Perhutanan Sosial [PS] adalah program populis pemerintahan Joko Widodo [Jokowi]. Target luasan hutan sekitar 12,7 juta hektar dalam skema PS, membuat ratusan ribu kepala keluarga yang hidup di sekitar hutan bersuka cita. Tapi hingga akhir pemerintahannya, masih banyak masyarakat sekitar hutan yang belum masuk skema tersebut.
Sejauh ini, baru 7 juta hektar kawasan hutan yang diserahkan kepada masyarakat. Ini diwujudkan dalam sejumlah skema PS, seperti Hutan Desa [HD], Hutan Kemasyarakatan [HKm], Hutan Tanaman Rakyat [HTR], Hutan Adat [HA], dan Kemitraan Kehutanan.
Di Sumatera Selatan [Sumsel], yang memiliki potensi kawasan hutan untuk dijadikan PS seluas 493 ribu hektar, baru terwujud sekitar 135,7 ribu hektar. Ini terdiri HD [33.640 hektar], HKm [47.030,53 hektar], HTR [22.184,07 hektar], HA [379,70 hektar], dan Kemitraan Kehutanan [30.155,93 hektar].
Luasan ini didapatkan dari 220 unit izin SK [Surat Keputusan] PS, yang melibatkan 32.950 kepala keluarga.
“Banyak hal yang menjadi kendala dalam mewujudkan PS. Tapi intinya, sejumlah pihak masih melihat PS sebagai program, bukan upaya mengembalikan marwah masyarakat dengan hutan. Sebab, jika melihat PS sebagai marwah masyarakat dengan hutan, semua pihak pasti terlibat. Mulai dari pemerintah desa, dinas kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, koperasi dan UKM [Usaha Kecil Menengah], hingga pariwisata,” kata Deddy Permana, Direktur Eksekutif HaKI [Hutan Kita Institut], pertengahan September 2024.
HaKI adalah organisasi masyarakat sipil di Sumatera Selatan, yang konsen [pendampingan] terhadap PS. Dari 220 unit izin SK [Surat Keputusan] PS di Sumsel, hampir 50 persen melibatkan HaKI.
“Selama ratusan tahun, masyarakat di Indonesia memperlakukan hutan itu bukan sebatas area resapan air dan habitat satwa. Tetapi juga, sebagai sumber pangan, papan, dan ekonomi. Masyarakat yang mendapat kepercayaan mengelola PS, bukan hanya dituntut menjaga hutan dan satwa, juga dapat memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi dari kawasan hutan.”
Nah, upaya masyarakat untuk menjadikan hutan sebagai sumber pangan dan ekonomi inilah, yang belum mendapatkan dukungan maksimal dari berbagai pihak.
Salah satu bukti lemahnya dukungan PS tersebut, kata Deddy, hingga saat ini PS belum masuk dalam RPJMD [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah] Sumatera Selatan, “Apalagi dimasukkan dalam rencana kerja pemerintah desa.”
Selain lemahnya dukungan, jelas Deddy, juga ditemukan “penumpang gelap” pada sejumlah kelompok masyarakat yang menerima izin PS. Para penumpang gelap ini, umumnya para pelaku usaha yang ingin mendapatkan akses lahan untuk kepentingan ekonomi. Seperti mengembangkan perkebunan monokultur.
“Hadirnya penumpang gelap, umumnya dikarenakan sejak awal tidak ada kelompok pendamping dan penguatan kelembagaan,” ujarnya.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan bahwa Perhutanan Sosial merupakan kebijakan afirmatif pemerintah guna mewujudkan pemerataan ekonomi. Ini tidak hanya berupa pemberian akses kelola hutan, tetapi juga mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kesempatan berusaha, termasuk akses permodalan dan pasar.
Pemerintah terus mendorong pengembangan usaha bagi kelompok-kelompok yang telah mendapatkan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial, dalam hal peningkatan kapasitas tata kelola hutan, tata kelola kelembagaan dan tata kelola usaha.
“Targetnya adalah better farming, better business, dan better living,” ujarnya, dikutip dari situs KLHK, 20 Juni 2024.
Siti menyatakan, angka 12,7 juta ha merupakan angka ideal, dalam konfigurasi pemanfaatan kawasan hutan bagi masyarakat.
“Hingga Mei 2024, Perhutanan Sosial telah mencapai 7,08 juta hektar yang terdiri 10.232 unit persetujuan, dengan melibatkan 1,3 juta kepala keluarga di seluruh Indonesia,” urainya.
Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, dikutip antaranews.com pada 22 November 2023, menjelaskan perhutanan sosial yang merupakan proyek strategis nasional itu berjalan lambat akibat pemangkasan anggaran sebesar 35 persen selama masa pandemi COVID-19, yang berlangsung hampir tiga tahun.
Pemotongan anggaran dilakukan karena pemerintah saat itu fokus terhadap sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi.
Menurutnya, sebelum pandemi tahun 2017 hingga 2020, anggaran untuk perhutanan sosial itu antara 700 ribu sampai 1 juta hektar. Dengan begitu, realisasi perhutanan sosial bisa mencapai 4,9 juta hektar dalam waktu empat tahun.
Ketika pandemi, target perhutanan sosial menurun menjadi 250 hektar. Bahkan, tahun 2023 hanya 150 ribu hektar.
“Namun sekarang, sudah 750 ribu hektar,” ujar Bambang.
Belum optimal
Hanya sebagian kecil dari 32.950 kepala keluarga yang terlibat dalam PS di Sumsel, yang sudah merasakan dampak “kesejahteraan”.
Dikutip dari artikel “Sandungan Perhutanan Sosial” yang ditulis Henni Martini dan Prasetyo Widodo di Warta Hutan Kita Edisi III/2023, disebutkan dari 208 kelompok PS [sekarang menjadi 220], sekitar 50 persen belum membentuk KUPS [Kelompok Usaha Perhutanan Sosial].
Bahkan, KUPS yang sudah terbentuk tersebut masih sebatas mengidentifikasi potensinya [klasifikasi biru]. Belum memiliki rencana kerja dan unit usaha.
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi Nasional [2023]. Dari 10.096 kelompok, sekitar 50,44 persen baru mengidentifikasi potensinya [klasifikasi biru], yang sudah memiliki rencana kerja dan unit kerja [klasifikasi perak] sebesar 40,36 persen, unit usaha sudah berjalan, memiliki produk, memiliki modal usaha, dan sudah ada pasar lokal [klasifikasi gold] sebesar 8,74 persen, dan yang sudah memiliki pasar regional atau international [klasifikasi platinum] hanya 0,45 persen.
Padahal, produk PS di Sumsel cukup bervariasi. Misalnya di wilayah dataran tinggi, produk yang dihasilkan berupa kopi. Kopi yang dijual dari green bean, kopi bubuk, hingga produk turunan kopi seperti parfum dan body lotion.
Selain itu ada juga yang mengembangkan jasa lingkungan [ekowisata] untuk memanfaatkan keindahan alam, seperti danau, air terjun, dan panorama.
Intinya, kendala yang dihadapi kelompok PS di Sumsel maupun daerah lain di Indonesia, mulai dari modal, alat produksi, perizinan produk, serta akses penjualan yang belum luas.
Henni Martini dan Prasetyo Widodo berpendapat, ada dua upaya untuk memperbaiki kelompok masyarakat yang terlibat dalam skema PS. Yakni penguatan kelembagaan dan pendampingan.
Kepercayaan setengah hati
Pelaksana pemerintah dinilai masih “setengah hati” memberikan kepercayaan kepada masyarakat dalam mengelola hutan. Masyarakat yang menetap di dalam dan sekitar hutan, masih dipandang sebagai komunitas yang tidak memiliki kemampuan mengelola hutan.
“Padahal faktanya, sejak era pemerintahan Hindia Belanda hingga saat ini, banyak hutan yang rusak atau berubah fungsi karena dikelola perusahaan. Sementara selama ratusan tahun, seperti leluhur kami hidup harmonis dengan hutan,” kata Rusi Siruadi, Rusi Siruadi, Sekretaris HKm Kibuk, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, Selasa [17/9/2024].
HKm Kibuk seluas 450 hektar berada di Bukit Dingin, kaki Gunung Dempo.
“Memang masih ada masyarakat yang membuka hutan untuk berkebun. Tapi itu dilakukan bukan untuk menjadi kaya, demi bertahan hidup atau hidup miskin.”
Jadi, skema PS itu sebuah langkah yang baik untuk menata masyarakat yang hidup di sekitar hutan. “Kami sangat bersyukur mendapat kepercayaan ini. Tapi berilah kepercayaan secara penuh. Baik dalam mengelola hutan, menggunakan teknologi maupun modal. Jika mendapat kepercayaan penuh, peluang kami untuk maju atau sejahtera terbuka lebar.”
Pemerintah dan berbagai pihak harus percaya bahwa kami tidak mungkin merusak amanah menjaga hutan.
“Jika hutan rusak atau tidak dikelola secara lestari, kami yang pertama merasakan dampak buruknya. Kami juga malu dengan leluhur kami, yang selama ratusan tahun menjaga hutan di Gunung Dempo ini. Kami hidup harmonis dengan hutan, termasuk dengan satwa yang sangat dilindungi, seperti harimau sumatera.”
Politik ruang
Keinginan pemerintahan Jokowi mewujudkan 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk masyarakat melalui skema PS adalah kebijakan populis.
“Semangatnya bagus untuk kepentingan masyarakat, tapi implementasinya lemah,” kata Yuliusman, Direktur Eksekutif Daerah Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumsel, Sabtu [21/9/2024].
Penyebab lemahnya implementasi PS akibat kuatnya pertarungan politik ruang dan anggaran. Artinya, program PS tersebut kalah dengan kepentingan investasi, proyek strategis nasional, serta pembangunan infrastruktur lain, yang juga membutuhkan ruang dan anggaran.
“Bagi dunia usaha, terutama yang berbasis lahan memandang keberadaan PS tidak menguntungkan bagi mereka. Celakanya, ada juga pemerintah daerah secara pragmatis melihat PS tidak menambah PAD [Pendapatan Asli Daerah]. Dampaknya di level daerah, program PS dengan niat pemenuhan wilayah kelola rakyat, ada yang tidak mendapat dukungan secara penuh oleh pemerintah,” jelasnya.
Bukti pemerintahan Jokowi cenderung membela kepentingan investor adalah lahirnya UU Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Perusahaan yang memanfaatkan hutan, seperti HTI [Hutan Tanaman Industri], dapat berlangsung selama 100 tahun, sementara PS hanya selama 35 tahun. Ini kan sangat tidak adil,” lanjutnya.
Dapat dikatakan, program PS adalah utang Jokowi terhadap ribuan masyarakat yang hidup di sekitar hutan, yang sebelumnya memiliki harapan untuk mendapatkan akses legal terhadap hutan.
Dia berharap, pemerintahan Prabowo Subianto lebih menunjukkan keberpihakan pada PS.
“Tapi bukan sebatas pernyataan populis, juga mendorong adanya penguatan politik ruang dan anggaran terhadap PS,” jelas Yuliusman.
Perhutanan Sosial bukanlah kebijakan baru. Konsep pemberian akses legal bagi masyarakat untuk memanfaatkan hutan, sudah dimulai sejak 1990-an.
Dikutip dari prcfindonesia.org, awal dikenalkannya model Hutan Kemasyarakatan [HKm] pada 1995, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622 Tahun 1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Skema ini memberikan peluang kepada masyarakat sekitar hutan, untuk ikut memanfaatkan hutan sesuai fungsinya.
Tahun 1997, pelibatan masyarakat tersebut berupa Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan [HPHKm], melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/1997 tentang Hutan Kemasyarakatan. Pengaturan ini disempurnakan pada 1999, sejalan dengan ditetapkanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Penyempurnaan HKm dilakukan lagi pada 2001 bersamaan pelaksanaan UU Otonomi Daerah, berupa proses perizinan IUPHKm.
Tahun 2007 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam konteks perhutanan sosial, peraturan ini mulai mengenalkan skema baru, yakni Hutan Tanaman Rakyat [HTR] dan dan Hutan Desa [HD].
Selanjutnya, berdasarkan PP tersebut lahir beberapa peraturan menteri yang mengatur penyempurnaan HKm [2009-2011], pengaturan HTR [2011], pengaturan Kemitraan Kehutanan [2013], pengaturan Hutan Desa [2014], dan pengaturan Hutan Hak [2015].
Tahun 2016, dalam rangka percepatan pelaksanaan Perhutanan Sosial, semua pengaturan skema pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan digabung dan disederhanakan dalam satu pengaturan mengenai Perhutanan Sosial. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, yang dilengkapi pengaturan tentang Hutan Adat. (*)
Berita ini telah dimuat di situs berita Mongabay.co.id pada Selasa (24/09/2024). [https://www.mongabay.co.id/2024/09/24/perhutanan-sosial-dan-utang-pemerintahan-jokowi-pada-masyarakat-sekitar-hutan/]