Oleh Aidil Fitri *
Berat nian beban yang harus ditanggung pemerintah Jokowi. Dalam dua tahun terakhir masa pemerintahannya, sekonyong-konyong ia harus ngebut mewujudkan begitu luas Perhutanan Sosial. Ia harus memenuhi target mewujudkan 12,7 juta hektar, padahal delapan tahun terkahir ini ia baru melahirkan 4,8 juta hektar, sampai dengan akhir 2021.
Perhutanan Sosial tidak hanya bicara tentang hutan, melainkan juga tentang kesejahteraaan masyarakat di sekitar atau di dalam kawasan hutan. Jokowi pun menyadari bahwa 34 persen desa di Indonesia berada di dalam dan atau sekitar kawasan hutan, dengan kondisi kemiskinan mayarakat yang bergantung penghidupannya dengan hutan dan sudah menjadi permasalahan berkarat di negeri ini.
Hak pengelolaan hutan secara lestari oleh masyarakat setempat inilah yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya dengan Perhutanan Sosial, dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.
Beban ‘moral’ Jokowi semakin berat, karena di hadapan para pemimpin dunia ia menjelaskan program perhutanan sosial dibuat agar konservasi hutan disertai terciptanya penghidupan bagi masyarakat sekitar.
“Jutaan masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor kehutanan. Menafikan hal ini bukan saja tidak realistis, namun juga tidak akan sustainable,” ujar Jokowi dilansir dari Tempo.co. saat ia menjadi salah satu pembicara pada World Leaders Summit on Forest and Land Use yang digelar di Scotish Event Campus, Glasgow, Skotlandia akhir tahun lalu itu.
Mewujudkannya bukanlah hal sederhana. Walaupun target 12,7 juta hektar bukanlah mengejar sesuatu yang entah berantah berada dimana. Peta Indikatif Perhutanan Sosial menunjukan 14 juta hektar potensi Perhutanan Sosial yang sudah jelas lokasinya.
Namun, urusan Perhutanan Sosial bukan hanya mengejar banyaknya luasan hak kelola masyarakat yang telah diberikan atau diakui hak kelola lahannya. Melainkan juga capaian tujuan lainnya terkait dengan konservasi hutan, penyelesaian konflik lahan, dan peningkatan kesejahteraaan masyarakat hutan.
Realisasi 4,8 juta hektar selama 8 tahun-an ini pun masih menyisakan tanda tanya besar terkait dengan sejauh mana Perhutanan Sosial menjawab permasalahan konservasi hutan dan peningkatan kesejahteraaan masyarakatnya. Apalagi yang belum terealisasi.
Lemahnya kolaborsi antar sektor dari tingkatan pemerintahan pusat dan daerah menjadi soal tersendiri dalam pencapaian Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial yang berada dalam kawasan hutan seakan hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan sektor kehutanan semata.
Pemerintah daerah yang memiliki potensi Perhutanan Sosial seperti memandang sebelah mata. Alih-alih diharapkan partisipasinya, malah khawatir salah guna anggaran dalam kawasan hutan.
Demikian juga sektor lainnya diluar kehutanan. Karena Perhutanan Sosial juga menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi dan kabupaten dari sektor terkait dengan urusan kesejahteraaan masyarakat, dan bukan hanya sektor kehutanan.
Kolaborasi
Kolaborasi antar sektor pemerintahan pusat dan daerah, serta swasta dan lembaga non pemerintah bisa menjadi jawaban akan percepatan capaian luasan Perhutanan Sosial, sekaligus jawaban akan konservasi hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kolaborasi tersebut dapat terlaksana dengan ditopang Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Perhutanan Sosial (PPS), yang meluas sampai dengan tingkat provinsi dan kabupaten.
Minimnya sumber daya pendampingan di tingkat tapak tidak kalah penting. Fasilitasi dan pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan bagi yang sudah mendapat hak pengelolaan lahan Perhutanan Sosial terkait dengan pengembangan usaha, pengelolaan kawasan, dan peningkatan nilai tambah produk berikut penetrasi pasarnya.
Tanggung jawab suksesnya Perhutanan Sosial, kepastian legalitas hak kelola lahan masyarakat, kesejahateraan, terselesaikannya konflik lahan, dan lestarinya hutan serta keberlanjutanya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah yang harus diprioritaskan.
Janji Jokowi tetap menjadi utang yang harus dibayar. Pengakuan dan atau pemberian hak kelola lahan masyarakat tentu sangat diharapkan terselesaikan, dan bukan hanya menjadi komoditas politik. Sehingga capaian konservasi hutan, penyelesaian konflik lahan, dan peningkatan kesejahteraaan masyarakat hutan di Indonesia dapat terjawab dengan Perhutanan Sosial.
(*) – Direktur Eksekutif Hutan Kita Isntitute (HaKI)
– Wakil Pokja Percepatan Perhutanan Sosial (PPS) Sumatera Selatan