Pelatihan roasting (panggang) kota menggunakan mesin kepada Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang berada di kawasan Hutan Adat Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Provinsi Sumatera Selatan, yang diselenggarakan Hutan Kita Institute (HaKI) bekerjasama dengan BPDLH-TERRA CF, pada Rabu (04/09/2024). (HaKI)
Cara perlakuan pengelolaan biji kopi untuk mendapat cita rasa yang baik, menjadi faktor utama. Petik merah, pengeringan menggunakan green house atau memaki media jemur pale-pale (meja jemur), hingga pemanggangan harus benar-benar memperhatikan mutu/kualitas.
Selain itu, keterampilan penyangraian biji kopi (Coffee Bean Roasting) menjadi kebutuhan para petani kopi yang sudah memulai mengolah dan menjual kopi bubuk dan roasted bean. Dengan keterampilan roasting petani kopi dapat menaikan nilai tambah hasil panen dan tidak hanya menjual green bean.
Pelatihan penyangraian biji kopi (Coffee Bean Roasting) dilakukan Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI), dengan dukungan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)-TERRA for Customary Forest (TERRA-CF) untuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Agro Pasai, Hutan Adat Tebat Benawa di Dempo Selatan, Pagaralam dan KUPS Agrowisata Hutan Adat Puyang Sure Aek Big’a di Penyandingan Semende Muara Enim, Sumatera Selatan.
Menurut Reza Fahdah, pengelola Gerai Hutan yang sudah tersertifikasi Barista, petani kopi yang biasanya melakukan penyangraian tradisional untuk kebutuhan kopi di rumahnya. Dengan adanya pelatihan penyangraian biji kopi (Coffee Bean Roasting) dengan mesin roasting petani diperkenal bagaimana memperlakukan biji kopi hingga mendapat aroma, cita rasa yang nikmat dan konsisten.
Pelatihan mengoperasikan mesin roasting kopi yang dilakukan oleh Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) kepada masyarakat hukum adat di kawasan hutan adat Ghimbe Peramunan, Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, Jumat (06/09/2024). (HaKI)
Tidak dipungkiri, lanjut Reza, mutu dan citarasa kopi yang baik dipengaruhi proses pemanenan yakni petik ceri/merah. Petik merah, artinya petani hanya akan mengambil buah dengan buah kopi yang bagus. Tidak kalah penting juga, pada proses pengeringan atau penjemuran biji kopi. Tidak dianjurkan jemur di tanah atau aspal, yang akan berdampak pada perizinan produk halal salah satunya.
“Ya…minimal pakek meja jemur (para-para). Lebih disarankan pakek green house atau pakek doom UV, guna menghindari dari kotoran hewan melekat di kopi. Ini saran MUI sebagai standarisasi halal,” terangnya.
Pelatihan teknis penyangraian biji kopi (Coffee Bean Roasting) merupakan rangkaiaan kegiatan pendampingan HaKI pada KUPS di Hutan Adat yang meliputi, pembuatan produk KUPS, pemberian bantuan alat produktif, dan peningkatan kapasitas.
Ketua KUPS Agro Pasai Salimin mengatakan, melalui dampingan maupun pelatihan yang difasilitasi HaKI, menjadi pemantik bagi kami menuju ke tahap yang lebih baik lagi. Karena, petani biasanya hanya sebatas menanam dan memanen kopi yang kemudian dijual ke pengepul dengan harga terkadang lebih rendah dari harga pasar.
Pemuda dari Masyarakat Hukum Adat Ghimbe Peramunan, saat menjajal mesin roasting (panggang) kopi setelah mendapat pelatihan yang dilakukan Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI), Jumat (06/09/2024). (HaKI)
“Keterbatasan pengetahuan dan peralatan penunjang yang minim mengharuskan kami menerima keadaan. Mudah-mudahan dengan adanya penambahan keterampilan dan pengetahuan dapat meningkatkan kualitas dan menjadi nilai tambah untuk penjualan kopi yang kami hasilkan,” ungkapnya.
Untuk diketahui bahwa selain pola pemanenan dan perlakuan pasca panen untuk menghasilkan biji kopi dengan mutu baik, tidak kalah penting yakni pada saat pemanggangan (roasting). Karena, meskipun biji berkualitas tetapi cara pemanggangan keliru, tidak akan mendapat cita rasa yang baik.
Roasting kopi adalah proses pemanggangan biji kopi untuk mengeluarkan aroma dan rasa yang terkunci di dalam biji kopi tersebut. Biji kopi yang diroasting awalnya berwarna hijau yang kemudian dalam suhu dan waktu tertentu yang menyebabkan warnanya berubah menjadi kecoklatan.
Berikut beberapa jenis pada saat proses pemanggangan (roasting) kopi. Masing-masing melahirkan aroma dan rasa sesuai berdasarkan level yang diinginkan. Namun, untuk hasil terbaik, beberapa level roasting kopi cocok untuk metode seduh yang disarankan.
Kopi hasil level medium dark yang dilakukan Masyarakat Hukum Adat Ghimbe Peramunan, Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Roastingan kopi ini merupakan hasil uji coba usai mendapat pelatihan yang diselenggarakan Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI), Jumat (06/09/2024). (HaKI)
Level Light Roast
Level roasting kopi yang pertama ini adalah proses pemanggangan biji kopi dalam suhu 180-205 derajat celcius untuk menghasilkan kopi dengan kandungan kafein dan asam yang tinggi. Dalam level roasting kopi ini, biasanya minyak dalam biji kopi tersebut pun juga belum ada karena proses roasting kopi yang belum terlalu lama. Tapi, kopi dengan level roasting light ini bisa menghasilkan kopi beraroma buah sedikit sedikit rasa asam.
Level Medium Roast
Proses medium roast merupakan proses roasting kopi satu tingkat lebih tinggi dibandingkan light roast. Biasanya, pada proses medium roast, biji kopi dipanggang dalam suhu 210 derajat celcius untuk menghasilkan warna biji kopi yang kecokelatan. Kopi yang dipanggang dengan level medium roast ini juga umumnya tidak memiliki minyak, namun memiliki kadar kafein yang sedikit lebih rendah dan menghasilkan kopi dengan rasa, aroma, dan tingkat keasaman yang seimbang.
Level Dark Roast
Semakin tinggi level roasting-nya, semakin rendah kandungan kafein yang ada. Pada proses dark roast, biji kopi akan terlihat cokelat tua, karena telah dipanggang pada suhu 225 derajat celcius.
Nah, bedanya dengan light roast dan medium roast, proses roasting kopi yang satu ini menghasilkan minyak dengan rasa kopi yang kuat dan berempah.
Level Extra Dark Roast
Extra dark roast adalah proses roasting kopi dengan level yang paling tinggi. Dalam proses roasting kopi ini, biji kopi dipanggang dalam suhu 240-250 derajat Celcius. Memang, dengan proses roasting kopi yang ini, kandungan kafeinnya semakin rendah, namun warna yang dihasilkan menjadi lebih pekat, bahkan menjadi warna hitam dan memiliki minyak yang lebih banyak dibandingkan level di bawahnya.
Biasanya, rasa kopi yang di-roasting dengan level ini memiliki rasa pahit dengan sensasi rasa gosong serta berasap dan hampir kehilangan cita rasa originalnya karena di-roasting dengan waktu yang cukup lama dan suhu yang tinggi. (*)
Boedi Majari, Ketua HKm Kibuk, memetik buah terong belanda yang menjadi tanaman sela di kebun kopi arabika di Bukit Dingin, Gunung Dempo, Kota Pagaralam. Sumatera Selatan. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Perhutanan Sosial [PS] adalah program populis pemerintahan Joko Widodo [Jokowi]. Target luasan hutan sekitar 12,7 juta hektar dalam skema PS, membuat ratusan ribu kepala keluarga yang hidup di sekitar hutan bersuka cita. Tapi hingga akhir pemerintahannya, masih banyak masyarakat sekitar hutan yang belum masuk skema tersebut.
Sejauh ini, baru 7 juta hektar kawasan hutan yang diserahkan kepada masyarakat. Ini diwujudkan dalam sejumlah skema PS, seperti Hutan Desa [HD], Hutan Kemasyarakatan [HKm], Hutan Tanaman Rakyat [HTR], Hutan Adat [HA], dan Kemitraan Kehutanan.
Di Sumatera Selatan [Sumsel], yang memiliki potensi kawasan hutan untuk dijadikan PS seluas 493 ribu hektar, baru terwujud sekitar 135,7 ribu hektar. Ini terdiri HD [33.640 hektar], HKm [47.030,53 hektar], HTR [22.184,07 hektar], HA [379,70 hektar], dan Kemitraan Kehutanan [30.155,93 hektar].
Luasan ini didapatkan dari 220 unit izin SK [Surat Keputusan] PS, yang melibatkan 32.950 kepala keluarga.
“Banyak hal yang menjadi kendala dalam mewujudkan PS. Tapi intinya, sejumlah pihak masih melihat PS sebagai program, bukan upaya mengembalikan marwah masyarakat dengan hutan. Sebab, jika melihat PS sebagai marwah masyarakat dengan hutan, semua pihak pasti terlibat. Mulai dari pemerintah desa, dinas kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, koperasi dan UKM [Usaha Kecil Menengah], hingga pariwisata,” kata Deddy Permana, Direktur Eksekutif HaKI [Hutan Kita Institut], pertengahan September 2024.
HaKI adalah organisasi masyarakat sipil di Sumatera Selatan, yang konsen [pendampingan] terhadap PS. Dari 220 unit izin SK [Surat Keputusan] PS di Sumsel, hampir 50 persen melibatkan HaKI.
“Selama ratusan tahun, masyarakat di Indonesia memperlakukan hutan itu bukan sebatas area resapan air dan habitat satwa. Tetapi juga, sebagai sumber pangan, papan, dan ekonomi. Masyarakat yang mendapat kepercayaan mengelola PS, bukan hanya dituntut menjaga hutan dan satwa, juga dapat memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi dari kawasan hutan.”
Nah, upaya masyarakat untuk menjadikan hutan sebagai sumber pangan dan ekonomi inilah, yang belum mendapatkan dukungan maksimal dari berbagai pihak.
Seorang remaja tengah memetik kopi arabika di HKm Kubik, Gunung Dempo, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Salah satu bukti lemahnya dukungan PS tersebut, kata Deddy, hingga saat ini PS belum masuk dalam RPJMD [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah] Sumatera Selatan, “Apalagi dimasukkan dalam rencana kerja pemerintah desa.”
Selain lemahnya dukungan, jelas Deddy, juga ditemukan “penumpang gelap” pada sejumlah kelompok masyarakat yang menerima izin PS. Para penumpang gelap ini, umumnya para pelaku usaha yang ingin mendapatkan akses lahan untuk kepentingan ekonomi. Seperti mengembangkan perkebunan monokultur.
“Hadirnya penumpang gelap, umumnya dikarenakan sejak awal tidak ada kelompok pendamping dan penguatan kelembagaan,” ujarnya.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan bahwa Perhutanan Sosial merupakan kebijakan afirmatif pemerintah guna mewujudkan pemerataan ekonomi. Ini tidak hanya berupa pemberian akses kelola hutan, tetapi juga mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kesempatan berusaha, termasuk akses permodalan dan pasar.
Pemerintah terus mendorong pengembangan usaha bagi kelompok-kelompok yang telah mendapatkan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial, dalam hal peningkatan kapasitas tata kelola hutan, tata kelola kelembagaan dan tata kelola usaha.
“Targetnya adalah better farming, better business, dan better living,” ujarnya, dikutip dari situs KLHK, 20 Juni 2024.
Siti menyatakan, angka 12,7 juta ha merupakan angka ideal, dalam konfigurasi pemanfaatan kawasan hutan bagi masyarakat.
“Hingga Mei 2024, Perhutanan Sosial telah mencapai 7,08 juta hektar yang terdiri 10.232 unit persetujuan, dengan melibatkan 1,3 juta kepala keluarga di seluruh Indonesia,” urainya.
Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, dikutip antaranews.com pada 22 November 2023, menjelaskan perhutanan sosial yang merupakan proyek strategis nasional itu berjalan lambat akibat pemangkasan anggaran sebesar 35 persen selama masa pandemi COVID-19, yang berlangsung hampir tiga tahun.
Pemotongan anggaran dilakukan karena pemerintah saat itu fokus terhadap sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi.
Menurutnya, sebelum pandemi tahun 2017 hingga 2020, anggaran untuk perhutanan sosial itu antara 700 ribu sampai 1 juta hektar. Dengan begitu, realisasi perhutanan sosial bisa mencapai 4,9 juta hektar dalam waktu empat tahun.
Ketika pandemi, target perhutanan sosial menurun menjadi 250 hektar. Bahkan, tahun 2023 hanya 150 ribu hektar.
“Namun sekarang, sudah 750 ribu hektar,” ujar Bambang.
Masih banyak masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang belum terakses skema Perhutanan Sosial [PS]. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Belum optimal
Hanya sebagian kecil dari 32.950 kepala keluarga yang terlibat dalam PS di Sumsel, yang sudah merasakan dampak “kesejahteraan”.
Dikutip dari artikel “Sandungan Perhutanan Sosial” yang ditulis Henni Martini dan Prasetyo Widodo di Warta Hutan Kita Edisi III/2023, disebutkan dari 208 kelompok PS [sekarang menjadi 220], sekitar 50 persen belum membentuk KUPS [Kelompok Usaha Perhutanan Sosial].
Bahkan, KUPS yang sudah terbentuk tersebut masih sebatas mengidentifikasi potensinya [klasifikasi biru]. Belum memiliki rencana kerja dan unit usaha.
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi Nasional [2023]. Dari 10.096 kelompok, sekitar 50,44 persen baru mengidentifikasi potensinya [klasifikasi biru], yang sudah memiliki rencana kerja dan unit kerja [klasifikasi perak] sebesar 40,36 persen, unit usaha sudah berjalan, memiliki produk, memiliki modal usaha, dan sudah ada pasar lokal [klasifikasi gold] sebesar 8,74 persen, dan yang sudah memiliki pasar regional atau international [klasifikasi platinum] hanya 0,45 persen.
Padahal, produk PS di Sumsel cukup bervariasi. Misalnya di wilayah dataran tinggi, produk yang dihasilkan berupa kopi. Kopi yang dijual dari green bean, kopi bubuk, hingga produk turunan kopi seperti parfum dan body lotion.
Selain itu ada juga yang mengembangkan jasa lingkungan [ekowisata] untuk memanfaatkan keindahan alam, seperti danau, air terjun, dan panorama.
Intinya, kendala yang dihadapi kelompok PS di Sumsel maupun daerah lain di Indonesia, mulai dari modal, alat produksi, perizinan produk, serta akses penjualan yang belum luas.
Henni Martini dan Prasetyo Widodo berpendapat, ada dua upaya untuk memperbaiki kelompok masyarakat yang terlibat dalam skema PS. Yakni penguatan kelembagaan dan pendampingan.
Program Perhutanan Sosial kalah dengan kepentingan investasi, proyek strategis nasional, serta pembangunan infrastruktur yang juga membutuhkan ruang dan anggaran. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia
Kepercayaan setengah hati
Pelaksana pemerintah dinilai masih “setengah hati” memberikan kepercayaan kepada masyarakat dalam mengelola hutan. Masyarakat yang menetap di dalam dan sekitar hutan, masih dipandang sebagai komunitas yang tidak memiliki kemampuan mengelola hutan.
“Padahal faktanya, sejak era pemerintahan Hindia Belanda hingga saat ini, banyak hutan yang rusak atau berubah fungsi karena dikelola perusahaan. Sementara selama ratusan tahun, seperti leluhur kami hidup harmonis dengan hutan,” kata Rusi Siruadi, Rusi Siruadi, Sekretaris HKm Kibuk, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, Selasa [17/9/2024].
HKm Kibuk seluas 450 hektar berada di Bukit Dingin, kaki Gunung Dempo.
“Memang masih ada masyarakat yang membuka hutan untuk berkebun. Tapi itu dilakukan bukan untuk menjadi kaya, demi bertahan hidup atau hidup miskin.”
Jadi, skema PS itu sebuah langkah yang baik untuk menata masyarakat yang hidup di sekitar hutan. “Kami sangat bersyukur mendapat kepercayaan ini. Tapi berilah kepercayaan secara penuh. Baik dalam mengelola hutan, menggunakan teknologi maupun modal. Jika mendapat kepercayaan penuh, peluang kami untuk maju atau sejahtera terbuka lebar.”
Pemerintah dan berbagai pihak harus percaya bahwa kami tidak mungkin merusak amanah menjaga hutan.
“Jika hutan rusak atau tidak dikelola secara lestari, kami yang pertama merasakan dampak buruknya. Kami juga malu dengan leluhur kami, yang selama ratusan tahun menjaga hutan di Gunung Dempo ini. Kami hidup harmonis dengan hutan, termasuk dengan satwa yang sangat dilindungi, seperti harimau sumatera.”
Salah satu kawasan HKm Bukit Cogong, Sumatera Selatan, yang sempat dirambah namun kembali rimbun setelah masyarakat melakukan penanaman. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Politik ruang
Keinginan pemerintahan Jokowi mewujudkan 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk masyarakat melalui skema PS adalah kebijakan populis.
“Semangatnya bagus untuk kepentingan masyarakat, tapi implementasinya lemah,” kata Yuliusman, Direktur Eksekutif Daerah Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumsel, Sabtu [21/9/2024].
Penyebab lemahnya implementasi PS akibat kuatnya pertarungan politik ruang dan anggaran. Artinya, program PS tersebut kalah dengan kepentingan investasi, proyek strategis nasional, serta pembangunan infrastruktur lain, yang juga membutuhkan ruang dan anggaran.
“Bagi dunia usaha, terutama yang berbasis lahan memandang keberadaan PS tidak menguntungkan bagi mereka. Celakanya, ada juga pemerintah daerah secara pragmatis melihat PS tidak menambah PAD [Pendapatan Asli Daerah]. Dampaknya di level daerah, program PS dengan niat pemenuhan wilayah kelola rakyat, ada yang tidak mendapat dukungan secara penuh oleh pemerintah,” jelasnya.
Bukti pemerintahan Jokowi cenderung membela kepentingan investor adalah lahirnya UU Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Perusahaan yang memanfaatkan hutan, seperti HTI [Hutan Tanaman Industri], dapat berlangsung selama 100 tahun, sementara PS hanya selama 35 tahun. Ini kan sangat tidak adil,” lanjutnya.
Dapat dikatakan, program PS adalah utang Jokowi terhadap ribuan masyarakat yang hidup di sekitar hutan, yang sebelumnya memiliki harapan untuk mendapatkan akses legal terhadap hutan.
Dia berharap, pemerintahan Prabowo Subianto lebih menunjukkan keberpihakan pada PS.
“Tapi bukan sebatas pernyataan populis, juga mendorong adanya penguatan politik ruang dan anggaran terhadap PS,” jelas Yuliusman.
Perhutanan Sosial bukanlah kebijakan baru. Konsep pemberian akses legal bagi masyarakat untuk memanfaatkan hutan, sudah dimulai sejak 1990-an.
Dikutip dari prcfindonesia.org, awal dikenalkannya model Hutan Kemasyarakatan [HKm] pada 1995, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622 Tahun 1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Skema ini memberikan peluang kepada masyarakat sekitar hutan, untuk ikut memanfaatkan hutan sesuai fungsinya.
Tahun 1997, pelibatan masyarakat tersebut berupa Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan [HPHKm], melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/1997 tentang Hutan Kemasyarakatan. Pengaturan ini disempurnakan pada 1999, sejalan dengan ditetapkanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Penyempurnaan HKm dilakukan lagi pada 2001 bersamaan pelaksanaan UU Otonomi Daerah, berupa proses perizinan IUPHKm.
Tahun 2007 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam konteks perhutanan sosial, peraturan ini mulai mengenalkan skema baru, yakni Hutan Tanaman Rakyat [HTR] dan dan Hutan Desa [HD].
Selanjutnya, berdasarkan PP tersebut lahir beberapa peraturan menteri yang mengatur penyempurnaan HKm [2009-2011], pengaturan HTR [2011], pengaturan Kemitraan Kehutanan [2013], pengaturan Hutan Desa [2014], dan pengaturan Hutan Hak [2015].
Tahun 2016, dalam rangka percepatan pelaksanaan Perhutanan Sosial, semua pengaturan skema pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan digabung dan disederhanakan dalam satu pengaturan mengenai Perhutanan Sosial. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, yang dilengkapi pengaturan tentang Hutan Adat. (*)
Berita ini telah dimuat di situs berita Mongabay.co.id pada Selasa (24/09/2024). [https://www.mongabay.co.id/2024/09/24/perhutanan-sosial-dan-utang-pemerintahan-jokowi-pada-masyarakat-sekitar-hutan/]
Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute Deddy Permana, Ketua LLDikti Wilayah III Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc, Ketua Yayasan Karina-Caritas Indonesia, Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ, Rektor Universitas Katolik Musi Charitas (UKMC) Palembang Dr. Antonius Singgih Setiawan, S.E., M.Si, Kabid Perekonomian dan Pendanaan Pembangunan Bappeda Sumsel Hari Wibawa, S.P., M.M, pada kegiatan Kuliah Umum (Talk Show) dan Peresmian Kampus Energi Bersih bertemakan “Energi Baru dan Terbarukan yang Adil dan Berkelanjutan Berbasiskan Masyarakat” di Aula Yoseph Universitas Katolik Musi Charitas Palembang, Senin (23/09/2024). (HaKI)
Pers Rilis
Komitmen Indonesia dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui ratifikasi Persetujuan Paris (Paris Agreement) dalam UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim)dan penegasan komitmen di Pakta Iklim Glasgow dengan tujuan untuk membatasi kenaikan temperatur global di bawah 2OC menimbulkan konsekuensi khususnya dalam arah pembangunan.
Komitmen tersebut memiliki konsekuensi baik bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mengubah arah pembangunan menuju pembangunan rendah karbon. Upaya mitigasi perubahan iklim membutuhkan aksi adaptasi yang terencana, baik melalui pembangunan di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Sebagai penyumbang karbon terbesar yang berkontribusi dalam perubahan iklim, sektor energi memiliki peran vital dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Oleh sebab itu, transisi energi menjadi kunci dalam arah pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau.
Transisi energi atau pemanfaatan energi terbarukan masih jauh dari target yang ditetapkan dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Oleh karenanya Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) bekerjasama dengan Universitas Katolik Musi Charitas Palembang, menyelenggarakan Kuliah Umum (Talk Show) dan Peresmian Kampus Energi Bersih “Energi Baru dan Terbarukan yang Adil dan Berkelanjutan Berbasiskan Masyarakat” di Aula Yoseph Universitas Katolik Musi Charitas Palembang, Senin (23/09/2024).
Direktur Eksekutif HaKI Deddy Permana mengatakan, HaKI merupakan bagian mitra bersama dalam mengembangkan isu terkait energi terbarukan yang lagi trend di Sumsel. “Ini kegiatan kedua mitra di kampus. Pertama bekerjasama dengan Universitas Sumatera Selatan, kedua di sini (Universitas Katolik Musi Charitas). Dengan terbentuknya kerjasama ini, ke depan diharapkan dapat bersama-sama melaksanakan kampanye, pendidikan dan riset bersama,” katanya.
Ia menjelaskan, HaKI bersama mitra lain berkomitmen mendorong upaya pemerintah mewujudkan zero emition 2060. Maka dari itu, melalui aksi atau kerjasama berbagai pihak berinovasi, mengembangkan teknologi, serta membangun gerakan sosial lebih luas terkait energi terbarukan untuk memitigasi kerusakan lingkungan.
Peran berbagai pihak dalam akselerasi transisi energi untuk mendukung pembangunan yang adil dan berkelanjutan menjadi prasyarat dalam lanskap energi di Indonesia secara khusus di Provinsi Sumatera Selatan. keberhasilan transisi energi di tingkat daerah akan memberikan beragam manfaat: biaya sistem kelistrikan yang lebih murah, diversifikasi ekonomi, pengembangan industri baru, munculnya lapangan kerja hijau, perbaikan kualitas udara, tanah, dan air, serta penurunan biaya kesehatan. Pemerintah daerah membutuhkan strategi dan kebijakan yang ramah bagi pemangku kepentingan terkait serta rencana aksi terarah untuk memastikan kelancaran transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan di level daerah dengan berbasiskan masyarakat.
Pose Bersama Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute Deddy Permana, Ketua LLDikti Wilayah III Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc, Ketua Yayasan Karina-Caritas Indonesia, Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ, Rektor Universitas Katolik Musi Charitas (UKMC) Palembang Dr. Antonius Singgih Setiawan, S.E., M.Si, Kabid Perekonomian dan Pendanaan Pembangunan Bappeda Sumsel Hari Wibawa, S.P., M.M, pada kegiatan Kuliah Umum (Talk Show) dan Peresmian Kampus Energi Bersih bertemakan “Energi Baru dan Terbarukan yang Adil dan Berkelanjutan Berbasiskan Masyarakat” di Aula Yoseph Universitas Katolik Musi Charitas Palembang, Senin (23/09/2024). (HaKI)
Rektor Universitas Katolik Musi Charitas (UKMC) Palembang Dr. Antonius Singgih Setiawan, S.E., M.Si menyambut baik kerjasama program Kampus Enegeri Bersih yang digagasa HaKI. Menurutnya, kegiatan yang ditujukan untuk menjaga kelestarian lingkungan merupakan satu wujud kontribusi, dan kepedulian dalam dunia Pendidikan.
Ketua Yayasan Karina-Caritas Indonesia, Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ mengatakan, tiga fokus yang dilakukan dalam menjalankan peranannya di Masyarakat. Pertama aksi kemanusiaan dan tanggap darurat, peningkatan kehidupan bagi mereka yang paling rentan terhadap bencana, dan memastikan kehidupan yang berkualitas dan bermartabat termasuk dalam menghadapi perubahan iklim.
“Krisis lingkungan adalah krisis kemanuan yang harus mendapat perhatian serius. Apalagi sekarang suhu semakin panas. Palembang bahkan sudah sampai 35 derajat celcius. Tanpa ada upaya mitigasi, maka bumi akan semakin panas,” katanya.
Sementara, Ketua LLDikti Wilayah III Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc menyampaikan, berbicara energi terbarukan, tidak lepas dari pemasan global dan perubahan Iklim. Hasil riset pemanasan global menaikan suhu bumi mencapai 1,1 derajat celcius. “Nah, penyebab utama ini semua adalah emisi gas rumah kaca, di mana 50 persen lebih akibat CO2, baru gas metan dan lainnya. CO2 ini, tidak dipungkiri aktivitas manusia dari penggunaan energi fosil,” katanya.
Mengingat kondisi tersebut, pihaknya sangat mendukung dan meminta agar perguruan tinggi ikut bergerak untuk mengkampanyekan soal perubahan iklim dan pemanasan global. Apala lagi menurutnya, fokus pemerintah dalam upaya transisi energi terbarukan. “Seperti pertemua G-20 dalam pertemuan di Bali, fokus bahasan presidensi yakni meliputi upaya trasisi energi baru terbarukan, kerangka Kesehatan global dan digital menoy (pembayaran digital). Pada 2023 energi baru terbarukan masih menjadi topik utama jadi bahasan presidensi. Di tahun ini (2024) dalam forum yang sama yang akan diselenggarakan di Brazil, energi baru terbarukan manjadi topik utama dari pembahasan presidensi. Namun lebih lengkap dari sosial, ekonomi dan lingkungan,” katanya.
Pada kesempatan ini, Direktur Eksekutif HaKI Deddy Permana bersama Rektor Universitas Katolik Musi Charitas (UKMC) Palembang adalah Dr. Antonius Singgih Setiawan, S.E., M.Si menandatangani MoU tentang Kampus Energi Bersih. Usai MoU dilanjutkan meninjau lokasi PLTS yang ada di UKMC, dan puncaknya acara yakni Talk Show diikuti mahasiswa dan akademika UKMC serta praktisi.
Pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Universitas Katolik Musi Charitas Palembang, sebagai Kampus Energi Bersih hasil kerjasama dengan Hutan Kita Institute (HaKI), Senin (23/09/2024). (HaKI)
Beberapa potensi energi bari terbarukan di Sumatera Selatan data yang diterima HaKI:
Potensi PLT Surya
Potensi besar energi surya di Provinsi Sumatera Selatan, yang terletak di daerah tropis dengan intensitas sinar matahari tinggi sepanjang tahun. Provinsi ini memiliki potensi energi surya sekitar 17.233 Megawatt-peak (MWp), namun sebagian besar belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu proyek yang sudah berjalan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) milik PT. Sumsel Energi Gemilang (SEG) di Jakabaring, Palembang, dengan kapasitas 2 MW. Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, intensitas sinar matahari yang tinggi sepanjang tahun dengan rata-rata penyinaran sekitar 4-5 kWh/m²/hari menciptakan kondisi ideal untuk pengembangan PLTS. Keterlibatan masyarakat dalam mengembangkan potensi PLTS atap sangat memungkinkan dan akan berdampak langsung kepada masyarakat setempat apalagi jika di dukung dengen regulasi dan insentif dalam pengolaan PLTS Atap.
Potensi PLT Sampah
Berdasarkan data DLHP Provinsi Sumatera Selatan tahun 2023, volume sampah di provinsi ini mencapai 1.581,62 ton/hari, yang menjadi masalah serius bagi pemerintah. Riset dari Dosen Teknik Industri Universitas Katolik Musi Charitas menunjukkan bahwa jika sampah di Kota Palembang, sebanyak 900,28 ton/hari di kelola melalui proses gasifikasi dapat menghasilkan sekitar 5 MW energi listrik atau setara dengan 30.000 tabung gas 3kg per hari. Proses gasifikasi ini rendah karbon dan limbahnya dapat dimanfaatkan menjadi paving dan pakan magot.
Potensi PLTBiomassa Sekam Padi dan Kopi
Produksi Sekam Padi: Sekam padi merupakan sekitar 20-22% dari berat gabah kering giling. Pada tahun 2023, Sumatera Selatan menghasilkan sekitar 2.832.774 ton padi, menghasilkan sekitar 623.210,28 ton sekam padi.
Teknologi Gasifikasi: Sekam padi dapat diolah melalui gasifikasi untuk menghasilkan gas yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Alternatifnya, sekam padi dapat dibakar langsung untuk menghasilkan energi panas yang dikonversi menjadi listrik.
Potensi Energi: Melalui gasifikasi, potensi energi listrik dari sekam padi di Sumatera Selatan mencapai 80,0716 MW. Di Kabupaten Banyuasin, potensi ini sebesar 26,0165 MW, dan di Kabupaten OKU Timur sebesar 20,2633 MW.
Produksi Sekam Kopi: Sumatera Selatan memproduksi sekitar 198.015 ton kopi per tahun, dengan sekam kopi sekitar 12-15% dari berat biji kopi.
Pemanfaatan Biomassa: Sekam kopi dapat diubah menjadi listrik melalui pembakaran atau gasifikasi. Dengan asumsi efisiensi konversi 25%, sekam kopi di Sumatera Selatan dapat menghasilkan sekitar 5,157 MW listrik.
Potensi Energi: Di Kabupaten OKU Selatan, potensi energi dari sekam kopi sebesar 1,58 MW, dan di Kabupaten Empat Lawang sebesar 1,4 MW.
Potensi PLT Minihidro/Mikrohidro
Sumatera Selatan memiliki potensi energi minihidro dan mikrohidro sebesar 448 MW, Kapasitas Terpasang Saat ini sebesar 21,93 MW. Sumatera Selatan memiliki banyak sungai dan aliran air yang cocok untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Salah satu PLTMH yang telah beroperasi adalah PLTM Endikat di Kabupaten Lahat dengan kapasitas 3 x 2,67 MW.
Inisiatif Masyarakat di Desa-Desa Pengguna PLTMH: Beberapa desa di Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat telah mengembangkan dan menggunakan PLTMH untuk memenuhi kebutuhan listrik, meskipun dengan kapasitas kecil. Contoh desa-desa tersebut meliputi:
Dusun Datar Pauh, Desa Cahaya Alam, Kab. Muara Enim;
Dusun Batu Pikak, Desa Tanjung Agung, Kab. Muara Enim;
Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana, secara simbolis menyerahkan bantuan alat ekonomi produktif kepada Ketua KUPS Ayek Bigha Sehamril Hadi, di Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Jumat (06/09/2024). Bantuan berupa mesin roasting dan pembubuk kopi hasil kerjasama HaKI dengan BPDLH-TARRA CF. (HaKI)
Tabuhan gendang harmoni dengan pukulan kolintang, mengiringi tarian tradisional dan lantunan syair ; “Batang ditarok batang unji, batang mangus dilili uwi. Bepintak dengan HaKI, Terus damping KUPS kami,” mengalun salah satu bait dari kelompok kesenian MHA Ghimbe Peramunan Ayek Bigha.
Kesenian etnik tersebut persembahan penyambutan, mengawali kegiatan Penyerahan Bantuan Alat Ekonomi Produktif dari Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) ke Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Ayek Bigha, Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, pada Jumat (06/09/2024).
Hadir dalam kegiatan tersebut, Direktur Eksekutif HaKI Deddy Permana, Camat Semende Darat Laut Hasbullah Yusuf, Kepala Desa Penyandingan sekaligus Ketua MHA Ghimbe Peramunan Ayek Bigha Emhadi Brata, KPH Wilayah VIII Semendo Mahyudin, Ketua KUPS Ayek Bigha Sehamril Hadi beserta anggota dan Ibu PKK Kecamatan Semende Darat Laut dan Desa Penyandingan.
Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif HaKI Deddy Permana menyampaikan, dalam membangun terutama di kawasan hutan harus ada keseimbangan. Membangun ekonomi berbasis ekologi, untuk kesejahteraan dan kelestarian lingkungan. Hutan semakin sempit, masyarakat semakin banyak, illegal logging semakin tinggi, pemanfaatan hutan harus bijak.
Pose bersama Direktur Eksekutif HaKI Deddy Permana, Camat Semende Darat Laut Hasbullah Yusuf, Kepala Desa Penyandingan sekaligus Ketua MHA Ghimbe Peramunan Ayek Bigha Emhadi Brata, KPH Wilayah VIII Semendo Mahyudin, Ketua KUPS Ayek Bigha Sehamril Hadi beserta anggota dan Ibu PKK Kecamatan Semende Darat Laut dan Desa Penyandingan. (HaKI)
Deddy juga menjelaskan, peran berbagai pihak untuk mendampingi Perhutanan Sosial. HaKI tergabung dalam Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja-PPS) Sumsel, dan kolaborasi pihak lainnya seperti Kesatuan Pengelola Hutan (KPH), pemerintah desa sampai dengan pusat, dan utamanya Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
“Intinya harus ada keberimbangan, antara membangun ekonomi dengan alam sekitar (ekologi). Kita harus memikirkan keberlanjutan. Dengan pola keseimbangan dalam membangun ekonomi dan ekologi, akan tercipta alam yang lestari dan untuk peninggalan generasi masa depan. Itulah tujuan dan harapan kita bersama,” ungkap Deddy.
Di kesempatan yang sama, dijelaskan pula bahwa peran Perkumpulan HaKI dalam hal pemberdayaan masyarakat dan lingkungan hidup. Dalam konteks Perhutanan Sosial (PS), HaKI telah melakukan pendampingan proses perizinan dan pemberdayaan paska izin, utamanya pada skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan (HKM), Kemitraan, dan Hutan Adat.
“Nah, pasca izin ini yang harus mendapat perhatian sehingga berjalan sesuai dengan konsep PS. Maka selanjutnya pasca izin bagaimana membangun ekonomi produktif yang disesuaikan dengan potensi lokal. Setahun ini kebetulan kita mendapat dukungan dari BPDLH untuk mendampingi Hutan Adat di Sumsel,” papar Deddy.
Pose bersama Direktur Eksekutif HaKI Deddy Permana, Camat Semende Darat Laut Hasbullah Yusuf, Kepala Desa Penyandingan sekaligus Ketua MHA Ghimbe Peramunan Ayek Bigha Emhadi Brata, KPH Wilayah VIII Semendo Mahyudin, Ketua KUPS Ayek Bigha Sehamril Hadi beserta anggota dan Ibu PKK Kecamatan Semende Darat Laut dan Desa Penyandingan. (HaKI)
“Bantuan ini bukan berdasarkan kemauan HaKI atau lembaga penyokong, melainkan input atau masukan yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan pokok dalam meningkatkan ekonomi produktif MHA yang ada di sini. Setelah ini mungkin ada lagi yang dibutuhkan,” sambungannya.
Kembali Deddy menegaskan bahwa bantuan yang diberikan bukan untuk individu, melainkan kelompok atau bahkan pengelolaan dilakukan bersama untuk kemaslahatan orang banyak atau manfaatnya di desa. “Ini jelas lebih baik, sederhananya bisa saling berkolaborasi dengan kelompok-kelompok lain untuk kemajuan bersama,” harapnya.
Kades Penyandingan Emhadi Brata, menceritakan bahwa perjuangan panjang untuk mendapatkan legalitas Hutan Adat (HA) bagi MHA Ghimbe Peramunan Ayek Bigha. Menurutnya, proses panjang tersebut tidak terlepas dari peran langsung HaKI.
“Bahkan sampai saat ini, masyarakat mulai merasakan dampaknya dari perjuangan walau belum maksimal. Tapi ini merupakan satu kebanggaan yang harus dijaga bersama-sama. Karena tentunya kita akan terus berharap untuk mendapat pendampingan HaKI,” kata Emhadi yang juga Ketua MHA Ghimbe Peramunan Ayek Bigha.
Camat Semende Darat Laut Hasbullah Yusuf sangat mengapresiasi terciptanya kerjasama yang terjadi. Banyak potensi yang bahkan tidak dapat dikembangkan, sementara kemajuan teknologi terus tumbuh.
“Saya sebagai putra asli Semendo, tentu berharap dengan adanya Kerjasama seperti ini terus dilakukan bahkan ditingkatkan lagi. Kita harus bisa menunjukkan kepada pihak luar hal yang berbeda sesuai kekhasan (kearifan lokal),” katanya.
Camat Semende Darat Laut Hasbullah Yusuf, didampingi KUPS Ayek Bigha Sehamril Hadi, saat meninjau mesin roasting kopi salah satu bantuan alat ekonomi produktif yang diserahkan Hutan Kita Institute (HaKI) bekerjasama dengan BPDLH-TARRA CF, kepada KUPS Ayek Bigha Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Jumat (06/09/2024). (HaKI)
Dengan adanya bantuan alat ekonomi produktif, KUPS Ayek Bigha dapat lebih produktif mengembangkan produk kopi bubuk. Karena potensi daerah Semende yang merupakan penghasil kopi terbesar. Dengan kondisi geografis yang mendukung di Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, berada pada ketinggian 500-1000 meter dari permukaan laut (MDPL).
Selain mengembangkan produk kopi bubuk, KUPS Ayek Bigha mengembangakan produk kerajinan berbahan baku dari bambu dan rotan, yang diolah menjadi gelang, tas, dan kerajinan lain yang potensial menjadi cinderamata khas Hutan Adat.
Untuk diketahui, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. SK. 3758/MENLHK-PSKL/PPKS/PKTH/PSL1/3/2019 tentang Penetapan Hutan Adat Ghimbe Peramunan kepada Masyarakat Hukum Adat Puyang Sure Aek Bigha Marge Semende Darat Laut Seluas 44 Ha di Desa Penyandingan Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.
Perwakilan KPH Wilayah VIII Semendo, Mahyudin mengucapkan terima kasih kepada HaKI selaku LSM/NGO yang telah berkontribusi dalam membangun serta mengembangkan usaha bagi MHA Desa Penyandingan. (*)
Ibu-ibu anggota KUPS Agro Pasai Dusun Rempasai, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, mengemas kopi bubuk untuk di pasarkan. KUPS Agro Pasai Hutan Adat Tebat Benawa, memasarkan hasil produksinya di marketplace. (HaKI)
Meski jaringan internet sepenuhnya dapat diakses oleh masyarakat, namun belum sepenuhnya dimaksimalkan untuk aplikasi penjualan. Melihat kondisi tersebut, Hutan Kita Institute (HaKI) melakukan Pelatihan Digital Marketing membekali Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Agro Pasai, Dusun Rempasai, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam.
Ketua KUPS Agro Pasai Salimin menyampaikan, permasalahan yang dihadapi masyarakat saat ini, yakni pemasaran pasca produksi. Menurutnya, ada dua hal yang kerap melanda warga dalam menjual komoditi pokok (kopi). Selain menghasilkan olahan kopi yang berkualitas, kemudian bagaimana menembus pasar dengan harga tinggi.
“Kita memiliki alam dan komoditas unggulan (kopi). Sekarang, memasarkan kopi tersebut sehingga mendapat harga yang kompetitif guna menopang perekonomian kami di sini (Dusun Rempasai),” ujarnya. Dusun Rempasai sendiri, merupakan wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA) Mude Ayek Tebat Benawa, Kota Pagaralam.
Tim Hutan Kita Institue (HaKI) sharing terkait digital marketing kepada KUPS Agro Pasai Dusun Rempasai, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, Rabu (04/09/2024). (HaKI)
Pelatihan digital marketing dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, sehingga KUPS dapat bersaing di pasar. Selain menghadirkan kualitas produk oleh petani, penguasaan teknologi menjadi penunjang untuk menembus pangsa pasar sesuai harapan.
Henni Martini mengatakan, pelatihan digital marketing merupakan rangkaian dari program Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)-TERRA for Customary Forest (TERRA-CF) bekerjasama dengan HaKI periode 2023/2024.
“Dengan pelatihan teknis digital marketing ini meningkatkan kapasitas KUPS Agro Pasai dalam mengelola kelembagaan dan pemasaran produk dengan membuat toko online pada platform marketplace dan memasarkan produk melaui media sosial,” Kata Henni.
Anggota KUPS Agro Pasai tampak serius menyimak teknis digital marketing melalui platform marketplace, yang disampaikan Tim Hutan Kita Institute (HaKI), dalam rangka meningkatkan ekonomi produktif bagi anggota KUPS Agro Pasai sang penjaga Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan. (HaKI)
Beberapa platform marketplace dapat dimaksimalkan untuk memasarkan produk yang dihasilkan, seperti kopi dan teh cascara olahan serta kerajinan lokal yang menunjukkan kekhasan dari daerah tersebut. Dengan kata lain, Sigid menekankan KUPS Agro Pasai, selain penguatan dalam kelembagaan juga mampu melakukan kajian pasar.
“Produk yang kita tawarkan, harus memiliki nilai lebih dengan kekhasan atau kearifan lokal secara spesifik sehingga mendapat tempat juga mampu bersaing di pasar (marketplace),” papar Sigid.
Diera Revolusi Industri 4.O atau bahkan sudah menginjak ke 5.O saat ini, menjadi satu peluang untuk mengenalkan atau memasarkan produk lokal ke luar. Oleh karenanya, masyarakat tentunya harus familiar mengoperasikan android. Karena, hal ini merupakan cara mudah dan murah dalam bertransaksi.
Diskusi dalam rangka sharing pengetahuan terkait digital marketing yang difasilitasi Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI), kepada anggota KUPS Agro Pasai, Dusun Rempasai, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan. (HaKI)
Untuk pembaca ketahui, Teh Cascara sendiri merupakan bahan minuman berasal dari kulit biji kopi yang ikut dikembangkan KUPS Agro Pasai. Meski bukan tergolong minuman herbal karena terbuat dari buah (biji kopi), namun Cascara memiliki khasiat untuk kesehatan tubuh manusia.
Teh Cascara sendiri bukanlah hal baru, meski masih terdengar asing khususnya di masyarakat tanah air. Dilansir dari situs freshcup.com, “Teh Buena Vista (Cascara)” pemasok kopi Melbourn Coffe Merchants menuliskan bahwa petani kopi asal Yaman dan Ethiopia berabad-abad lalu telah mengeringkan kemudian menyeduh buah ceri (biji kopi) untuk diminuman. (*)
Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana, menyerahkan alat ekonomi produktif kepada Ketua KUPS Agro Pasai Dusun Rempasai, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, Rabu (04/09/2024). (HaKI)
Melonjaknya harga kopi pada panen agung tahun ini tidak membuat Masyarakat Hukum Adat (MHA) Tebat Benawa terlena. Penguatan kapasitas MHA dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) tetap dilakukan dengan semangat dan partisipatif.
Iringan gitar dan sastra tutur yang tetap lestari, mengiringi acara penyerahan bantuan peralatan produktif untuk KUPS Agro Pasai dari Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) melalui program Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) – CLUA for Social Forestry.
Bantuan tersebut berupa mesin roasting, penggilingan kopi dan mesin pembuat pakan ikan (pelet), plastic sealer (penyegel plastik), serta dua unit timbangan digital tersebut diserahkan kepada KUPS Agro Pasai Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa, di Dusun Rempasai, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan (Sumsel) pada Rabu (04/09/2024).
Dalam rangkaiaan acara tersebut, HaKI juga memfasilitasi pelatihan teknis mengoperasikan mesin roasting, digital marketing, dan juga branding produk. Dengan begitu, bantuan dan peningkatan kapasitas dapat menambah mata pencaharian MHA dan bedampak pada kesejahteraan masyarakat dan ekologi.
Direktur Eksekutif HaKI Deddy Permana mengatakan, bantuan ini merupakan pilot project kerjasama HaKI Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Dengan bantuan ini, KUPS Agro Pasai dapat lebih produktif dan lebih bersemangat menjaga amanat puyang dalam pengelolaan hutan adat yang berkelanjutan.
Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana (kanan), foto bersama Lurah Penjalang, KPH Dempo, MHA Mude Ayek Tebat Benawa dan Ketua KUPS Agro Pasai Budiono dalam acara penyerahan alat ekonomi produktif kepada Ketua KUPS Agro Pasai Dusun Rempasai, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, Rabu (04/09/2024). (HaKI)
Deddy menjelaskan, KUPS Agro Pasai yang merupakan bagian dari masyarakat hukum adat memiliki peran sangat penting untuk menjaga amanat puyang, menjaga hutan adat yang terdapat mata air dan sumber kehidupan lainnya.
“Ini baru pemanasan, pendampingan HaKI akan terus dilakukan untuk hutan adat dan Perhutanan Sosial di Sumsel,” tegas Deddy.
Ketua KUPS Agro Pasai Salimin menaymbut baik program HaKI. Dia menceritakan, KUPS Agro Pasai bersemangat dengan adanya pendampingan dari HaKI. “ Kelompok ini dibentuk bukan hanya untuk menerima bantuan dan kemudian bubar. Tetapi untuk terus belajar dan berkembang bersama,” katanya.
“Tentunya dengan adanya bantuan seperti yang diserahkan pihak HaKI kepada kami (KUPS Agro Pasai), dapat menjadi penyemangat masyarakat untuk mengembangkan usaha lebih baik lagi, kopi tidak hanya dijual setelah panen, tetapi diolah menjadi kopi bubuk dan mmeberi nilai tambah,” tuturnya.
Ibu-ibu Kelompo Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Agro Pasai Dusun Rempasai, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, pose bersama pada kegiatan penyerahan bantuan alat ekonomi produktif dari Hutan Kita Institute (HaKI), Rabu (04/09/2024). (HaKI)
Salimin menyebut, KUPS Agro Pasai terdiri dari 35 anggota dan berada di sekitar kawasan Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa, dapat saling berelaborasi menggarap lahan serta berkontribusi menjaga kelestarian alam.
“Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa ini merupakan penopang penghidupan kami, terutama sumber air untuk kebutuhan hidup masyarakat di sini serta penunjang pertanian. Tentunya apabila Hutan Tebat Benawa ini rusak, maka terganggu kestabilitasan daerah ini,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Salimin memaparkan sejumlah hasil produksi untuk menunjang ekonomi masyarakat Rempasai, meliputi kopi, teh cascara, madu sialang, sayur mayur, tambak ikan serta kerajinan tangan berbahan baku bambu berupa tas, tampah, keranjang serta kotak tisu.
“Ini semua tentunya tidak terlebih dari bantuan dari pemerintah dan HaKI guna menumbuhkan perekonomian masyarakat Rempasai, dengan berkomitmen menjaga kelestarian alam atau Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa,” imbuhnya.
Bantuan berupa mesin roasting, penggilingan kopi dan mesin pembuat pakan ikan (pelet), plastic sealer (penyegel plastik), serta dua unit timbangan digital tersebut diserahkan kepada Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Agro Pasai Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa, pada Rabu (04/09/2024). (HaKI)
KUPS Agro Pasai sambung Salimin, terbentuk tidak terlepas dari peran andil HaKI, mulai dari proses pembentukan KUPS hingga mendapat legalitas dari pemerintah. “Ini merupakan suatu hal yang harus dijaga bersama, karena tujuan terbentuknya KUPS Agro Pasai bukan hanya memberi ruang kepada masyarakat mendapat manfaat dari Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa, tetapi bagaimana masyarakat sejahtera hutan terpelihara,” katanya.
Sementara, Lurah Penjalang, Ruly Herdiansyah SE menyampaikan apresiasinya terhadap Lembaga HaKI yang turut berkontribusi sebagai mitra pemerintah membangun kemaslahatan masyarakat.
Menurutnya, kegiatan ini dititik beratkan bagaimana masyarakat dapat hidup harmoni dan menjaga ekosistem alam dalam hal ini Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa. “Kita berharap kegiatan seperti ini juga dapat memicu pihak lain untuk berkontribusi bagi masyarakat, dan berkelanjutan,” katanya.
Ruly Herdiansyah juga berpesan, agar penyelenggaraan kegiatan pembangunan desa atau peningkatan kapasitas terutama peningkatan ekonomi masyarakat, selalu berkoordinasi sehingga dapat saling mengisi satu sama lain.
“Atas nama pemerintah Kota Pagaralam, tentunya dengan adanya kegiatan seperti ini (penyerahan alat ekonomi produktif dan pelatihan teknis) sangat mengapresiasi. Semoga apa yang kita harapkan Bersama dapat terealisasi,” tutupnya. (*)
Hutan Kita Institute (HaKI) kampanye konservasi Gajah Sumatera yang terancam punah ke kelompok Masyarakat sipil dan mahasiswa di Kota Palembang. Kegiatan ini rangkaian dari Hari Gajah Dunia yang dipusatkan di area Kambang Iwak Palembang, Minggu (25/08/2024). (dok. HaKI)
Populasi Gajah Sumatera hingga saat ini terus mengalami penurunan, bahkan tidak sedikit peneliti menyebutkan hewan dengan nama ilmiah Elephas Maximus Sumatranus tersebut, terancam punah. Alih fungsi hutan secara masif hingga interaksi negatif manusia terhadap gajah harus menjadi perhatian serius.
Misal jika ditinjau dari tahun ke-tahun, kantong-kantong gajah telah berubah menjadi perkebunan bahkan pemukiman warga (transmigrasi). Alhasil, konflik gajah dengan manusia tidak terelakkan. Sejumlah kasus menewaskan warga dan juga matinya gajah salah satu satwa yang terancam punah (critically endangered).
Areal jelajah mereka “tertembok” oleh perkebunan dan pemukiman, sehingga habitat satwa berbadan besar tersebut kian menciut disertai populasi yang terus menyusut. Perburuan gading gajah sebagai barang berharga juga tak luput menjadi persoalan yang memicu jalan buntu aksi konservasi.
Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), populasi gajah sumatera di Bumi Sriwijaya tersisah diangka 237 ekor yang tersebar di sejumlah wilayah (kantong-kantong gajah). Kendati demikian, ruang jelajah gajah yang sangat luas, tidak didapat angka pasti populasi binatang pintar bertubuh besar tersebut.
Gajah sumatera sendiri termasuk satu satunya kelompok gajah paling terpuruk di dunia, dan masuk dalam kategori Appendix I (Konvensi Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan (CITES) 1990. Artinya, gajah sumatera tidak boleh diperjualanbelikan sebagai hewan utuh ataupun bagian tubuh satwa tersebut.
Namun faktanya, perburuan terhadap gajah tetap terjadi. Masih ditemukan jejak bekas pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya, karena di pasar perdagangan gelap internasional gading gajah dihargai sangat mahal.
Persoalan terbesar bagi gajah sumatera khususnya di Sumsel, adalah hilangnya kawasan habitat bagi binatang. Kawasan hutan terus berubah secara masif menjadi hutan industri, perkebunan dan permukiman masyarakat.
Prasetyo Widodo Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Hutan Kita Institute (HaKI) menyampaikan presentasi terkait pemanfaatan energi bersih yang berdampak terhadap populasi Gajah Sumatera, di hadapan akademika Universitas Muhammadiyah Palembang, Senin (26/08/2024). (dok. HaKI)
“Deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu ancaman yang signifikan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati, sebagai habitat utama yang menyebabkan berkurangnya jumlah individu gajah sumatera,” ujar Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana, pada kesempatan memperingati Hari Gajah Dunia di bersama mahasiswa di Palembang, 25 Agustus 2024.
Untuk menekan meluaskan dampak interaksi negatif gajah dan manusia di Sumsel, dikatakan Deddy, HaKI terlibat aktif dalam berbagai aksi kampanye serta riset terkait konservasi gajah sumatera bersama komunitas masyarakat sipil dan dunia akademisi. Bagaimanapun terganggunya populasi gajah menjadi penanda (alarm) bahwa kondisi ekologi tidak baik-baik saja.
“Gajah memiliki adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, karena ruang gerak (jelajah) sudah dibatasi oleh pembangunan dan aktivitas ekonomi manusia, akhirnya menyempit bahkan jalur yang biasa dipakai rombongan gajah sudah berubah menjadi perkebunan. Di sinilah kemudian teraktif negatif gajah dan manusia terjadi,” jelasnya.
Deddy juga menyampaikan, perlu adanya perhatian serius pemerintah terkait tata kelola kawasan hutan terutama habitat atau jalur jelajah gajah sumatera untuk mempersempit ruang interaksi negatif terhadap manusia di satu sisi. Serta Langkah strategis konservasi gajah sumatera sehingga tidak punah.
“Untuk meminimalisir persoalan ini supaya tidak berlarut-larut, harus ada langkah konkret pemerintah serta kesadaran masyarakat menjaga ekosistem dan pelestarian hutan,” imbuhnya.
Membangun pembatas hijau (green barrier) atau batas alam jelajah gajah dengan pemukiman masyarakat, sebagai upaya menjaga kelestarian gajah tanpa mengesampingkan upaya konservasi dan membangunan manusianya. Harus juga dibarengi dengan pemberian izin skala besar bagi industri perhutanan, perkebunan dan tambang.
Populasi Gajah dalam Angka
Sebagaimana dijelaskan berkenaan dengan penurunan populasi gajah sumatera, terutama yang ada di Sumsel, hilangnya kantong gajah telah memengaruhi pertumbuhan yang lamban. Lebih dari empat decade (1980-2023), kantong gajah yang tercatat di 11 titik sebaran, tersisah 6-7 titik saja.
Mengenai jumlah populasi berdasarkan kantong gajah di Sumsel, terbesar di SM Padang Sugihan Simpang Heran, Banyuasin mencapai 631.953 hektare (ha) yang dihuni 141 individu. Selanjutnya di Benakat Semangus dikelilingi Kabupaten Musi Rawas, Musi Banyuasin, Pali, Lahat, dan Muaraenim, luas kantong gajah mencapai 259.801 ha dengan 46 individu.
Selanjutnya kantong gajah Sungai Lalan, Musi Banyuasin, luasannya mencapai 262.823 ha yang di dalamnya 22 individu. Kantong habitat Meranti Sungai Kapas, Musi Rawas, luasannya berkisar 52.074 ha dengan 9 individu; kantong habitat Mesuji, Ogan Komering Ilir, luas 64.712 ha dengan 6 individu; dan kantong habitat Saka Gunung Raya, OKU Selatan, luas 75.883 ha dengan 5 individu.
Peta sebaran habitat atau kantong Gajah Sumatera tersebar di Sumatera Selatan. Hingga saat ini kantong gajah tersebut, menjadi rumah terakhir bagi satwa yang nyaris punah. (BKSDA)
Sedangkan untuk dua kantong habitat lainnya tidak ditemukan adanya individu gajah sumatera. kedua kantong gajah tersebut berada di Suban Jeriji di antara Kabupaten Muaraenim, dan OKU, luasan mencapai 138.542 ha; dan juga kantong habitat Jambul Nanti Patah di antara Kabupaten Lahat, Pagaralam, Muaraenim, OKU, dan OKU Selatan, luas area 282.727 ha. “Semakin ke sini, dapat terlihat jelas habitat gajah beralih menjadi perkebunan dan bahkan pemukiman,” kata Prasetyo Widodo Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Hutan Kita Institute (HaKI) yang konsen terhadap konservasi satwa dilindungi di Sumsel, tersebut..
Alumni Fakultas MIPA Biologi Unsri ini juga mengungkapkan, interaksi-interaksi negatif gajah dan manusia yang terjadi disejumlah daerah di Sumsel, bukan terjadi begitu saja atau sebagaimana image yang terbangun bahwa gajah menjadi hama bagi petani.
“Gajah ini memang makhluk dengan memori yang sangat kuat, bahkan jalur jelajah gajah itu bisa turun temurun dan tidak berubah. Nah, konflik kemudian terjadi tatkala gajah masuk ke wilayahnya yang sudah beralih fungsi apakah itu menjadi perkebunan maupun perkampungan,” jelasnya.
Strategi Konservasi
Untuk menjaga populasi gajah sumatera dari ancaman kepunahan, diperlukan kerjasama banyak pihak terutama pemerintah sebagai regulator dalam menentukan kebijakan. Selain itu, harus adanya keseriusan pemerintah untuk menerapkan aturan itu sendiri.
Seperti halnya Kementerian Kehutanan Republik Indonesia juga sudah mengeluarkan dokumen terkait Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah (SRAK Gajah) sejak tahun 2007 hingga 2017. Kalau aturan ini tidak dijalankan, tentunya tidak akan memberikan dampak terhadap konservasi atau justru menimbulkan cepatnya punah populasi gajah sumatera.
“Saya maksudkan di sini, jangan sampai aturan itu hanya sebagai pajangan. Praktik lapangan, dengan kebijakan lainnya dikeluarkan yang kontra produktif terhadap semangat konservasi gajah sumatera serta satwa liar lainnya,” ujar Pras.
Selain membangun komunikasi dengan pemerintah, HaKI juga intens mengajak kelompok atau komunitas masyarakat sipil dan juga dunia akademisi untuk ikut serta mengkampayekan terkait konservasi gajah sumatera, untuk tetap menjaga keseimbangan alam tau lingkungan hidup.
“Sesugguhnya dengan mereka tahu akan pentingnya terpeliharanya habitat gajah, dampaknya luas terkait kelestarian lingkungan. Memang kami (HaKI) secara perlahan memasukkan pemahaman dan pengetahuan sehingga timbul benih kesadaran, minimal terhadap individu. Harapannya, mereka ikut menyuarakan hal ini,” jelas Pras.
Gajah Sumatera yang berhasil ditemui di Kawasan HGU di Lalan, Musi Banyuasin (Muba). Daerah (HGU) ini merupakan jalur jelajah gajah Sumatera, karena di sekitar kawasan tersebut juga terdapat Kantong Gajah Sumatera. (dok. HaKI)
Habitat gajah sangat dipengaruhi musim, ketika kemarau mereka akan datang di wilayah dataran rendah untuk mencari makan dan minum saat musim hujan mereka akan pergi ke wilayah dataran tinggi. Gajah memakan rumput-rumputan, daun, ranting, rotan, kulit batang pohon dan buah-buahan, serta berbagai tanaman budidaya. Gajah membutuhkan makanan antara 200 – 300 kg atau sepuluh persen bobot tubuh mereka, dan membutuhkan minum 100 – 150 liter setiap harinya, dan sekali isap bisa menghabiskan sembilan liter.
Hubungan dengan kelestarian lingkungan, gajah termasuk spesies payung (umbrella species) di dalam hutan, karena turut melestarikan penghijauan dalam hutan. Di habitatnya (kawasan hutan) pergerakan gajah mampu membuka ruang sinar matahari di dalam hutan, kotoran gajah menjadi pupuk bagi tanah sekaligus benih di hutan belantara.
Jika habitatnya asri, aman jauh dari jangkauan manusia atau gangguan, dan mereka dapat bergerak hingga sejauh 20 km tiap harinya, gajah dapat berkelompok dalam jumlah besar. Gajah sumatera sangat peka akan bunyi-bunyian. Untuk perkawinan, gajah membutuhkan suasana tenang dan nyaman. Oleh karena itu, suara kerja manusia seperti mesin gergaji dan alat berat sangat mengganggu perkembangbiakan gajah.
Lindungi Gajah Sumatera Selamatkan Bumi Kita
Mungkin kita bertanya-tanya apa hubungannya melindungi gajah dengan penyelamatan bumi ini? HaKI Bersama Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) menghubungkan hal ini, mengingat gajah salah satu satwa sangat terdampak atas perubahan iklim yang melanda dunia tak terkecuali negeri ini.
Pada diskusi publik yang digelar di Universitas Muhammdiyah Palembang, Senin (25/08/2024), HaKI menguraikan secara gamblang makna dari empat suku kata tersebut. Kekeringan, serta kebakaran hutan yang menjadi habitat gajah sumatera sangat mempengaruhi keberadaannya.
Dalam presentasinya Prasetyo menyampaikan, perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas.
Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bekerja seperti selimut yang melilit Bumi, menghasilkan panas matahari dan menaikkan suhu. Perubahan klim itu sendiri menyebabkan kenaikan suhu global, kenaikan permukaan air laut, perubahan pola cuaca ekstrem, gangguan ekosistem, ancaman terhadap ketahanan pangan, dan Penyebaran penyakit.
“Lantas apa hubungan dengan gajah? Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa individu gajah membutuhkan kurang lebih 100 liter air perhari, sehingga menghambat perkembangannya. Hal demikian juga menyebabkan gajah akan bermigrasi di luar wilayah jelajahnya untuk mencari ketersediaan air,” terangnya.
Dampak secara tidak langsung yang menyebabkan kerusakan pada habitat gajah, perubahan pakan akibat degradasi hutan (dari Hutan ke perkebunan atau pemanfaatan lahan lainnya). “Meski gajah memiliki adaptasi terhadap cuaca panas, tetapi tetap membutuhkan habitat yang mendukung untuk keberlanjutan hidupnya,” kata Pras.
Diskusi publik dengan mengusung tema “Dukungan Upaya Pelestarian Gajah di Sumatera Selatan” tersebut diselenggarakan dalam rangka Hari Gajah Dunia yang diperingati setiap tanggal 12 Agustus. Kegiatan ini digagas bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Hutan Kita Insitue (HaKI), Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Universitas Sriwijaya (Unsri), Harimau Kita, Plasma Nutfah Lestari (Plantari).
“Peranan generasi Z (GenZ) juga tidak lupa untuk dilibatkan. Mereka (GenZ) aktif di media sosial, sehingga sangat membantu untuk mengkampanyekan atau mewarnai ruang-ruang di berbagai platform terkait pelestarian gajah atau isu lingkungan secara luas,” kata Winda Indriarti Dosen Fakultas MIPA Biologi Unsri saat jadi pembicara. (*)
Manajemen kelembagaan dan pemasaran produk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) menjadi bagian penting dalam proses pendampingan dan pengembangan usaha Perhutanan Sosial. Karena itu, Hutan Kita Institute (HaKI) menyelenggarakan Pelatihan Manajemen dan Pemasaran untuk KUPS Agro Pasai yang merupakan bagian dari Masyarakat Hutan Adat Larangan Mude Ayek Tebat Benawa, Pagar Alam, pada 26 Mei 2024 lalu.
Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Agro Pasai dalam mengelola kelembagaan dan pemasaran produk. Pelatihan ini merupakan bagian dari program Badan Pengelola Dana Lingkungan hidup (BPDLH) – TERRA for Customary Forest (TERRA-CF) bekerjasama dengan HaKI di laksanakan di Rempasai, Masyarakat Hutan Adat Larangan Mude Ayek Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Sigid Widagdo, narasumber dari HaKI menekankan perencanaan, manajemen kelembagaan, proses produksi dan strategi pasar sangat menentukan perkembangan usaha kelompok perhutanan sosial.
“Tertib administrasi menjadi salah satu dasar penguatan kelembagaan, baik dari sisi kelembagaan atau pun keuangan usaha. Hal ini tidak bisa ditinggalkan atau dianggap remeh,” ujar Sigid.
Sebelum mendistribusikan produk KUPS, hal yang harus dilakukan adalah adanya kajian pasar. Ini bertujuan untuk memastikan produk tersebut sesuai dengan pasar yang ada. Fokusnya juga pada peningkatan kualitas produk, mengedepankan inovasi dan keunggulan produk sejalan dengan tren pasar saat ini.
Selain manajemen kelembagaan yang baik, peserta pelatihan juga dibimbing terkait kurasi produk dan membaca pasar. “Produk harus memiliki nilai lokal spesifik, sehingga memiliki nilai lebih dari produk lainnya dan mampu bersaing di pasar,” tambahnya.
“Kita tidak boleh ketinggalan dengan perkembangan pasar digital. Dengan pemasaran online, seperti di media sosial dan marketplace dapat memperluas pemasaran sampai dengan tingkat regional, nasional dan bahkan internasional,” tambahnya.
Secara kelembagaan menjadi penting juga untuk berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan seperti LPHA Tebat Benawa dan KPH Wilayah X Dempo. Hal ini dipandang penting untuk memastikan kelancaran kegiatan dan mendapatkan penerimaan yang lebih luas.
Shelva Ayuniza dari KPH Wilayah X Dempo yang hadir dalam acara pelatihan tersebut mengatakan, penguatan KUPS dari sisi kelembagaan dan juga pengembagan usaha menjdai salah satu tugas pendampingan KPH. Pihaknya sangat mengharapkan koordinasi yang baik dan memfasilitasi sinkronisasi program serta fasilitasi pengembangan usah aseperti perizinan dan lainnya.
KUPS Agro Pasai bersemangat mengembangkan potensi usaha yang ada di Hutan Adat dan sekitarnya. “Pelatihan ini juga mencakup strategi pemasaran yang tepat sehingga kami dapat membayangkan jangkauan pemasaran produk ke depan” ucap Salimin sebagai Ketua KUPS Agro Pasai.
Dalam sesi diskusi, anggota KUPS Agro Pasai mengidentifikasi beberapa kendala utama yang mereka hadapi, antara lain kurangnya modal dan pembagian peran yang belum optimal. Mereka juga membahas kemungkinan perolehan modal dari luar kelompok dan izin produk melalui KPH yang saat ini masih dalam tahap pembahasan.
Setelah pelatihan ini, KUPS Agro Pasai berkomitmen untuk menata internal seperti mengelola kas secara berkala, meningkatkan kualitas produk dan melakukan riset pasar yang lebih menyeluruh. Mereka juga akan terus berkoordinasi dengan HaKI dan KPH Wilayah X Dempo dalam pelaksanaan kegiatan kelompok.
Diharapkan pelatihan ini dapat membantu KUPS Agro Pasai lebih berkembang kapasitasnya terutama dalam pengelolaan hutan adat dan meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok secara keseluruhan.
Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Aek Bigha meningkatkan kapasitas kelembagaan dan usaha dengan menggelar pelatihan manajemen kelembagaan dan pemasaran. Pelatihan diselenggarakan oleh Hutan Kita Institute (HaKI) dengan dukungan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dana TERRA for Customary Forest (TERRA-CF).
Acara dihadiri oleh perwakilan KPH Wilayah VIII Semendo dan anggota KUPS Aek Bigha bertujuan untuk memperkuat manajemen serta merumuskan strategi pemasaran produk. Pelatihan ini dilaksanakan di sekitar Hutan Adat Ghimbe Peramunan Puyang Sure Aek Bigha, Desa Penyandingan, Kecamatan Semendo Darat Laut, Muara Enim, Sumatera Selatan, pada 29 Mei 2024 lalu.
Peserta pelatihan dari KUPS Aek Bigha mendapat pemahaman mendalam tentang manajemen administrasi yang terstruktur dan bagaimana hasil musyawarah mufakat dapat tercatat dan menjadi acuan dalam kegiatan – kegiatan ke depan. Saat ini, KUPS Aek Bigha berada di klasifikasi Biru, artinya kelompok ini sudah memiliki SK dari Kepala KPH, Struktur Pengurus dan rencana usaha.
Narasumber dari HaKI, Sigid Widagdo menjelaskan, pentingnya manajemen kelembagaan yang baik dalam menjalankan usaha Perhutanan Sosial. Tanpa adanya manajemen kelembagaan/organisasi yang baik, usaha tidak dapat memberi manfaat yang maksimal untuk anggota. Bahkan tidak sedikit usaha tidak berjalan sebagaimana layaknya usaha kelompok, namun hanya berjalan sebagai usaha personal saja.
Poin penting lainnya dalam pelatihan adalah identifikasi potensi, membuat produk, dan strategi pemasaran produk KUPS. Para peserta diajarkan untuk melakukan riset pasar guna menentukan target pasar yang tepat, harga yang kompetitif, serta meningkatkan kualitas produk sesuai dengan tren pasar. Diskusi juga mencatat beberapa kendala yang dihadapi oleh KUPS Aek Bigha, seperti kendala modal dan perluasan akses pasar.
Menurut Bayu Meido pendamping dari KPH Wilayah VIII Semendo, KUPS tidak sendiri melainkan bersama dengan KPH dan pendamping lainnya seperti HaKI, serta diharapkan dukungan dari dinas lainnya akan mendukung KUPS Aek Bigha. karena itu diperlukan koordinasi yang baik dengan berbagai pihak terkait, misal dengan dinas pariwisata, dinas koperasi dan UMKM, atau dinas terkait lainnya.
“Dalam menjalankan kegiatan kelompok, kami masih menghadapi kendala modal yang minim serta belum optimalnya pembagian peran di dalam kelompok,” ungkap Sehamril, Ketua KUPS Aek Bigha. Diskusi juga menyoroti potensi kolaborasi dengan pihak eksternal, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan HaKI, untuk memperluas jangkauan promosi produk KUPS melalui pameran dan kerjasama lainnya.
Di akhir pelatihan, anggota KUPS Aek Bigha menyatakan pemahaman yang baik terhadap materi yang disampaikan. Sehamril sebagai Ketua KUPS Aek Bigha berkomitmen dalam menjalankan kegiatan kelompok. Sebagai tindak lanjut, KUPS Aek Bigha berencana untuk merapikan administrasi dan merancang produk berdasarkan riset pemasaran yang telah dilakukan. Diantara potensi besar yang ada adalah kopi, kerajinan berbahan bambu dan rotan, serta produk turunan kopi lainnya.
Pelatihan ini diharapkan dapat menjadi landasan kuat bagi KUPS Aek Bigha untuk lebih maju dalam pengelolaan dan pemasaran produk mereka, sekaligus memperluas dampak positifnya bagi masyarakat adat serta lingkungan sekitar.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Puyang Sure Aek Bigha bersepakat dan mendukung Hutan Kita Institute (HaKI) dalam melaksanakan program Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLA) – Terra CF periode tahun 2024, di Hutan Adat Ghimbe Peramunan Puyang Sure Aek Bigha, Desa Penyandingan, Semendo Darat Laut, Muara Enim, Sumatera Selatan.
Persetujuan tersebut merupakan bagian dari proses Free Prior Informed Consent (FPIC) atau Padiatapa (Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan) yang dilaksakan HaKI di Desa Penyandingan bersama dengan (MHA) Puyang Sure Aek Bigha yang dihadiri pihak terkait diantaranya perwakilan KPH Semendo, pengurus MHA, dan perwakilan KUPS, pada 20 Februari 2024 lalu.
Henni Martini, dalam sambutannya mewakili HaKI mengatakan, program yang bertemakan ‘Mewujudkan Pengelolaan Hutan Adat yang Berkelanjutan Melalui Penguatan Kapasitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Sumatera Selatan’ akan dilaksanakan secara partizipatif, melibatkan dan berkordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti KPH, Pokja PPS Sumsel, lembaga adat dan NGO’s lainnya.
Selanjutnya, Sigid Widagdo dari HaKI dalam paparannya menjelaskan detail rencana program satu tahun di Hutan Adat Ghimbe Peramunan Aek Bigha. HaKI dengan dukungan dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) melaksanakan program untuk mewujudkan pengelolaan hutan adat yang berkelanjutan, dengan fokus pada penguatan kapasitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Sumatera Selatan.
“Program ini mencakup sosialisasi program dan reviue RKHA, capacity building, pelatihan, pendampingan, piloting KUPS serta monitoring dan evaluasi secara berkala,” kata Sigid.
Emhadi Brata, Ketua Lembaga Adat setempat mengapresiasi peran HaKI dalam membantu masyarakat melalui kolaborasi dengan kepala desa. Mereka juga mengajak HaKI untuk terus memberikan masukan dan dukungan bagi pengembangan Hutan Adat di Desa Penyandingan.
Setelah sosialisasi dan diskusi, acara ini ditutup dengan penandatanganan Berita Acara Persetujuan Atas Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa) Program HaKI yang didukung oleh BPDLH – Terra CF.
Penandatanganan ini menjadi langkah penting dalam memastikan komitmen bersama untuk mewujudkan pengelolaan Hutan Adat yang berkelanjutan di Hutan Adat Ghimbe Peramunan Puyang Sure Aek Bigha.
Kegiatan ini menegaskan komitmen HaKI untuk terlibat aktif dalam pembangunan berkelanjutan di daerah ini, serta memperkuat sinergi antara berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama dalam melestarikan keanekaragaman hayati dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat setempat. (Hen)