Hutan Adat Puyang Sure merupakan hutan yang dikelola Masyarakat Hukum Adat Puyang Sure Aek Big’a dalam skema Perhutanan Sosial. Tepatnya berada di Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Puyang Sure adalah leluhur masyarakat adat yang mendirikan dusun Penyandingan marga Semende Darat pada tahun 1843. Aturan dan nilai-nilai adat menjadi pegangan masyarakat dalam menjalin hubungan sosial dan lingkungan. Hukum adat itu lestari melalui tutur dan terabadikan dalam ‘Kitab Karas’ atau surat ulu adat Semende.
Konsep hutan larangan menjadi salah satu nilai adat yang terus dipertahankan. Hutan larangan atau juga disebut hutan peramuan karena pada areal hutan tersebut dibawah perlindungan masyarakat adat. Dengan aturan pemanfaatan sebagai Peramuan, tempat mengambil kebutuhan meramu, kayunya untuk rumah dan kebutuhan umum masyarakat adat.
Musyawarah pemangku adat yang mengambil putusan pemanfaatan hutan. Pemanfaatan hutan peramuan, diantaranya ; kayu tidak boleh dijual diperuntukan hanya untuk masyarakat adat setempat. Serta lahan pencadangan untuk usaha produktif, dan tidak boleh dimiliki secara individu. Aturan dan nilai adat ini menyelaraskan dengan aturan agama, untuk kesejahteraan masyarakat dan mengacu pada adat Masyarakat Semende secara umum. Dengan kekayaan adat budaya yang masih lestari di Masyarakat Sumsel, Potensi Hutan Adat masih besar di Sumsel.
Amanat Adat Puyang Sure untuk menjaga Hutan Peramunan dipegang teguh masyarkat adat turun-temurun. Tercatat 20 nama memimpin Penyandingan dengan jabatan Ketua Adat, Kriyo, Kepala Dusun, dan Kepala Desa menjaga amanah Hutan Peramunan sampai kini.
Keinginan menjaga amanah Puyang Sure diperkuat dengan pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA). Hutan Kita Institute (HaKI), memfasilitasi proses pengakuan hak Hutan Adat Puyang Sure. Surat Keputusan Bupati Muara Enim tentang Penetapan Masyarakat Hukum Adat Puyang Sure Aek Big’a Marge Semende Darat Laut di dapat pada tahun 2018.
Setelah pengajuan Perhutanan Sosial dan Verivikasi, SK Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Adat dari Menteri LHKdi dapat pada Maret 2019. Masyarakat Adat resmi mendapat hak terhadap Hutan Adat Puyang Sure Aek Big’a Ghimbe Peramunan seluas 43,7 hektar.
Masyarakat Hukum Adat Puyang Sure didampingi oleh Hutan Kita Institute (HaKI) telah menyusun Rencana Tata Kelola Hutan Adat (RTKH). Konsep wisata dijadikan salah satu rencana pengembangan Hutan Adat. Selain itu fungsi konservasi Hutan Adat dimanfaatkan sebagai daerah resapan air dan sumber mata air masyarakat Desa Penyandingan.
Pemanfaatan dan pengembangan potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) juga diatur dalam RTKH. Masyarakat adat dapat mengambil hasil hutan seperti buah-buahan, tanaman hutan, serta tanaman obat-obatan dengan ketentuan tidak boleh menebang dan merusak tanaman hutan.
Tanaman hutan lokal masih lestari di Hutan Adat. Diantaranya ; Menyan, Seru, Medang, Kelat, Mampat, Cemara, Pelawi, Bambu, Rotan dan Jelatang. Hasil Hutan Bukan Kayu juga masih banyak terdapat di Hutan Adat, seperti bambu, rotan, bragam tanaman buah-buahan dan tanaman obat tradisional.
Menjaga kelestarian satwa liar juga menjadi salah satu aturan adat. Sehingga beragam satwa liar masih menjadi kekayaan Hutan Adat Puyang Sure sampai dengan kini. Aliran sungai berliku dengan beragam jenis ikan dan kicauan burung yang menyemarakah suasana Hutan Adat diharapkan tetap terjaga kelestariannya. (*)
Penulis : Bayu Prima (Pendamping Perhutanan Sosial HaKI)