Mensikapi Pelaksanaan Bonn Challenge di Palembang, Sumatera Selatan 9-10 Mei 2017
Pola pengelolaan lahan gambut untuk industri kehutanan, perkebunan dan pertanian, menjadi penyebab utama kebakaran dahsyat di Indonesia tahun 2015 yang lalu, dimana 43 juta jiwa terpapar asap tebal, 14 orang bahkan meninggal dunia. Kebakaran juga menyebabkan kerugian ekonomi indonesia senilai $16 milyar.
Pembukaan lahan gambut dengan cara pengeringan untuk pengembangan sector tersebut
merupakan sebuah sistem produksi yang menyebabkan tingginya emisi karbon dan bencana kebakaran. Saat dikeringkan untuk tanaman industri, gambut akan menjadi rawan terbakar dan melepaskan karbon dioksida dalam jumlah yang sangat besar. Perusahaan HTI dan perkebunan yang sebagian besarnya merupakan lahan gambut, sampai saat ini belum membuka ke public rencana mereka untuk membasahi areal gambut yang sudah terlanjur dikeringkan. Bahkan walaupun mereka sudah mempunyai komitmen pembangunan berkelanjutan (Sustainable Policy), mereka masih menganggap bahwa system yang mereka kembangkan di gambut sebagai system yang berkelanjutan walaupun sudah banyak penelitian ilmiah yang menyajikan data sebaliknya. Sebuah studi yang diprakarsai oleh Wetlands International di Serawak menunjukkan bahwa drainase besar-besaran di lahan gambut mengakibatkan penurunan tanah (subsiden) yang sedemikian dalam, yang akan menyebabkan bencana banjir sangat besar dalam beberapa dekade mendatang (WI, 2016).
Pemerintah Indonesia sendiri, secara tegas sudah menjadikan restorasi dan konservasi hutan sebagai prioritas dalam komitmen perubahan iklim, termasuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan perlindungan, restorasi dan pengelolaan hutan melalui perhutanan sosial dan reforma agraria sampai dengan 12,7 juta hektar. Sayangnya beberapa perusahaan HTI di Riau dan Sumsel, masih melakukan praktek penanaman pada lahan gambut bekas terbakar dan bahkan dengan sengaja melakukan pembuatan kanal baru pada areal gambut.
Pelaksanaan program perhutanan sosial juga masih berjalan lamban, jauh dari target yang
diharapkan. Presiden Jokowi dalam rapat terbatas dengan topik Perhutanan Sosial di Kantor
Presiden pada 21 September 2016 mengakui capaian perhutanan sosial jauh dari harapan.
Dari target 2,5 juta hektar untuk Hutan desa dan Hutan Kemasyarakatan, baru terealisasi
610 hektar atau hanya 24.4 persen.
Disisi lain, konflik antara masyarakat dengan pengelola hutan/ pemegang izin juga masih banyak terjadi. Sebagai contoh di Propinsi Sumatera Selatan, menurut catatan WALHI Sumsel, ada ratusan konflik SDA terjadi sejak 2015. Menyikapi kondisi tersebut, kami masyarakat sipil mendesak ;
1. Agenda restorasi dan konservasi harus mengedepankan kepentingan dan hak masyarakat terdampak karena sebagian besar wilayah gambut di Indonesia juga menjadi sumber-sumber livelihood bagi masyarakat lokal/ adat. Sebagai contoh, di Sumatera Selatan yang menjadi tuan rumah forum restorasi global Bonn Challenge pada Tanggal 9-10 Mei 2017, ada lebih dari 600 desa yang sumber kehidupanya bersumber dari hutan.
2. Dalam melaksanakan kegiatan restorasi hutan harus mengacu pada prinsip dasar dalam
melaksanakan suatu kegiatan yaitu ; Prinsip persetujuan tanpa paksaan, kajian sosial dasar untuk memetakan potensi dampak dari restorasi, memetakan kelompok rentan, termasuk kelompok perempuan, pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan secara memadai, kompensasi atas kehilangan yang terjadi, dan harus ada mekanisme komplain dan penangangan keluhan atas kegiatan restorasi yang dilakukan.
3. Restorasi yang dilakukan adalah restorasi berbasis kepentingan masyarakat yang sinergis dengan pengembangan ekonomi ramah lingkungan, inovatif, berbasis lokal seperti pinang, madu, nipah, purun, peternakan, perikanan, sagu dll. Dan pemastian restorasi tidak menyebabkan rusak atau hilangnya sumber pangan masyarakat.
4. Mempromosikan pendekatan Paludikultur (Budidaya di lahan gambut tanpa drainase)
sebagai solusi pemanfaatan lahan gambut yang berkelanjutan dan dapat dilaksanakan oleh pengelola dan pemanfaat lahan gambut.
5. Menggunakan pendekatan kesatuan hidrologi dalam melakukan restorasi hutan, dengan partisipasi dan konsultasi para pihak yang memadai, dan terlibat dalam pengambilan keputusan pelaksanaan restorasi.
6. Mendesak komunitas internasional dan seluruh delegasi dalam Bonn Challenge agar kegiatan restorasi yang dilakukan oleh korporasi tidak kemudian dimaknai menjadi penghapusan dosa atau pemaafan atas praktek buruk perusahaan pada masa lampau dan/atau pelanggaran hukum yang mereka lakukan. Mereka tetap harus melaksanakan tanggung jawab hukum, sosial dan lingkungan.
7. Mereview atau mencabut izin perusahaan yang tidak patuh terhadap peraturan hukum
dan kebijakan pemerintah dan/atau perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban pemberdayaan masyarakat dan lingkungan, dan perusahaan yang tidak aktif.
8. Mendesak pemerintah Indonesia, delegasi Bonn Challenge dan komunitas internasional
untuk menjadikan upaya resolusi konflik sebagai prasyarat dalam pelaksanaan resolusi
konflik. Proses resolusi konflik tersebut harus disetujui para pihak terdampak, memberikan akses/ menyediakan informasi yang memadai, memberikan hak untuk didampingi, dan memastikan adanya skill dan pengetahuan yang memadai bagi masyarakat.
Demikianlah resolusi ini kami buat, untuk dapat diterima dan digunakan oleh berbagai pihak
terkait.
Palembang, 10 Mei 2017
#WechallengeTheBonn
#KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PENYELEMATAN LINGKUNGAN
Narahubung
1. Aidil Fitri (0812 711 0385)
2. Rudiansyah (081366699091)
3. Hadi Jatmiko (0878 9711 2238)
PDF: Download