Harapan tersebut tentu tidaklah sekedar menjadi harapan. Salah satu jalan mewujudkan harapan tersebut melalui kemitraan konservasi, yakni kemitraan kehutanan di dalam kawasan konservasi dengan kerjasama antar unit pengelola kawasan atau pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat. Tentulah kerjasama ini berdasarkan prinsip saling menghargai, saling percaya, dan saling menguntungkan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan kebijakan Perhutanan Sosial untuk mendekatkan masyarakat dengan hutan, melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) merancang satu peraturan tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Tata Cara Kemitraan Konservasi Pada Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestraian Alam (KPA) yang tertuang dalam Perdirjen KSDAE Nomor 6 Tahun 2108.
Adanya Juknis ini diharapkan mampu mempercepat terwujudnya kemitraan antara Unit Pelaksana Teknis (UPT) kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Berbak dan Sembilang dengan masyarakat di sekitar dan di dalam Kawasan Taman Nasional Berbak dan Sembilang (TNBS). Peraturan baru ini sekaligus melengkapi ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya tentang penyelenggaraan kerja sama dan kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Mewujudkan perlindungan yang efektif bagi kawasan konservasi memang pekerjaan yang membutuhkan dukungan kerja sama yang kuat. Begitu besar tantangan yang berakar dari masalah kemiskinan setempat, pengaruh dari luar, serta terbatasnya keterampilan dan akses masyarakat lokal.
Turut mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka penguatan tata kelola dan fungsi kawasan konservasi dan kelestarian keanekaragaman hayati, Konsorsium Bentang Alam Sembilang Sumsel (KiBASS) melakuan pemberdayaan masyarakat di sekitar Taman Nasional Sembilang.
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan KiBASS, diantaranya berupaya meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penerapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.
Pendekatan yang berbasis masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dilakukan karena upaya penegakan hukum ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah. Bahkan pendekatan ini sudah tidak lagi dijadikan panglimanya. Apalagi jika mengingat konflik laten berkaitan dengan tata batas dan sejarah tenurial setempat, masalah jadi tidak sesederhana hitam dan putih.
Â