Populasi Gajah Sumatera hingga saat ini terus mengalami penurunan, bahkan tidak sedikit peneliti menyebutkan hewan dengan nama ilmiah Elephas Maximus Sumatranus tersebut, terancam punah. Alih fungsi hutan secara masif hingga interaksi negatif manusia terhadap gajah harus menjadi perhatian serius.
Misal jika ditinjau dari tahun ke-tahun, kantong-kantong gajah telah berubah menjadi perkebunan bahkan pemukiman warga (transmigrasi). Alhasil, konflik gajah dengan manusia tidak terelakkan. Sejumlah kasus menewaskan warga dan juga matinya gajah salah satu satwa yang terancam punah (critically endangered).
Areal jelajah mereka “tertembok” oleh perkebunan dan pemukiman, sehingga habitat satwa berbadan besar tersebut kian menciut disertai populasi yang terus menyusut. Perburuan gading gajah sebagai barang berharga juga tak luput menjadi persoalan yang memicu jalan buntu aksi konservasi.
Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), populasi gajah sumatera di Bumi Sriwijaya tersisah diangka 237 ekor yang tersebar di sejumlah wilayah (kantong-kantong gajah). Kendati demikian, ruang jelajah gajah yang sangat luas, tidak didapat angka pasti populasi binatang pintar bertubuh besar tersebut.
Gajah sumatera sendiri termasuk satu satunya kelompok gajah paling terpuruk di dunia, dan masuk dalam kategori Appendix I (Konvensi Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan (CITES) 1990. Artinya, gajah sumatera tidak boleh diperjualanbelikan sebagai hewan utuh ataupun bagian tubuh satwa tersebut.
Namun faktanya, perburuan terhadap gajah tetap terjadi. Masih ditemukan jejak bekas pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya, karena di pasar perdagangan gelap internasional gading gajah dihargai sangat mahal.
Persoalan terbesar bagi gajah sumatera khususnya di Sumsel, adalah hilangnya kawasan habitat bagi binatang. Kawasan hutan terus berubah secara masif menjadi hutan industri, perkebunan dan permukiman masyarakat.
“Deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu ancaman yang signifikan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati, sebagai habitat utama yang menyebabkan berkurangnya jumlah individu gajah sumatera,” ujar Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana, pada kesempatan memperingati Hari Gajah Dunia di bersama mahasiswa di Palembang, 25 Agustus 2024.
Untuk menekan meluaskan dampak interaksi negatif gajah dan manusia di Sumsel, dikatakan Deddy, HaKI terlibat aktif dalam berbagai aksi kampanye serta riset terkait konservasi gajah sumatera bersama komunitas masyarakat sipil dan dunia akademisi. Bagaimanapun terganggunya populasi gajah menjadi penanda (alarm) bahwa kondisi ekologi tidak baik-baik saja.
“Gajah memiliki adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, karena ruang gerak (jelajah) sudah dibatasi oleh pembangunan dan aktivitas ekonomi manusia, akhirnya menyempit bahkan jalur yang biasa dipakai rombongan gajah sudah berubah menjadi perkebunan. Di sinilah kemudian teraktif negatif gajah dan manusia terjadi,” jelasnya.
Deddy juga menyampaikan, perlu adanya perhatian serius pemerintah terkait tata kelola kawasan hutan terutama habitat atau jalur jelajah gajah sumatera untuk mempersempit ruang interaksi negatif terhadap manusia di satu sisi. Serta Langkah strategis konservasi gajah sumatera sehingga tidak punah.
“Untuk meminimalisir persoalan ini supaya tidak berlarut-larut, harus ada langkah konkret pemerintah serta kesadaran masyarakat menjaga ekosistem dan pelestarian hutan,” imbuhnya.
Membangun pembatas hijau (green barrier) atau batas alam jelajah gajah dengan pemukiman masyarakat, sebagai upaya menjaga kelestarian gajah tanpa mengesampingkan upaya konservasi dan membangunan manusianya. Harus juga dibarengi dengan pemberian izin skala besar bagi industri perhutanan, perkebunan dan tambang.
Populasi Gajah dalam Angka
Sebagaimana dijelaskan berkenaan dengan penurunan populasi gajah sumatera, terutama yang ada di Sumsel, hilangnya kantong gajah telah memengaruhi pertumbuhan yang lamban. Lebih dari empat decade (1980-2023), kantong gajah yang tercatat di 11 titik sebaran, tersisah 6-7 titik saja.
Mengenai jumlah populasi berdasarkan kantong gajah di Sumsel, terbesar di SM Padang Sugihan Simpang Heran, Banyuasin mencapai 631.953 hektare (ha) yang dihuni 141 individu. Selanjutnya di Benakat Semangus dikelilingi Kabupaten Musi Rawas, Musi Banyuasin, Pali, Lahat, dan Muaraenim, luas kantong gajah mencapai 259.801 ha dengan 46 individu.
Selanjutnya kantong gajah Sungai Lalan, Musi Banyuasin, luasannya mencapai 262.823 ha yang di dalamnya 22 individu. Kantong habitat Meranti Sungai Kapas, Musi Rawas, luasannya berkisar 52.074 ha dengan 9 individu; kantong habitat Mesuji, Ogan Komering Ilir, luas 64.712 ha dengan 6 individu; dan kantong habitat Saka Gunung Raya, OKU Selatan, luas 75.883 ha dengan 5 individu.
Sedangkan untuk dua kantong habitat lainnya tidak ditemukan adanya individu gajah sumatera. kedua kantong gajah tersebut berada di Suban Jeriji di antara Kabupaten Muaraenim, dan OKU, luasan mencapai 138.542 ha; dan juga kantong habitat Jambul Nanti Patah di antara Kabupaten Lahat, Pagaralam, Muaraenim, OKU, dan OKU Selatan, luas area 282.727 ha. “Semakin ke sini, dapat terlihat jelas habitat gajah beralih menjadi perkebunan dan bahkan pemukiman,” kata Prasetyo Widodo Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Hutan Kita Institute (HaKI) yang konsen terhadap konservasi satwa dilindungi di Sumsel, tersebut..
Alumni Fakultas MIPA Biologi Unsri ini juga mengungkapkan, interaksi-interaksi negatif gajah dan manusia yang terjadi disejumlah daerah di Sumsel, bukan terjadi begitu saja atau sebagaimana image yang terbangun bahwa gajah menjadi hama bagi petani.
“Gajah ini memang makhluk dengan memori yang sangat kuat, bahkan jalur jelajah gajah itu bisa turun temurun dan tidak berubah. Nah, konflik kemudian terjadi tatkala gajah masuk ke wilayahnya yang sudah beralih fungsi apakah itu menjadi perkebunan maupun perkampungan,” jelasnya.
Strategi Konservasi
Untuk menjaga populasi gajah sumatera dari ancaman kepunahan, diperlukan kerjasama banyak pihak terutama pemerintah sebagai regulator dalam menentukan kebijakan. Selain itu, harus adanya keseriusan pemerintah untuk menerapkan aturan itu sendiri.
Seperti halnya Kementerian Kehutanan Republik Indonesia juga sudah mengeluarkan dokumen terkait Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah (SRAK Gajah) sejak tahun 2007 hingga 2017. Kalau aturan ini tidak dijalankan, tentunya tidak akan memberikan dampak terhadap konservasi atau justru menimbulkan cepatnya punah populasi gajah sumatera.
“Saya maksudkan di sini, jangan sampai aturan itu hanya sebagai pajangan. Praktik lapangan, dengan kebijakan lainnya dikeluarkan yang kontra produktif terhadap semangat konservasi gajah sumatera serta satwa liar lainnya,” ujar Pras.
Selain membangun komunikasi dengan pemerintah, HaKI juga intens mengajak kelompok atau komunitas masyarakat sipil dan juga dunia akademisi untuk ikut serta mengkampayekan terkait konservasi gajah sumatera, untuk tetap menjaga keseimbangan alam tau lingkungan hidup.
“Sesugguhnya dengan mereka tahu akan pentingnya terpeliharanya habitat gajah, dampaknya luas terkait kelestarian lingkungan. Memang kami (HaKI) secara perlahan memasukkan pemahaman dan pengetahuan sehingga timbul benih kesadaran, minimal terhadap individu. Harapannya, mereka ikut menyuarakan hal ini,” jelas Pras.
Habitat gajah sangat dipengaruhi musim, ketika kemarau mereka akan datang di wilayah dataran rendah untuk mencari makan dan minum saat musim hujan mereka akan pergi ke wilayah dataran tinggi. Gajah memakan rumput-rumputan, daun, ranting, rotan, kulit batang pohon dan buah-buahan, serta berbagai tanaman budidaya. Gajah membutuhkan makanan antara 200 – 300 kg atau sepuluh persen bobot tubuh mereka, dan membutuhkan minum 100 – 150 liter setiap harinya, dan sekali isap bisa menghabiskan sembilan liter.
Hubungan dengan kelestarian lingkungan, gajah termasuk spesies payung (umbrella species) di dalam hutan, karena turut melestarikan penghijauan dalam hutan. Di habitatnya (kawasan hutan) pergerakan gajah mampu membuka ruang sinar matahari di dalam hutan, kotoran gajah menjadi pupuk bagi tanah sekaligus benih di hutan belantara.
Jika habitatnya asri, aman jauh dari jangkauan manusia atau gangguan, dan mereka dapat bergerak hingga sejauh 20 km tiap harinya, gajah dapat berkelompok dalam jumlah besar. Gajah sumatera sangat peka akan bunyi-bunyian. Untuk perkawinan, gajah membutuhkan suasana tenang dan nyaman. Oleh karena itu, suara kerja manusia seperti mesin gergaji dan alat berat sangat mengganggu perkembangbiakan gajah.
Lindungi Gajah Sumatera Selamatkan Bumi Kita
Mungkin kita bertanya-tanya apa hubungannya melindungi gajah dengan penyelamatan bumi ini? HaKI Bersama Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) menghubungkan hal ini, mengingat gajah salah satu satwa sangat terdampak atas perubahan iklim yang melanda dunia tak terkecuali negeri ini.
Pada diskusi publik yang digelar di Universitas Muhammdiyah Palembang, Senin (25/08/2024), HaKI menguraikan secara gamblang makna dari empat suku kata tersebut. Kekeringan, serta kebakaran hutan yang menjadi habitat gajah sumatera sangat mempengaruhi keberadaannya.
Dalam presentasinya Prasetyo menyampaikan, perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas.
Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bekerja seperti selimut yang melilit Bumi, menghasilkan panas matahari dan menaikkan suhu. Perubahan klim itu sendiri menyebabkan kenaikan suhu global, kenaikan permukaan air laut, perubahan pola cuaca ekstrem, gangguan ekosistem, ancaman terhadap ketahanan pangan, dan Penyebaran penyakit.
“Lantas apa hubungan dengan gajah? Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa individu gajah membutuhkan kurang lebih 100 liter air perhari, sehingga menghambat perkembangannya. Hal demikian juga menyebabkan gajah akan bermigrasi di luar wilayah jelajahnya untuk mencari ketersediaan air,” terangnya.
Dampak secara tidak langsung yang menyebabkan kerusakan pada habitat gajah, perubahan pakan akibat degradasi hutan (dari Hutan ke perkebunan atau pemanfaatan lahan lainnya). “Meski gajah memiliki adaptasi terhadap cuaca panas, tetapi tetap membutuhkan habitat yang mendukung untuk keberlanjutan hidupnya,” kata Pras.
Diskusi publik dengan mengusung tema “Dukungan Upaya Pelestarian Gajah di Sumatera Selatan” tersebut diselenggarakan dalam rangka Hari Gajah Dunia yang diperingati setiap tanggal 12 Agustus. Kegiatan ini digagas bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Hutan Kita Insitue (HaKI), Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Universitas Sriwijaya (Unsri), Harimau Kita, Plasma Nutfah Lestari (Plantari).
“Peranan generasi Z (GenZ) juga tidak lupa untuk dilibatkan. Mereka (GenZ) aktif di media sosial, sehingga sangat membantu untuk mengkampanyekan atau mewarnai ruang-ruang di berbagai platform terkait pelestarian gajah atau isu lingkungan secara luas,” kata Winda Indriarti Dosen Fakultas MIPA Biologi Unsri saat jadi pembicara. (*)