Masyarakat Hukum Adat (MHA) Tebat Benawa Rempasai, Kota Pagaralam, dan MHA Aek Bigha, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan (Sumsel), masih memegang teguh nilai-nilai yang diwariskan oleh Puyang atau nenek moyang mereka sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari yang selaras dengan alam.
Bahkan kondisi ini dapat membentengi hutan di sekitar mereka dengan menjaga keselarasan lingkungan. Aspek budaya yang masih terpatri menjadi acuan pengaturan cara tradisional dalam mengelola hutan melalui hukum adat, ritual, dan sastra lisan.
Henni Martini Program Office program Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH-Terra CF) untuk Hutan Kita Institute (HaKI) menyampaikan, keberadaan MHA dengan memegang teguh warisan leluhurnya (Puyang), tidak dipungkiri memberi kontribusi tersendiri dalam menjaga alam di sekitarnya.
“Mereka memiliki aturan adat warisan Puyang dalam menjalani kehidupan, termasuk perlakuan terhadap hutan sebagai sumber penghidupan,” ujarnya di sela kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Agro Pasai dan KUPS Aek Bigha, Program BPDLH-Terra CF bersama HaKI, belum lama ini.
Disituasi sekarang lanjutnya, MHA menghadapi tantangan besar menjaga integritas lingkungan dan keberlangsungan budaya lokalnya. “Namun, kepatuhan atas nilai-nilai yang diwariskan oleh Puyangnya, dapat membawa kesadaran yang cukup bagi masyarakat setempat untuk mengemban peran sebagai penjaga tanah,” katanya.
Dalam ruang diskusi yang dihadiri Manajer Komunikasi dan Tata Kelola Pengetahuan HaKI Sigid Widagdo, mempertajam peran serta MHA dan juga Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) secara kelembagaan dalam meningkatkan ekonomi berkelanjutan.
“Masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan tentang pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan,” ujar Sigid, menggarisbawahi kontribusi nyata yang dapat diberikan oleh masyarakat adat dalam melestarikan lingkungan hidup.
Sigid menambahkan, seperti halnya dalam wilayah MHA Puyang Sure Aek Bigha memiliki aturan persawahan Blambangan yang membatasi pembukaan sawah, di mana pada awalnya hanya boleh membuka 8 petak sawah, dan selanjutnya 16 petak sawah.Ā
āAturan Puyang Ketib yang merupakan orang pertama membuka aturan blambangan itu, bisa saja diartikan sebagai sebuah aturan semata yang patut dipatuhi saja. Namun apabila dilihat dari kondisi geografis dan kapasitas air yang tersedia, aturan tersebut sesuai dengan daya dukung lingkungan terutama ketersediaan sumber air yang ada di dataran itu,ā tambah Sigid.
Kegiatan usaha yang dilakukan juga sudah mendapat perhatian pemerintah setempat, dengan terkoneksinya program pemerintah melalui OPD juga pemerintah desa, dengan kebutuhan MHA atau KUPS dalam hal produktifitas hasil pertanian dan lainnya, bersama-sama NGO/CSO dan BUMN.
HaKI akan memfinalisasi profil MHA Tebat Benawa maupun MHA Aek Bigha, dan memasukkan data-data nilai transaksi ekonomi KUPS Agro Pasai di system GoKUPS. Sejalan dengan berakhirnya program BPDLH Terra CF, HaKI tetap berkomitmen kepada kedua MHA tersebut untuk melakukan pendampingan. (*)