Hutan Kemasyarakatan Kibuk di lereng Gunung Dempo Pagar Alam Sumatera Selatan, sangat berpotensi untuk pengembangan pertanian hortikultura, kopi, dan tanaman hutan lainnya dengan konsep wanatani. Selain itu, Perhutanan Sosial ini juga berpotensi untuk pengembangan jasa lingkungan wisata Agroforestry.
Dusun Agung Pauh, Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Pagaralam, Sumatera Selatan, geger saat api menghanguskan puluhan hektare lahan hutan lindung di kawasan lereng Gunung Dempo pada tahun 1996.
Keringat dingin puluhan kepala keluarga menetes, saat diminta pertanggungjawaban karena mereka ‘merambah’ kawasan yang terbakar tersebut untuk ditanami sayur-mayur dua tahun sebelumnya.
Ketua Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kibuk, Boedi (49), masih berusia 23 tahun saat berbagai unsur pemerintah dan masyarakat berkumpul membahas penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di lereng Gunung Dempo. Meski berada di ketinggian 1.600 mdpl dan memiliki suhu di kisaran 16-23 derajat celcius, kemarau panjang pada periode tahun itu menyebabkan puluhan hektare lahan terbakar.
Boedi saat itu masih merantau di Bandung, Jawa Barat. Dirinya mengetahui kawasan sekitar kampung halamannya dilanda karhutla dari berita di televisi. Dirinya mendapat kabar bahwa masyarakat Dusun Agung Pauh ketiban pulung: mereka diminta bertanggung jawab atas karhutla tersebut. Namun konsekuensinya lahan yang terbakar menjadi hak mereka untuk dikelola.
Lahan Kibuk telah dikelola oleh masyarakat Dusun Agung Pauh sejak tahun 1983 dengan menanam sayuran. Tidak ada legalitas dalam mengelola lahan, masyarakat saat itu dianggap sebagai perambah hutan lindung.
Pada 1994, PT Perkebunan Nusantara VII mengembangkan penanaman kopi arabika seluas delapan hektare. Masyarakat ikut membuka lahan di sekitar Area 94 dengan menanam sayuran dan kopi robusta.
Sejak saat itu, sering terjadi kejar-kejaran dan kriminalisasi terhadap masyarakat dari pihak PTPN VII dan aparat akibat membuka lahan tersebut. Tidak sedikit petani yang ditangkap, namun diselesaikan ‘di bawah tangan’ agar tidak mendekam di penjara.
“Kalau ketahuan, dangau (pondok) dibakar, batang kopinya ditebas semua. Sisa kayunya tidak boleh diambil untuk kayu bakar. Tapi tidak bisa berhenti, masyarakat tetap bertani di situ. Mau bagaimana lagi, itu periuk nasinya orang mau diusir,” ujar Boedi beberapa waktu lalu.
Boedi yang kembali ke kampung halaman sejak 1999, mulai bertani dan memikirkan nasib warga Agung Pauh agar aktivitas berkebun mereka bisa tenang dan tidak lagi dikejar-kejar aparat. Penantian dan usaha belasan tahun terjawab.
Pada 2013, masyarakat mengajukan penetapan perhutanan sosial dan baru sah pada 2017 saat Presiden RI Joko Widodo menyerahkan langsung SK-nya di Taman Kota Punti Kayu Palembang.
Pengembangan Wanatani di Lereng Gunung Dempo
Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kibuk mendapatkan SK 440 hektare dengan 200 hektare di antaranya sudah dikelola oleh 132 anggota. Lebih dari 20 hektare sudah ditanami pohon kopi arabika.
Konsep wanatani (agroforestry) diterapkan di seluruh lahan yang digarap ditanami hortikultura dan hali hutan bukan kayu (HHBK). Tanaman hortikultura seperti sawi, kubis, labu, wortel, cabai, bawang-bawangan, kentang, tomat dan stroberi.
Selain kopi dan alpukat, HHBK yang juga diupayakan budidaya adalah jeruk, rotan jernang, pala, dan durian. Meskipun pala dan durian yang sudah ditanam dinilai tidak tumbuh dengan baik karena iklim yang kurang sesuai.
“Kita dorong penanaman HHBK, swasembada kopi dan alpukat, tapi nyayur tetap. Dari satu hektar lahan boleh disediakan seperempatnya atau seperlimanya untuk sayur,” kata Sekretaris HKm Kibuk Rusi Siruadi.
Merawat Hutan Konservasi Sekaligus Memanfaatkan Jasa Lingkungan
Lembaga Pengelola HKm Kibuk menetapkan lahan seluas 200 hektare sebagai kawasan konservasi. Selain menjaga hutan yang saat ini belum rusak, masyarakat HKm pun melakukan upaya konservasi di lahan hutan dengan kerapatan pohon rendah, kawasan semak belukar, dan hutan bekas terbakar. Tanaman kayu sabun dan kayu ara akan ditanam sebanyak 10 ribu batang per seratus hektare.
Masyarakat HKm Kibuk mendapatkan SK Perhutanan Sosial ini untuk 35 tahun sejak 2018 yang akan dievaluasi per lima tahun sekali. Dalam lima tahun pertama, masyarakat menanam masing-masing tiga ribu batang kayu ara dan sabun per 30 hektare di zona konservasi. Untuk tahun kelima hingga 10, penanaman kayu sabun dan ara sebanyak dua ribu batang per 20 hektare.
“Selain tanaman unggulan itu, masyarakat juga akan memprioritaskan tanaman khas kayu kehutanan seperti ceri dan mahoni untuk zona konservasi sebagai vegetasi tanaman di lahan seluas 100 hektare. Itu akan mengembalikan fungsi hutan yang rusak,” ujar Rusi.
Karena lahan konservasi tersebut tidak boleh dijadikan ladang berkebun, HKm Kibuk membuat rencana pemanfaatan jasa lingkungan dengan konsep penyerapan karbon dan ekowisata agar dapat menambah nilai ekonomi hutan bagi masyarakat. Wilayah serapan karbon akan ditetapkan seluas 14 hektare di zona konservasi, sementara wilayah ekowisata akan diterapkan di kawasan seluas 25 hektare.
Zona ekowisata akan menawarkan obyek wisata panorama, camping ground, hiking, dan agrowisata jeruk yang ditanam oleh para petani. Sementara wilayah serapan karbon dikembangkan untuk memperkenalkan Hutan Lindung Bukit Dingin, Pagaralam. Zona ekowisata pun dikembangkan untuk mencegah adanya aktivitas perusakan seperti penebangan liar, karhutla, dan konversi lahan.
Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) sebagai pendamping HKm Kibuk akan memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan potensi wanatani yang sudah berjalan dan ekowisata yang masih rencana tersebut.
Direktur Program HaKI Deddy Permana mengatakan, pihaknya fokus melakukan pendampingan di HKm Kibuk untuk pengembangan produk jasa lingkungan ekowisata yang didalamnya ada tanaman unggulan seperti kopi arabika, alpukat, dan jenis tanaman lain yang berpotensi.
“Di proses itu kita akan membangun gerai alam, potensi camping ground dan wilayah jelajah untuk offroad. Proses yang dilakukan ini bersama masyarakat, infrastruktur akan dibangun didampingi oleh HAKI. Kemudian melakukan kegiatan secara bertahap,” kata Deddy.
Selain produk fisik seperti pengembangan kopi yang telah dilakukan HaKI di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, jasa lingkungan ekowisata akan menjadi salah satu produk unggulan di Pagaralam. Produk kopi yang dihasilkan oleh Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) pun akan dikembangkan oleh Koperasi Pesona Hutan Kita dibawah naungan HaKI.
“Produk KUPS ini akan dikembangkan ke pasar yang lebih luas, salah satunya ke marketplace. Ini menjadi bagian penting pengembangan untuk mendukung produk perhutanan sosial ke depannya. Selain juga dilakukan penguatan manajemen pengelolaan oleh KUPS dan branding produk,” pungkasnya.(*)
(*) https://m.merdeka.com/peristiwa/permak-belukar-gunung-dempo-pagaralam-jadi-obyek-eko-agrowisata.html