Hutan Kemasyarakatan (HKM) Kibuk menjadi salah satu program Perhutanan Sosial (PS) pengungkit pulihnya kembali pertumbuhan ekonomi pada tingkat tapak. Melalui Perhutanan Sosial, dilakukan pengembangan ekonomi produktif, peningkatan kapasitas produksi komoditas kelompok tani sekitar hutan, serta mendorong kemandirian ekonomi dan menjaga ekologi di kaki Gunung Dempo.
Hutan Kemasyarakatan Kibuk di kaki Gunung Dempo Kota Pagaralam, Sumatera Selatan (Sumsel) menyambut kami dengan segarnya udara khas pegunungan, memberi rasa tenang dan begitu didambakan bagi masyarakat perkotaan yang sesak karena polusi. Keragaman hayati (biodiversitas) dan keindahan lanskapnya Kota Pagaralam, tersaji untuk kepentingan ekonomi dengan harus memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian. Banyak potensi Perhutanan Sosial yang bisa dioptimalkan daerah ini seperti, pemanfaatan jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu, serta ekowisata.
Koordinator Program Hutan Kita Institue (HaKI) Sumsel, Bejo Dewangga menyampaikan, dampingan yang dilakukan terhadap HKm Kibuk selain untuk mengembangkan wilayah kelola petani, juga didorong agar tetap menjaga fungsi hutan dengan baik. “Di kawasan HKm Kibuk, kami membangun camping gorund. Di sini kami juga ingin mengkampanyekan kepada masyarakat akan potensi energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, dengan memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 2000 watt,” ujarnya.
Bejo menjelaskan, menyelami petani yang merupakan perambah bukanlah hal sederhana. Minimnya pemahaman dan kesadaran akan menjaga hutan haruslah dipandu dengan konsep pengelolaan lahan yang berkeadilan.
“Ekowisata Agroforestry merupakan pilihan yang tepat untuk mendapatkan keuntungan dalam konteks ekonomi dengan menjaga kelestarian alam. Ini juga merupakan salah satu strategi multi usaha kehutanan berkelanjutan, baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi,” katanya.
Secara prinsip, Perhutanan Sosial memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sekitar kawasan hutan dalam mendapatkan akses pengelolaan yang pas dan tepat. Pemerintah memberikan akses legal kepada rakyat untuk memanfaatkan hutan selama 35 tahun yang bisa diperpanjang sampai 70 tahun.
“Hal terpenting di situ adalah konsep kelola hutan yang tepat, jadi rakyat tidak pernah ragu lagi,” katanya.
Kendati demikian sambung Bejo, HaKI juga mengantisipasi adanya pergerakan membuka lahan dengan waktu tertentu kemudian mendapat legalitas melalui Perhutanan Sosial. “Apalagi pembukaan lahan untuk menanam sawit. Jelas ini dilarang,” ujarnya.
Ekowisata Agroforestry
Pembangunan agroforestry dinilai menjadi solusi tepat atas keterlanjuran masyarakat yang merambah kawasan hutan lindung yang sudah turun temurun sejak sebelum era kemerdekaan. Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dapat mengoptimalkan wilayah dengan mengembangkan ekowisata berbasis agroforestry yang mempunyai peluang menjanjikan dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial.
“Melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kibuk, kami (petani) di Pagaralam, dengan dampingan dari Hutan Kita Institute (HaKI) dari Palembang, mengembangkan ekowisata agroforestry. Kami mengelola tanpa merubah fungsi kawasan hutan,” ujar Rusi Sirwadi (49) Sekretaris HKm Kibuk Kota Pagaralam, kepada Gatra.com, Senin (28/11).
Alumni Tehnik Sipil Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, ini menyebut bahwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MLHK) Nomor SK.5756/MenLHK-PSKL/PKPS/PSL 0/10/2017, HKm Kibuk yang berada di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, dengan beranggotakan 152 orang kepala keluarga (KK) memperoleh izin pemanfaatan kawasan hutan seluas 440 hektar (ha) hingga 35 tahun ke depan.
“Saat ini, dari total luasan izin HKm Kibuk yakni 440 ha, yang sudah dikelola ada sekitar 100 ha lebih. Macam-macam jenis tanaman, ada kopi arabika, alpukat, nangka, cabai serta sayur mayur sebagai tumpang sari,” katanya.
Secara geografis, HKm Kibuk berada di ketinggian 1600-1700 meter dari permukaan laut (MDPL). Dari ketinggian tersebut masyarakat disuguhkan pemandangan indah bukit barisan yang berbentuk mangkok. Hal ini pula menjadi salah satu pemicu digagasnya ekowisata agroforestry. “Alam Kota Pagaralam ini sangat luar biasa. Sentuhan sedikit saja bisa dijadikan objek wisata,” katanya.
Sejarah Perambahan
Jauh sebelum adanya Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kibuk di kaki Gunung Dempo, masyarakat Kota Pagaralam, sudah menggarap di kawasan Hutan Lindung (HL) ini. Minimnya pengetahuan, masyarakat tidak perduli dampak yang ditimbulkan dari perambahan hutan. Tentu tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dilakukan perkebunan teh notabene warisan Kolonial Belanda, yang saat ini kelola PTPN VII atau perusahaan milik negara.
“Kalau di runut, saya juga tidak tahu persis. Tapi seingat saya, orang-orang terdahulu sudah menggarap lahan ini. Dokumen mungkin tidak dapat dibuktikan, tapi jejak dan cerita masih ada. Pada masa itu warga juga tidak perduli atau bahkan tidak tahu soal status hutan. Mereka dapat dengan leluasa mengelolanya,” ujat Rusi.
Menurutnya, dari jejak sejarah era awal kemerdekaan, pada 1949 Presiden Soekarno menginjakkan kaki di Kota Pagaralam. Satu frasa yang selalu diingat warga Basemah (julukan Kota Pagaralam) disampaikan sang Proklamator kepada tetua tempo dulu. “Kalau masyarakat mau maju dan makmur, ini hutan harus di buka,” tirunya dari cerita pamannya yang turun dari sang kakek.
Sambung Rusi, kawasan yang dikelola HKm Kibuk saat ini, melihat dari tanaman peninggalan sebelumnya telah dirambah oleh penjajah. Berjarah sekitar 200 meter ke arah puncak, terdapat pohon teh berukuran besar ditaksir berusia 100 tahunnan.
“Dari jenis tanaman pohon di sini, juga terdapat kayu grand akasia yang bukan endemik Dempo. Kami kira, dulu kawasan ini pernah dilakukan penghijauan oleh Belanda. Kayu endemik Dempo, kalau warga mengenalnya dengan sebutan kayu sapat, sabun dan mapat. Saya tidak tahu istilah ilmiahnya,” jelasnya.
Rusi juga mengingatkan, semakin ke sini petumbuhan penduduk terus meningkat, sementara lahan tidak pernah bertambah. Masyarakat khususnya kelompok HKm Kibuk, harus terlibat pelestarian alam kaki Dempo dari ancaman perambahan. “Kalau kita bekerja membuka lahan dan mengakibatkan dampak negatif, maka bagaimana dengan anak cucu kita nanti,” ucapnya.
“HKm Kibuk secara tidak langsung menjadi ‘sabuk’ sehingga tidak ada lagi perambah. Kami memaksimalkan apa yang sudah ada. HKm Kibuk masih sekitar 300 ha belum dikelola dengan berbagai kondisi,” imbuhnya. (*)