Home HUTAN KITA PULUHAN KILOMETER HUTAN HARAPAN BAKAL JADI JALAN ANGKUT BATUBARA.’Izin Keluar’

PULUHAN KILOMETER HUTAN HARAPAN BAKAL JADI JALAN ANGKUT BATUBARA.’Izin Keluar’

0

Sumber : https://www.mongabay.co.id/2020/07/06/izin-keluar-puluhan-kilometer-hutan-harapan-bakal-jadi-jalan-angkut-batubara/

  • Pada akhir 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tertanggal 17 Oktober 2019 memberikan  izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan jalan angkut batubara.
  • Izin diberikan kepada PT Marga Bara Jaya (MBJ) seluas 424,41 hektar pada kawasan hutan produksi tetap di Kabupaten Musi Rawas Utara dan Musi Banyuasin, di Sumatera Selatan dan Kabupaten Batang Hari, Jambi.
  • Jalan tambang untuk angkutan batubara ini setidaknya lebih 30 Km bakal melalui Hutan Harapan, dengan lebar sekitar 60 meter!
  • Tak hanya hutan bakal hilang, satwa-satwa yang hidup di sana pun terancam. Begitu juga masyarakat adat yang hidup di dalam Hutan Harapan, seperti Orang Batin Sembilan. Selama ini, mereka sudah menghadapi perambahan sampai kebakaran hutan. Ancaman baru datang lagi, ruang hidup mereka bakal jadi jalan angkut batubara.

Ratusan orang memadati Hutan Harapan yang bekas terbakar di Sungai Jerat, Kabupaten Batanghari, Jambi. Tampak galian lubang tanam tersebar di areal seluas 10 hektar. Pada September 2019, kebakaran hebat terjadi di sana, sejumlah perambah yang membakar sudah diamankan dan jalani proses hukum.

Rifai, remaja 14 tahun bersama lima temannya membawa satu kantong bibit. Tampak keringat membasahi pakaiannya. Kondisi lembah dan tebing curam dengan terik matahari tanpa ada satupun pohon pelindung. Gersang dan menghitam. Di samping sebuah pondok yang dirobohkan ada sekitar 15 polybag bibit sawit. Tertinggal bersama kenangan akan getah damar yang sempat dikumpulkan Orang Batin Sembilan di Sungai Jerat.

Rifai bersama teman-temannya sudah menyelesaikan lima lubang tanam, mengisi dengan bibit meranti, surian dan tembesu. Orang-orang berpencar sibuk dengan tanaman mereka sendiri. “Ini pertama kali nanam pohon langsung di hutan, senang sekali bisa berbuat untuk alam.Memulihkan lahan terbakar,”katanya.

Sungai Jerat, salah satu zona lindung dan produksi di Hutan Harapan. Hutan Harapan merupakan areal restorasi guna penyelamatan hutan dataran rendah tersisa di Jambi dan Sumatera Selatan seluas 98.555 hektar.

Maliki, Orang Batin Sembilan yang tinggal di Sungai Beruang, Hutan Harapan, berjarak sekitar 15 kilometer dari Sungai Jerat.

Sebelum lokasi ini dibakar dan diduduki prambah, dia bisa mengumpulkan getah damar 50 kilogram, kini tak ada lagi.

“Mencari 10 kilogram sekarang dak biso lagi. Semualah terbakar.”

Mukhsin yang tinggal di Simpang Tanding pun mengiyakan. Sungai Jerat sebagai areal Anak Damal Guli’an, tempat mereka mencari berbagai hasil hutan.

“Mereka (perambah-red) sudah jempalo tangan, kena hukum adat karena merampas hak-hak kami di Batin Sembilan Kandang Rebo Bawah Bedaro dan Anak Dalam Guli’an.

Bersyukur mereka bisa pergi dan kami bisa memulihkan lagi hutan bekas terbakar ini,” katanya.

Maliki dan Mukhsin bisa sedikit tersenyum atas keberhasilan merebut kembali wilayah adat dari perambah. Sayangnya, ancaman besar lain mengintai di depan mata.

Izin jalan angkut batubara keluar

Saat ini, Hutan Harapan ini terancam bakal terbuka untuk jalan angkut hasil tambang batubara, melewati zona lindungnya.

Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kala masih masih masih Kementerian Kehutanan, perusahaan sudah minta izin pinjam kawasan hutan untuk buka jalan angkut batubara di Hutan Harapan. Era itu, Kemenhut masih belum memberikan izin. Perusahaan tambang tak mundur. Era Presiden Joko Widodo, ketika Kemenhut, sudah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, izin belah Hutan Harapan, pun keluar.

Maliki dan Mukhsin mengajak saya menuju batas tapal Jambi dan Sumatera Selatan. Maliki bilang, jalan itu yang menghubungkan dua provinsi itu buntu, hutan belantara lebat. Namun, di sanalah, jalan tambang akan akan terbuka dan membelah hutan nan lebat itu.

Dari penelusuran Mongabay, PT Marga Bara Jaya, sudah mendapatkan izin melalui SK IPPKH No. SK.816/Menlhk/Setjen/PLA.0/10/2019 tertanggal 17 Oktober 2019 soal izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan jalan angkut batubara. Izin diberikan kepada PT Marga Bara Jaya (MBJ) seluas 424,41 hektar pada kawasan hutan produksi tetap di Kabupaten Musi Rawas Utara dan Musi Banyuasin, di Sumatera Selatan dan Kabupaten Batanghari, Jambi.

Perjalanan panjang pengajuan izin jalan tambang ini sudah sejak 2012. PT Triaryani dan PT Musi Mitra Jaya (MMJ) mengajukan usulan ke PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki), sebagai pemegang izin Hutan Harapan, untuk bangun jalan angkut di dalam kawasan. Reki menolak. Permohonan izin sampai ke Kemenhut.

Sejak Mei 2013 hingga Januari 2017, tak terjadi proses usulan pinjam pakai kawasan hutan oleh MMJ kepada Kemenhut. Sampai akhir 2016, usulan jalan tambang MMJ melalui Reki tidak diproses KLHK. Ada kabar, MMJ mendapatkan IPPKH di sebelah jalan PT Conoco Philips.

Triaryani tetap tak menyerah setelah gagal bersama MMJ, melalui anak perusahaannya, PT Marga Bara Jaya (MBJ) pada Februari 2017 mengajukan permohonan survei rencana trayek jalan lori atau kereta api angkutan batubara ke Reki. Putusan Reki tetap: menolak.

Triaryani, anak usaha PT Golden Eagle Energy (Rajawali Group) yang menguasai konsesi tambang batubara seluas 2.143 hektar di Musi Rawas, Sumatera Selatan. Jalan usulan membelah Hutan Harapan itu untuk mengangkut batubara dari lokasi tambang di Musi Rawas ke pelabuhan di Sungai Bayung Lincir, Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan.

Triaryani tak lagi melalui Reki untuk mempermulus buka jalan tambang. Perusahaan ini pun memohon rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pembangunan jalur pengangkutan khusus batu bara kepada Gubernur Sumsel melalui surat No. 077/TR/VII/2017.

Triaryani mengajukan revisi permohonan kepada Gubernur Sumsel, agar rekomendasi diberikan atas nama MBJ. September 2017, MBJ melalui surat No 001/MBJ/IX/2017 mengajukan permohonan rekomendasi IPPKH kepada Gubernur Sumsel.

Pintu masuk sedikit terbuka melalui rekomendari Gubernur Sumsel untuk pembangunan jalan kusus pengakutan batubara. Ada rekomendasi IPPKH melalui surat No: 522/2592/Dishut/2017.

Untuk mendapatkan izin di Jambi, pada November 2017, MBJ mengirimkan surat permohonan rekomendasi IPPKH dan dapat respon Dinas Kehutanan Jambi melalui surat Nomor S.4430/Dishut2.2/XI/2017.

Mengetahui itu, Reki mencoba menolak rekomendasi IPPKH MBJ melalui surat No 100a/XI-2017 sekaligus mengirimkan surat kepada Menteri KLHK perihal penolakan pembangunan jalur pengangkutan batubara.

Desember 2017, Dinas Kehutanan Jambi mengajukan surat kepada Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK dengan No. S.5290.A/Dishut-2.2/XII/2017. Dishut minta penjelasan permohonan rekomendasi IPKKH MBJ melalui Reki. Baru Mei 2018, melalui surat No S.73/Litbang/P3H/PLA.0/5/2018 Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi KLHK mengeluarkan surat kajian kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan jalur logistik (batubara) untuk MBJ dalam areal restorasi ekosistem Reki di Jambi.

Surat ini menjawab permintaan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan melalui surat No. S.406/PKTL/Ren/PK.0/4/2018 tertanggal 13 April 2018. Isi surat menyatakan, pembangunan jalan tambang melalui Reki sebaiknya dihindarkan karena areal pemulihan hutan, kalau memang harus maka harus menggunakan jalan konveyor.

Pada Juni 2018, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan KLHK mengeluarkan surat No S.694/PKTL/Plan.0/6/2018 tentang Penjelasan Permohonan Rekomendasi IPPKH untuk pembangunan jalur logistik (angkutan batubara)buat MBJ dalam areal restorasi Reki di Jambi.

Melalui Surat No. S.4181/dishut-2.2/VII/2018, Dishut Jambi mengirim surat kepada Gubernur Jambi untuk mengeluarkan pertimbangan teknis penggunaan kawasan hutan dalam rangka permohonan IPPKH buat jalan angkutan batubara MBJ di Batanghari, Jambi (areal restorasi).

Ada tiga opsi jalur jadi bahasan.          Trase jalan pertama, wilayah Sumsel dan Jambi, masuk Hutan Harapan: 31,9 Km dari 88 Km akan mengfragmentasi keutuhan Hutan Harapan dengan lebar jalan 60 meter.

Trase jalan kedua: wilayah Sumsel dan Jambi, masuk Hutan Harapan 38,9 Km dari 92 Km, dengan lebar jalan 60 meter. Perkiraan Reki dan koalisi hutan akan terbuka sekitar 5.953 hektar.

Trase jalan ketiga, wilayah Sumsel saja sepanjang 96 KM, tidak ada Hutan Harapan.

April 2019, MBJ mengirim surat kepada Dinas Kehutanan Sumsel dan Jambi, untuk meminta rekomendasi rute baru jalan tambang yaitu opsi dua.

Opsi dua ini akan melewati kawasan lindung Hutan Harapan di Kabupaten Batanghari, dan Musi Banyuasin, Sumsel.

Mongabay berusaha mengkonfirmasi kepada Rojak, Direktur Operasional MBJ melalui kontak WhatsApp dan telepon pada Senin, 29 Juni 2020. Sayangnya, sampai berita ini terbit tak ada jawaban.

Ada jalan lain, mengapa harus belah Hutan Harapan?

Diki Kurniawan, Koalisi Anti Perusakan Hutan mengatakan, ada dua jalan lain yang bisa digunakan tanpa merusak kawasan Hutan Harapan. Dia bilang, ada pilihan jalan lewat tepi kawasan kalaupun kena Hutan Harapan, hanya bagian pinggir tidak masuk kawasan lindung. Ada juga jalan lain yang sudah ada, tinggal memperbaiki infrastruktur. “Tidak perlu menebang hutan lagi,” katanya.

Koalisi Anti Perusakan Hutan yang tergabung dalam 32 Lembaga Swadaya Masyarakat sudah melakukan berbagai upaya penolakan dan advokasi. “Kita sudah ajukan juga surat keberatan dengan berbagai alasan diantaranya terkait kerugian negara,” katanya.

Mongabay melakukan kunjungan kawasan hutan yang akan dibangun jalan angkut tambang batubara. Kawasan itu masih tertutup tegakan pohon yang baik. Koalisi Anti Perusakan Hutan mengindentifikasi kerugian negara dari kehilangan kayu yang bakal membelah Hutan Harapan bisa mencapai Rp8,84 triliun.

“Hitungan kasar kita dengan alternatif jalan kedua, jalan sepanjang 38,9 kilometer dan lebar 60 meter sudah terhitung potensi Rp257,5 miliar dengan melihat diameter kayu lebih dari 20 cm. Diameter di atas itu seluas 221 hektar ditambah efek tepi kanan-kiri dari jalan 5.000 meter, perkiraan kasar kami nilainya sebanyak itu,” kata Diki.

Hutan Harapan, merupakan izin restorasi ekosistem pertama di Indonesia. Skema izin usaha restorasi ekosistem di Indonesia sampai akhir Oktober 2018 telah terdapat 16 izin usaha seluas 623.075 hektar. Areal kerja meliputi tipe ekosistem hutan lahan kering berupa dataran rendah 149.482 hektar (24%), dataran tinggi 36.450 hektar (6%), dan berkembang ke tipe ekosistem gambut 419.763 hektar (67%). Kemudian, tipe ekosistem mangrove 14.080 hektar (2,26 %), dan tipe ekosistem rawa 3.300 hektar (0,53%). Penyebaran di Sumatera dan Kalimantan.

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Hutan dari Institut Pertanian Bogor menilai, dulu dan sekarang, keseriusan dan dukungan pemerintah baik pusat dan daerah dalam melihat upaya pemulihan ekosistem melalui restorasi sama saja. Padahal, katanya, dalam Perjanjian Paris, Pemerintah Indonesia berkomitmen berkontribusi dalam National Determined Contributions, mengurangi emisi 29% sampai 2030 dan 41% dengan bantuan luar negeri. 

Restorasi hutan, termasuk Hutan Harapan, katanya, merupakan upaya pemerintah mendukung pencapaian NDC. Makin banyak upaya restorasi, makin besar berkontribusi pada penyerapan emisi karbon.

Jadi, pemberian izin pinjam pakai tak hanya akan merusak dan memberikan dampak kepada keragaman hayati, juga menafikan komitmen pemerintah dalam pengurangan emisi karbon.

Sejak awal, Reki sudah berupaya restorasi hutan dengan pola integrasi perlindungan kawasan, pengayaan, suksesi alam dan penanaman, di mana sekitar 72.000 hektar merupakan kawasan hutan dan masih utuh. Selebihnya, Reki intensif kemitraan kehutanan sebagai bagian dari perhutanan sosial, merupakan program pemerintah, dengan masyarakat di dalam dan sekitar Hutan Harapan.

Saat ini, tercapai 11 naskah kerjasama kemitraan kehutanan dengan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Mangarah Silalahi, Presiden Direktur PT Reki mengatakan, estimasi cadangan karbon di Hutan Harapan mencapai 15 mil ton atau setara Co2 50 milliar ton.

Kawasan hutan produksi terbatas di perbatasan Sumsel-Jambi, terutama di dalam Hutan Harapan, masih ada spesies payung (umbrella species) yaitu, harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatera (Elephas maksimus sumatranus), tapir (Tapirus indicus) dan beruang madu (Helarctos malayanus). Satwa-satwa ini, jadi indikator kawasan masih memiliki nilai konservasi dan keragaman hayati tinggi.

Angka konflik gajah selama tiga tahun ini tercatat ada tujuh kasus. Hospita, Komunikasi Spesialis Reki mengatakan, di luar kawasan juga makin meningkat konflik gajah setiap tahun. “Konflik di luar kawasan Hutan Harapan atau sekitar yang masih wilayah jelajah gajah terlaporkan ke kami sekitar 10 kali per tahun. Tersebar di beberapa lokasi.” Jumlah ini, katanya, bisa lebih kalau menghitung konflik tak terlaporkan dan terpantau tim riset.

Pada Mei 2020, warga Desa Bumi Makmur, Kecamatan Nibung, Kabupaten Musirawas Utara, Sumsel meninggal setelah berkonflik dengan gajah liar. Kata Hospita, tim riset Hutan Harapan membantu proses penggiringan. “Gajahnya sudah mengarah ke Hutan Harapan, tim pemantauan dari jejak kaki. Untuk translokasi itu keweangan di BKSDA.”

Mukhsin bercerita, gajah sering mengunjungi mereka setahun terakhir. Dia khawatir kala ada pembukaan untuk jalan tambang, konflik antara warga dan gajah makin parah. “Kemana lagi, kalau semua dibuka, dirambah, gajah, harimau pasti lebih sering berhadapan dengan kami, Suku Batin ini,” katanya.

Maliki dan Mukhsin menatap sedih tumpukan tunggul hitam kayu yang tersisa di Sungai Jerat. Mereka berduka kehilangan hutan sebagai tempat mencari hasil hutan. Maliki tak bisa membayangkan, kalau ada jalan angkut batubara, tak hanya Sungai Jerat, yang rusak, juga tempat mencari jernang di sepanjang Sungai Meranti, bakal lenyap.

Exit mobile version