Meningkatkan proposi hak kelola masyarakat terhadap hutan dalam bentuk hutan sosial sampai dengan 12,7 juta hektar sepertinya bukan perkara mudah, terlebih peningkatan kesejahteraan masyarakat juga menjadi tolok ukur keberhasilan Perhutanan Sosial.
Realisasi Perhutanan Sosial mencapai 37,3 persen atau seluas 4,7 juta hektar, dengan 7.228 ijin hak kelola dan penerima manfaat sebanyak 1 juta Kepala Keluarga diharapkan merasakan dampak nyata dari program Perhutanan Sosial, baik dampak jangka pendek, menengah, atau panjang.
“Kita harus yakin Perhutanan Sosial dapat meningkatkan kesejahteraaan masyarakat ,” kata Dr. Ir. Bambang Suprianto,M.Sc , Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat menjadi narasumber pada acara workshop yang bertemakan Memperkuat Dukungan Multipihak dalam Pembangunan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan, pada Selasa 9 November 2021, dii Palembang
Bambang menjelaskan beberapa dampak jangka pendek yang menjadi tujuan Perhutanan Sosial yakni, perbaikan dan adaptasi sistem, perbaikan modal sosial, perbaikan bisnis hutan sosial, perbaikan akses masyarakat terhadap lembaga keuangan, pendampingan dan akses pasar terhadap produk masyarakat, serta peningkatan kapasitas manajemen masyarakat.
Adapun dampak jangka menengah, lanjut Bambang, adalah pengembangan ekonomi domistik, pengembangan sentra produksi hasil hutan, penurunan konflik tenurial, dan kelestarian hutan. Sedangkan dampak jangka panjangnya adalah terbangunnya pusat-pusat ekonomi domistik dan pertumbuhan desa sentra produksi hasil hutan yang berbasis desa dapat juga menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.
“Untuk itu Perhutanan Sosial menjadi pekerjaan bersama, tidak hanya sektor kehutanan, namun semua pihak terkait dari pusat sampai tingkat tapak,” kata Bambang menegaskan Perhutanan Sosial menjadi bukan hanya pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah, kabupaten kota, dan juga pihak akaademisi dan swasta.
Analis Kebijakan Ahli Muda Kementrian Dalam Negeri Rinu Manurung, S.Sos, menjelaskan pentingnya peran multipihak dalam mendukung Perhutanan Sosial, utamanya dukungan dari pemerintah daerah dan kabupaten kota.
“Mendagri sudah menyampaikan surat edaran Mendagri nomor 52/6267/JS kepada gubernur, bupati, dan walikota agar mendukung Perhutanan Sosial,” kata Rinu pada sebagai narasumber pada acara workshop yang diselenggarakan oleh Hutan Kita Institute (HaKI) yang dilakukan secara hibrid di Palembang.
Rinu menambahkan, dalam surat edaran Mendagri tersebut meminta kepada Gubernur, Bupati, Walikota untuk dapat mengkordinasikan pemangku kepentingan pemerintah, BUMN, swasta, masyarakat, dan perguruan tinggi untuk mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis Perhutanan Sosial.
Selain kordinasi para pihak, diharapkan gubernur, bupati, dan walikota dapat memastikan ketersediaan rencana dan penganggaran daerah untuk mendukung ekonomi masyarakat berbasis Perhutanan Sosial. Tidak hanya bidang kehutanan dan lingkungan hidup, perencanaan dan penganggaran bebasis perhutanan sosial dapat dilakukan pada urusan bidang pertanian, pemberdayaan masyarakat, ketenagakerjaan, perdagangan industri, koperasi dan usaha kecil menengah, pariwisata, pekerjaan umum dan penataan ruang.
“Karena itu pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota tidak perlu ragu lagi untuk membuat perencanaan dan menganggarkan APBD untuk mendukung Perhutanan Sosial dalam berbgai bidang terkait. Dan keberadaan Pokja Percepatan Perhutanan Sosial (PPS) dapat menjadi wadah kordinasi amtar bidang,” tegasnya.
Ketua Pokja PPS Sumsel Prof. Dr. Rudjito Agus Suwignyo, M.Agr mengatakan salah satu kendala Perhutanan Sosial di Sumsel adalah masalah pembiayaan paska izin yang mengalami masalah dalam pengembangan usahanya karena rendahnya akses ke pendanaan.
“Anggaran dari pemerintah daerah sangat kecil dan bantuan dari pihak ketiga seperti perbankan dan perusahaan juga masih sangat minim,” katanya.
Dalam hal rendahnya dukungan tersebut, Rudjito mengatakan, agar Pokja dapat mendorong keterlibatan para pihak terkait lain seperti sektor perkebunan, koperasi, perikanan dan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah daerah, perbankan, akademisi dan dunia usaha, terutama dalam pengembangan usaha Perhutsos, termasuk akses pendanaan ke sektor perbankan.
Direktur Program HaKI Deddy Permana S.Si mengatakan, upaya koordinasi dan peningkatan kerjasama dengan berbagai instansi terkait baik di pusat maupun di daerah harus dilakukan lebih intensif, mengingat berbagai pencapaian target indikator yang telah ditetapkan hanya dapat dilakukan secara kolaboratif antara instansi pemerintah pusat, daerah dan sampai di tingkat desa.
Dengan berbagai tantangan yang ada, Deddy menjelaskan, HaKI melakukan pendekatan paska izin dengan melakukan tata kelola kawasan, kelembagaan dan usaha. Beberapa kegiatan fasilitasi tata kelola kawasan berupa Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Rencana Kerja. Dalam tata kelola kelembagaan HaKI memfasilitasi pembentukan KUPS dan Koperasi, pengenalan kegiatan usaha, branding produk dan pemasaran, manajemen organisasi, aturan kelompok, monitoring dan evaluasi. Sedangkan tata kelola usaha HaKI melakukan fasilitasi akses permodalan, pameran produk, temu usaha, promosi, pengembangan sarana produksi, dan sarana pemasaran pada Gerai Hutan, Marketplace.
Deddy menjelaskan, dengan wilayah kerja Perhutsos di Sumsel yang cukup luas maka dilakukan strategi pengembangan usaha dengan membuat demplot agroforestry dan sekolah lapang. “dengan adanya demplot, percontohan pengembangan bisnis dan sekolah lapang tersebut, diharapkan akan dapat di duplikasi oleh KPS lainnya dengan penyesuaian kondisi masing-masing,” katanya.