Kajian Kebijakan Perhutanan Sosial

Category:

Oleh : Deddy Permana S.Si

Direktur Program dan Jaringan HaKI / Praktisi Perhutanan Sosial

Perkembangan Kebijakan Perhutanan Sosial

Pembangunan kehutanan yang melibatkan peran serta masyarakat, pertama kali diperkenalkan oleh Komisi Nasional Pertanian di India pada tahun 1976. Saat itu, masyarakat telah mulai dilibatkan dalam rangka mendorong agar warga yang telah lama mengantungkan hidupnya hanya pada pencarian kayu bakar dan hasil hutan lainnya, dapat menghasilkan sumber pendapatan sendiri, tanpa harus menggangu sumber daya hutan yang ada. Dari sini diharapkan, fungsi hutan sebagai kawasan lindung dan konservasi dapat terjaga dengan lestari.

Pelibatan peran serta masyarakat inilah, yang pada akhirnya menjadi cikal bakal terciptanya model pengelolaan hutan yang kini kita kenal sebagai Kebijakan Program Perhutanan Sosial (PS). Selain diharapkan dapat menjaga kawasan hutan agar tetap lestari, Program Perhutanan Sosial lahir untuk menjawab pertanyaan apakah benar bahwa hutan sebagai sumber penghidupan warga masyarakat perdesaan, telah dioptimalkan fungsinya secara sosial, sehingga dapat membantu mengurangi dan mengatasi kemiskinan, bagi warga masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Di Indonesia program pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community Based Forest Management), dimulai tahun 1995, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan (Kepmen 622/95).

Kebijakan ini lahir untuk bisa mengakomodir peranserta masyarakat, dalam mengelola hutan, baik di dalam kawasan hutan produksi maupun di kawasan hutan lindung. Sayangnya, oleh banyak pihak, SK 622/Kpts-II/1995 dinilai masih artifisial, dalam model pemberdayaan masyarakatnya.

Selain jangka waktunya pendek (2 tahun), pemanfaatan hutan yang ada, ternyata sangat dibatasi hanya pada kegiatan tumpang sari dan hasil hutan bukan kayu. Bobot program masih hanya pada pemberdayaan masyarakat saja (yang mungkin belum utuh). sebelum itu Hutan Kemasyarakatan pertama kali dijadikan sebagai nama program di departemen kehutanan pada tahun 1986, sedangkan nama Perhutanan Sosial digunakan sebagaiperhutani mulai tahun 1986 (lihat kartasubrata et al 1994; Suharjito dan Darusman 1998; Suharjito et al 2000).

Kemudian pada tahun 1998, SK Menhut Nomor 622/Kpts-II/1995 diperbaharuimenjadi SK. Menhut Nomor 677/Kpts-II/1998. Essensi dari perubahan ini dimaksudkan untuk mengatur pemberian akses kepada masyarakat, dalam Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan melalui lembaga koperasi.

Pada tahun 2003 kementrian kehutanan mencanangkan program Sosial Forestry sebagai “payung” dari program – program kelola sosial pembangunan kehutanan. Konsep Sosial forestry ini ternyata mandeg (stagnant) karena tidak dikawal operasionalnya dan menjadi kabur dengan konsep yang sudah ada, yakni HKm Lagi-lagi disini masih hanya pada konsep pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya, seiring dengan kebijakan otonomi daerah, Menteri Kehutanan menetapkan SK Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, sebagai pengganti dari SK 865 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 677 Tentang Hutan Kemasyarakatan. Ketentuan (SK.31) ini, dipandang sebagai bagian dalam pelaksanaan desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan di tingkat daerah.

Dalam proses perjalanannya, ditahun 2007, program HKm kemudian diperluas dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Berdasarkan PP tersebut, ditetapkan pula peraturan teknis yang mengatur tentang HKm, HD, HTR dan Kemitraan Kehutanan.

Kebijakan Perhutanan Sosial ditetapkan sebagai kebijakan prioritas nasional pada tahun 2015 di bawah kendali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kebijakan tersebut menyediakan pemberian hak kelola legal kawasan hutan negara kepada masyarakat yang diatur dalam peraturan Menteri lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83 / Menlhk/ Setjen/ Kum.1/10/2016 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.39/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017 khusus di wilayah kerja Perum Perhutani.

Undang Undang Cipta Kerja (UUCK) Nomor 11 tahun 2020 tanggal 2 November 2020 yang telah disahkan dalam paripurna DPR RI, Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.

Pada paragraf 4 undang undang cipta kerja (UUCK) yang membahas persoalan kehutanan, pasal 35 menjelaskan bahwa undang undang tersebut mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan beberapa ketentuan dalam Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang disatukan dalam pasal 36. Setidaknya terdapat 20 pasal dalam UU kehutanan yang dirubah, Namun dalam pasal 36 UUCK disisipkam dua pasal di antara Pasal 29 dan pasal 30, yakni Pasal 29A dan Pasal 29B.

Pasal 29A ayat (1) berbunyi, “pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 dan pasal 28 dapat dilakukan kegiatan perhutanan Sosial”. Sedangkan dalam ayat (2) berbunyi, “Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapart diberikan kepada (a) Perorangan (b) kelompok tani hutan, dan (c) koperasi. Dan Pasal 28B berbunyi, ‘ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2021 tentang penyelengaraan Kehutanan yang secara khusus pembahasan tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial pada BAB VI (bab enam) pasal 203 sampai dengan pasal 247, pasal-pasal tersebut yang kemudian menjadi landasan hukum dikeluarkanya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan (Permin LHK) Nomor 09 tahun 2021 tentang pengelolaan perhutanan Sosial , sesuai dengan PP nomor 23 tahun 2021 pasal 247 berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perhutanan Sosial diatur dalam Peraturan Menteri”.

Dasar Hukum Terkini Tentang Perhutanan Sosial
Undang Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020, secara detil akan tindak lanjuti dengan peraturan pemerintah sesuai dengan ketentuan ketentuan Pasal 36 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor l1 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Kehutanan;

Perubahan Mendasar Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 dan Permen LHK Nomor 09 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Perubahan yang terjadi pada Permen LHK tidak lepas dari perubahan kebijakan diatasnya peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan ini secara umum mengalami perubahan dan perbaikan diberbagai pokok bahasan, yakni :

  • Akses legal Pengelolaan perhutanan sosial diberikan oleh pemerintah dalam bentuk Persetujuan atau Penetapan, Persetujuan meliputi; Persetujuan Pengelolaan Hutan Desa (PPHD), Persetujuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (PPHKm), Persetujuan Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (PPHTR), dan Persetujuan Kemitraan Kehutanan (PKK), dan Penetapan Status Hutan Adat, sedangkan akses legal Perhutanan Sosial pada kebijakan sebelumnya diberikan dalam bentuk Hak dan Perizinan.
  • Pembatasan luasan untuk satu unit Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial maksimal 5000 (lima ribu) hektar untuk satu unit PS (HD, HKm) dan Pembatasan diberlakukan pada skema HKm dan HTR untuk alokasi luasan adalah 15 hektar per KK, Untuk kemitraan kehutanan alokasi paling luas 5 (lima) hektar per kepala keluarga. Dan jumlah anggota dalam KTH yaitu minimal 15 kk dan maksimal 300 kk perkelompok.
  • Jika Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/2016 mengizinkan perorangan hanya bisa mengelola skema hutan tanaman rakyat, di aturan baru P.9/2021, perorangan bisa untuk skema apa saja kecuali Hutan Desa yang melalui lembaga desa atau gabungan lembaga desa dan Hutan Adat yang mensyaratkan oleh masyarakat hukum adat. Perorangan yang dimaksud tetap mensyaratkan tergabung dalam kelompok atau koperasi dengan masyarakat setempat (kelompok minimal 15 orang) dan tidak dijelaskan tentang jumlah perorangan yang dimaksud.
  • Persetujuan Pengelolaan HTR dapat diberikan kepada Kelompok Tani Hutan, Gabungan kelompok tani hutan, koperasi tani hutan; atau profesional kehutanan atau perorangan, walaupun ada peluang perorangan tapi tetap bahwa profesional kehutanan atau perorangan yang telah memperoleh pendidikan kehutanan atau bidang ilmu lainya yang memiliki pengalaman atau penyuluh di bidang kehutanan dengan membentuk kelompok atau koperasi bersama Masyarakat Setempat. Begitu juga dengan persetujuan pengelolaan HKm dapat diberikan kepada Perseorangan, kelompok tani; atau koperasi (pasal 21), perseorangan yang dimaksud pasal tersebut dengan katentuan bergabung atau membentuk kelompok masyarakat.
  • Area persetujuan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi untuk (HD, HKm, HTR) menghilangkan wilayah khusus KPH, Pengelola hutan dalam hal ini KPH tidak masuk pihak yang melakukan kegiatan Kemitraaan Kehutanan (tugas dan fungsi KPH tercantum dalam PP. Nomor 23/2021 pasal 123). Bagi skema HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, KULIN KONSERVASI, KULIN KK dan penetapan status Hutan Adat Sudah terbit Dinyatakan tetap berlaku sampai hak/izin berakhir dan yang sedang dalam proses dilanjutkan prosesnya dan disesuaikan dengan Permen LHK No. 9 /2021 pada pasal 198 Ketentuan Peralihan.
  • Pada Permen LHK Nomor 9 dalam skema Hutan Desa (HD) persetujuan pengelolaan diberikan kepada Lembaga desa yang memenuhi ketentuan yaitu Kepengurusan Lembaga Desa dan penerima manfaat HD, Pembentukan Lembaga Desa secara musyawara melalui Perdes dan pembentukan susunan pengurus lembaga desa melalui keputusan kepala Desa. Indentitas bisnis berupa KOPERASI DAN BUMDES TIDAK LAGI DISEBUTKAN DI Permen LHK Nomor 9, yang dapat mengajukan izin Hutan Desa seperti pada permen LHK No 83.
  • Pada Skema Kemitraan Kehutanan dalam penyusunan NKK (Naskah Kesepakatan Kerja) Dilakukan oleh Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan atau Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dengan Kelompok Masyarakat. NKK memuat: Identitas para pihak, areal dan peta, rencana dan obyek, biaya kegiatan, hak dan kewajiban, jangka waktu, pembagian hasil, dan penyelesaian perselisihan. Pada permen LHK nomor 9 ini Pembagian secara khusus diatur ketentuannya yaitu; Pada areal yang telah ada aset/modal dari pemegang perizinan berusaha/pemegang persetujuan penggunaan Kawasan maka 80% untuk pemegang perizinan dan 20% untuk masyarakat; Pada areal yang telah ada aset/modal dari masyarakat, maka 80% untuk masyarakat dan 20% untuk pemegang perizinan berusaha/pemegang perizinan penggunaan Kawasan; Dalam hal di lokasi KK belum ada tanaman, pembagian hasilnya 50% atau sesuai kesepakatan ( pasal 51 ayat 8)
  • Pada tahapan penetapan wilayah Indikatif Hutan Adat pada pasal 71 permohonan belum dilengkapi Perda MHA namun wilayah adat sudah ditetapkan bupati /wali kota. Jika tidak melengkapi Perda maka dibuat persetujuan Prinsip penetapan status Hutan adat dan MHA dapat menyusun rencanan pengembangan pengelolaan hutan adat sesuai fungsinya, Jika sudah melengkapi Perta maka dilakukan Penetapan Status Hutan Adat.
  • Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan Perhutanan Sosial termaktup dalam beberapa bahasan di permen LHK No. 9, diantaranya Penerima manfaat HD merupakan warga setempat dengan 1 (satu) keluarga diwakili 1 (satu) orang dengan memberikan kesempatan yang sama baik laki-laki maupun perempuan (pasal 10), Kelompok Tani Hutan pada HKm (pasal 21 poin 8), dan HTR (pasal 33 ayat 4 poin c), keanggota KTH adalah 1 keluarga diwakili 1 (satu) orang dengan memberikan kesempatan yang sama baik laki-laki maupun perempuan.
  • Pengaturan secara khusus tentang Jangka Benah dan kebun rakyat, perhutanan sosial pada ekosistem Gambut, pengenaan sanksi adminitrasi dan Kemitraan lingkungan yang permen LHK sebelumnya tidak diatur detil. P.09 PASAL 178 MENGATUR BAHWA Pada kawasan Hutan Produksi Jangka Benah dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) daur selama 25 (dua puluh lima) tahun sejak masa tanam. Pada kawasan Hutan Lindung atau Hutan Konservasi Jangka Benah dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) daur selama 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam. SELANJUTNYA PASAL 178 poin 3 Dalam hal tanaman sawit telah mencapai umur 25 (dua puluh lima) tahun pada Hutan Produksi dan 15 (lima belas) tahun pada Hutan Lindung dan Hutan Konservasi, tanaman sawit di bongkar dan ditanami pohon. Untuk pengelolaan HD terdapat Areal yang sudah dikelola oleh Masyarakat berupa tanaman sawit yang dilakukan oleh Perseorangan dan bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus, diberikan paling luas 5 (lima) hektar per orang. (pasal11 ayat 4) dan bagi area Pengelolaan HKm dan KK tanaman sawit secara perorangan pembentukan kelompok dan dibentuk kelompok dan diberikan paling luas 5 (lima) hektar per orang.
  • Pengenaan sanksi administratif bagi pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial yang melanggar ketentuan berdasarkan hasil pengawasan seperti dalam Bab VIII pasal 194 Sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. denda administrasi; c. pembekuan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial; dan/atau d. pencabutan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Hal ini diperaturan sebelumnya belum diatur.

Read More

Related Articles