Home ARTICLE Mensikapi & Merefleksikan Bencana Asap Akibat KARHUTLAH 2023 di Sumatera Selatan

Mensikapi & Merefleksikan Bencana Asap Akibat KARHUTLAH 2023 di Sumatera Selatan

0

Siaran Pers :
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Asap Sumatera Selatan

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Asap Provinsi Sumatera Selatan 2023 beranggotakan : Walhi Sumsel, LBH Palembang, Hutan Kita Institute (HaKI), FITRA Sumsel, Pilar Nusantara (Pinus) Palembang, Solidaritas Perempuan (SP) Palembang, JPIK Sumsel, Sumsel Bersih Lestari, Sumsel Budget Center (SBC), dan Posko Rumah Merdeka.

Koalisi dibentuk sejak dimulainya kejadian kebakaran hutan dan lahan (KARHUTLAH) yang telah menyebabkan bencana asap menyelimuti provinsi Sumsel. Koalisi ini, terdiri dari setidaknya 10 (sepuluh) organisasi masyarakat sipil di Sumsel, yang memiliki konsen dan kepedulian terhadap penyelamatan lingkungan & hutan, penegakan hukum & hak asasi manusia (HAM), pelayanan & pembiayaan publik di provinsi Sumsel. Anggota koalisi telah melakukan pendampingan & pembinaan masyarakat, pelayanan upaya adaptasi dampak bencana asap, serta memberikan masukan kepada instansi terkait dalam upaya memitigasi kejadian KARHUTLAH.

Mensikapi dan merefleksikan bencana asap sebagai akibat dari KARHUTLAH tahun 2023, kompilasi fakta KARHUTLAH di provinsi Sumsel sebagai bahan Dessiminasi, advokasi dan masukan kepada instansi terkait agar kejadian ini tidak terus terulang.

PENYEBAB & DAMPAK

  1. KARHUTLA ini disebabkan oleh faktor manusia sebagai sumber api baik disengaja maupun tidak disengaja (kelalaian) dengan dukung oleh kondisi lahan yang sangat rawan/rentan terbakar (areal/lahan semak belukar yang kering dan juga lahan gambut kering kerontang yang memiliki tatakelola air yang buruk).
  2. Faktor kesiapsiagaan KARHUTLAH yang tidak didukung oleh sarana prasarana dan sistem kelembagaan yang kuat sampai ke tingkat tapak (lokasi), yang menjadikan KARHUTLAH terus terjadi dan meluas.
  3. Kejadian KARHUTLAH tahun 2023 ini, telah berdampak luas terhadap kerusakan ekologi dan juga memperburuk kondisi lingkungan hidup di provinsi Sumsel.
  4. Menjadikan kualitas udara Sumsel, khususnya kota Palembang pernah menduduki status terparah se-Indonesia bahkan lebih parah dari kota-kota besar se-Dunia.
  5. Kejadian masyarakat yang terpapar ISPA sangat melonjak tajam, yaitu; ISPA dibulan Juli mencapai 8.653 penderita, Agustus mencapai 9.367, dan di bulan September 10.708.

Fakta Pendekatan Prakmatisme dalam Pengendalian KARHUTLAH

Pengendalian KARHUTLAH yang dilakukan Pemerintah dan juga pemilik konsesi masih cenderung responsive melalui “pendekatan pemadaman” api, dan aspek “pendekatan pencegahan” belum menjadi prioritas utama dan masih berorientasi tujuan jangka pendek (keproyekan);

  • Sudah banyak bahkan ribuan unit pembangunan sarana & infrastruktur pembasahan (penimbunan & sekat kanal, sumur bor, serta embung) tidak efektif dan tidak berfungsi dalam mencegah KARHUTLAH.
  • Sudah banyak dibentuk regu dan/atau kelompok-kelompok masyarakat peduli api (KMPA) dan/atau kelompok tani peduli api (KTPA) oleh instansi terkait dan pemilik konsesi, namun hanya “sekedar nama” tanpa didukung pembinaan & sarana prasarana memadai.
  • KMPA dan/atau KTPA yang dibentuk hanya menjadi objek sebagai syarat mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari bagi perusahaan kehutanan dan sertifikat ISPO bagi perusahaan perkebunan, serta pemenuhan output kinerja bagi Pemerintah.
  • Pengelolaan lahan gambut masih sangat parsial dan tidak pernah terpikirkan pentingnya grand design penataan & pengelolaan air (water management) yang berbasis komprehensif sekala ekosistem dan/atau kesatuan hidrologis gambut (KHG).
  • Pentaatan dan/atau kepatuhan akan aturan bagi setiap konsesi (kehutanan & perkebunan) dalam memenuhi sarana dan prasarana pengendalian KARHUTLAH masih sangat lemah.
  • Tidak ada fasilitasi dan dukungan yang memadai dari Pemerintah dan juga perusahaan-perusahaan konsesi bagi masyarakat & petani yang kebutuhannya dalam membuka lahan, hanya bisa “melarang” dan “penegakan hukum” yang tajam kebawah dan tumpul ke atas.
  • Orientasi Pemerintah melalui KLHK yang hanya memikirkan kontribusi dalam mengoptimalkan sektor pencapaian angka PDB Nasional, Nilai Ekspor Hasil Hutan, TSL dan Bioprospecting, dan Peningkatan Nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) saja, tanpa memikirkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berkelanjutan

Pernyataan Sikap & tawaran SOLUSI dan mendesak Pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggung jawab secara tuntas. Guna memastikan KARHUTLA tidak boleh terjadi lagi di tahun mendatang.

  1. Kebijakan politik yang tegas dari pemerintah untuk menyatakan bahwa pelaku pembakar yang menyebabkan karhutla adalah extra ordinary ecologycal crime (kejahatan lingkungan luar biasa).
    Hal ini harus dilakukan oleh pemerintah pusat dengan kebijakan yang bersifat nasional karena sebaran karhutla ada di berbagai provinsi. Kebijakan ini akan memberikan efek psikologis yang kuat bahwa karhutla tidak bisa dianggap sepele. Tanggungjawab utama ada pada pemerintah pusat.
  1. Kebijakan pemberian sanksi hukum yang tegas dan berefek jera kepada pelaku pembakar hutan dan lahan.
    Saat ini sudah ada 11 perusahaan yang disegel oleh pemerintah. Tetapi dalam konteks karhutla, tidak cukup hanya penyegelan semata. Harus berlanjut ke tahapan berikutnya, sampai ke pidana penjara atau denda. Sanksi ini harus diseriusi karena akan memberikan efek jera bagi pelaku di masa datang. Penerima sanksi harus dibuka dan dipublikasikan seluas-luasnya dengan status sebagai pelaku extra ordinary ecological crime. Tanggung jawab utama ada pada Kementerian LHK, Kejaksaan, dan Pengadilan.
  2. Kebijakan yang memfokuskan penanganan karhutla pada aspek pencegahan (masa musim hujan).
    Pelaku kebijakan ini adalah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Semua harus bekerja keras dan berjibaku di musim hujan, bukan kemarau. Fokus semua kebijakan adalah pencegahan karhutla pada saat musim hujan. Pihak korporasi harus dilibatkan sejak awal dan mereka harus memiliki langkah strategis. Harus ada perubahan mindset bahwa menangani karhutla bukan menjadi pemadam kebakaran.
    Kebijakan politik yang tegas dari pemerintah untuk menyatakan bahwa pelaku pembakar yang menyebabkan karhutla adalah extra ordinary ecologycal crime (kejahatan lingkungan luar biasa).
    Hal ini harus dilakukan oleh pemerintah pusat dengan kebijakan yang bersifat nasional karena sebaran karhutla ada di berbagai provinsi. Kebijakan ini akan memberikan efek psikologis yang kuat bahwa karhutla tidak bisa dianggap sepele. Tanggungjawab utama ada pada pemerintah pusat.
  3. Kebijakan pemberian sanksi hukum yang tegas dan berefek jera kepada pelaku pembakar hutan dan lahan.
    Saat ini sudah ada 11 perusahaan yang disegel oleh pemerintah. Tetapi dalam konteks karhutla, tidak cukup hanya penyegelan semata. Harus berlanjut ke tahapan berikutnya, sampai ke pidana penjara atau denda. Sanksi ini harus diseriusi karena akan memberikan efek jera bagi pelaku di masa datang. Penerima sanksi harus dibuka dan dipublikasikan seluas-luasnya dengan status sebagai pelaku extra ordinary ecological crime. Tanggung jawab utama ada pada Kementerian LHK, Kejaksaan, dan Pengadilan.
  4. Kebijakan yang memfokuskan penanganan karhutla pada aspek pencegahan (masa musim hujan).
    Pelaku kebijakan ini adalah pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Semua harus bekerja keras dan berjibaku di musim hujan, bukan kemarau. Fokus semua kebijakan adalah pencegahan karhutla pada saat musim hujan. Pihak korporasi harus dilibatkan sejak awal dan mereka harus memiliki langkah strategis. Harus ada perubahan mindset bahwa menangani karhutla bukan menjadi pemadam kebakaran.

Exit mobile version