihan. Mushaful Imam seorang fotografer senior Sumsel menjadi pematerinya. Peserta mempelajari teknik foto dan film jurnalistik lingkungan, serta bagaimana foto dan video dapat memperkaya kampanye lingkungan. Para peserta tampak bersemangat untuk mencoba keterampilan baru ini.

Keterampilan media visual dipadukan dengan materi ‘Jurnalisme Lingkungan di Era Media Sosial’ yang disampaikan oleh Hafidz dari Wong Kito. Peserta dapat memahami bagaimana media sosial dapat menjadi alat yang ampuh untuk menyebarkan informasi lingkungan secara luas. Kampanye kreatif yang eye-catching dan konten jurnalistik yang disajikan dengan gaya menjadi fokus diskusi.

Direktur Sumsel Bersih Boni Bangun mengatakan, para peserta menuliskan tugas akhir berupa penutup lingkungan dan rencana tindak lanjut. Mereka melakukan diskusi kelompok dan berbagi pandangan tentang isu-isu lingkungan yang ingin mereka angkat dalam karya jurnalistiknya.

Melalui pelatihan ini, Boni mengharapkan para peserta menjadi jurnalis lingkungan yang terampil, berperan aktif menyuarakan isu lingkungan, menginspirasi masyarakat untuk bertindak dengan kepedulian dan lebih bertanggung jawab terhadap alam.

“Semoga perjuangan mereka sukses besar dan bumi semakin indah berkat kontribusi nyata para jurnalis yang cinta lingkungan,” katanya. (*)