Sejumlah pihak berupaya membenahi pengelolaan kopi asal Sumsel agar produk kopinya berkualitas sehingga memperkuat ”branding” kopi Sumsel di pasar domestik bahkan global. Hutan Kita Isntitute (HaKI) yang melakukan pendampingan Perhutanan Sosial di Sumsel, berikhtiar melakukan perbaikan tata kelola kopi untuk menaikkan kualitas produknya, termasuk di sisi hulu.
Yantiara (34) memetik kopi biji merah dari kebun kopi arabika yang ia tanam sejak dua tahun lalu di Dusun IV, Hutan Desa Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Selasa (19/7/2022). Dengan kemiringan sekitar 30 derajat, dia memanggul keranjang tempat menaruh biji kopi sembari menggandeng anak bungsunya, Attar (2).
Dengan telaten, ibu empat anak ini memetik kopi biji merah yang ditanam di lahan pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut (mdpl). ”Apabila biji kopi sudah merah bertanda telah matang,” jelasnya sembari terus memetik. Setelah terkumpul sekitar 3 kilogram (kg), kopi biji merah yang ia kumpulkan itu langsung diberikan kepada suaminya, Zamran (30).
Selanjutnya, Zamran merembang (mencuci) biji tersebut di sebuah bak. Jika ada biji kopi yang mengambang, ia langsung mengangkatnya untuk selanjutnya dijemur di rumah jemur kopi berukuran 4 meter x 6 meter dengan suhu sekitar 40 derajat celsius.
Proses perembangan adalah tahap sortir awal untuk membedakan biji kopi yang telah rusak. ”Jika biji kopi telah rusak atau belum matang, biasanya akan tenggelam,” ujarnya.
Selesai dicuci bersih, kopi biji merah tersebut dibawa ke rumah jemur kopi, lalu diletakkan di atas papan sepanjang 2 meter setinggi 70 sentimeter dari atas tanah. Selanjutnya biji kopi disebar agar penjemuran lebih merata. Penjemuran adalah proses paling krusial untuk menjaga kadar air biji kopi agar tetap di batas ideal, yakni berkisar 12 persen-14 persen.
Di sisi yang lain, ada sekitar 18 kg biji kopi yang telah dijemur selama 20 hari. Warnanya yang sebelumnya merah telah menjadi hitam, tanda biji kopi itu siap untuk dikupas menggunakan mesin huller (pengupas kulit kopi) untuk diolah menjadi biji kopi mentah (green bean).
Setelah pengupasan selesai, kopi itu pun kemudian dijual ke salah satu pendamping Perhutanan Sosial dari Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan Hutan Kita Institute (HaKi). Menurut rencana, kopi tersebut akan dipasarkan ke sejumlah kedai kopi di Palembang, Sumatera Selatan.
Biji kopi arabika itu dihargai sekitar Rp 80.000 per kilogram (kg) atau lebih tinggi dibandingkan ketika Zamran menjual kopi kepada pengepul lain yang hanya Rp 18.000-Rp 22.000 per kg.
Tingginya harga kopi milik Zamran itu karena ia memprosesnya secara profesional dengan sistem organik dan petik merah. ”Berbeda dengan yang biasanya dilakukan oleh petani lain yang cenderung petik asalan (pelangi) di mana biji kopi yang masih hijau dan kuning saja sudah mulai dipetik padahal biji kopi itu belum matang,” jelas Zamran.
Zamran mengubah pengelolaan pascapanen kopi di kebunnya menjadi lebih profesional atas dampingan Perhutanan Sosial dari Hutan Kita Isntitute (HaKI).
Proses petik merah memang membutuhkan kesabaran lebih. Karena dalam 1 hektar lahan dirinya hanya bisa memetik 30 kg-40 kg biji kopi per 15 hari, tetapi pemetikan akan terus berlangsung hingga bulan-bulan berikutnya.
Hal itu berbeda dengan petik asalan (petik pelangi) yang dipanen setahun sekali dalam jumlah besar, yang bisa mencapai 1 ton biji kopi. Hanya saja, harga yang ditawarkan jauh lebih rendah dibandingkan petik merah karena perbedaan kualitas.
Zamran juga telah menerapkan pertanian organik pada kopinya. Proses itu dimulai sejak menggali lubang tanaman yang selanjutnya akan diisi dengan pupuk kandang. Setelah itu, penanaman bibit kopi arabika lokal dilakukan. Pertumbuhan tanaman harus dijaga, termasuk dalam pemberian herbisida (racun rumput), jangan sampai mengganggu pertumbuhan tanaman.
Untuk mendapatkan kopi biji merah, Zamran harus menunggu sekitar dua tahun. ”Sekarang sudah panen dan harganya cukup menjanjikan,” katanya.
Pengolahan kopi setelah panen secara profesional juga diterapkan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Adalah Boedi dan Rusi Siruadi yang menjadi pioner penanaman tersebut. Mereka berdua merupakan Ketua dan Sekretaris dari Pengelola Hutan Kemasyarakatan (Hkm) Kibuk yang ditetapkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2018 lalu.
Di kawasan Perhutanan Sosial yang berada di lereng Gunung Dempo itu, petani menanam kopi arabika di atas lahan sekitar 20 hektar pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Selain kopi, mereka juga menanam tanaman sayur dengan sistem tumpang sari yang dinaungi pohon nangka dan alpukat.
Di kawasan yang berada di lereng Gunung Dempo itu, petani menanam kopi arabika di atas lahan sekitar 20 hektar pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Selain kopi, mereka juga menanam tanaman sayur dengan sistem tumpang sari yang dinaungi pohon nangka dan alpukat.
Sistem penanaman tersebut merupakan intensifikasi lahan sehingga petani bisa memperoleh pendapatan setiap bulan. Tidak saja dari penanaman, petani yang berada dinaungan HKm juga diajarkan untuk mengelola hasil kopinya secara profesional oleh pendamping Perhutanan Sosial HaKI. Total ada 132 petani dampingan HKm.
Melihat keseriusan itu, beragam bantuan dari pemerintah pun berdatangan. Mulai dari penyediaan bibit, fasilitas rumah jemur kopi, hingga alat-alat pengolahan pascapanen seperti mesin grinder, mesin roasting, mesin pengupas kulit kopi kering (huller), dan mesin pulper kopi yang berfungsi untuk mengupas kulit biji kopi merah yang masih basah dan segar.
Alat-alat tersebut merupakan sumbangan dari Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat dengan total bantuan Rp 1 miliar. Rusi menjelaskan, fasilitas ini mempermudah petani kopi untuk mengolah hasil panen dengan harga yang lebih baik. ”Jika kopi bisa dijual dalam bentuk bubuk harganya bisa mencapai ratusan ribu per kilogram,” ujarnya.
Namun, lanjut Rusi, memang butuh usaha lebih untuk menyosialisasikan pola pengelolaan itu kepada petani. Karena di kawasan tersebut masih banyak petani yang memilih untuk menjual kopinya kepada tengkulak karena membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya dan sudah terjebak dengan lilitan utang. ”Karena itu, pembentukan kelembagaan petani sangat dibutuhkan agar petani bisa memiliki posisi tawar yang lebih tinggi,” ucapnya.
Bahan oplosan
Pendamping Perhutanan Sosial dari HaKi, Aidil Fikri, menuturkan, potensi kopi asal Sumsel sungguhlah besar karena kopi Sumsel memiliki rasa yang unik. Hanya saja, keunggulan tersebut tenggelam lantaran kopi asal Sumsel hanya dijadikan bahan oplosan untuk kepentingan industri.
Biasanya, tengkulak akan mengumpulkan biji kopi petik asalan dari petani dan membelinya dengan harga rendah, yakni Rp 18.000-Rp 22.000 per kg, baik untuk arabika maupun robusta. Kemudian biji kopi tersebut diolah dan disortir di sejumlah perusahaan kopi yang berlokasi di Lampung.
”Kopi lalu dipisahkan berdasarkan grade-nya. Biji kopi berkualitas baik akan diekspor, sedangkan kopi kualitas rendah akan dijual di pasar domestik,” ungkap Aidil. Dengan sistem ini, industri akan lebih diuntungkan karena tidak perlu membayar mahal untuk kopi kualitas unggulan.
Karena itu, edukasi kepada petani terkait pengelolaan kopi harus terus digiatkan agar mereka dapat menghasilkan kopi kualitas premium dari tangan mereka sendiri. Cara ini dipandang cukup jitu untuk memperkenalkan kopi asal Sumsel ke kancah dunia.
Nyatanya, ujar Aidil, setelah ditawarkan ke sejumlah negara, banyak importir yang tertarik pada kopi asal Sumsel, terutama arabika, karena memiliki tingkat keasaman dan rasa buah yang unik jika dibandingkan kopi lain. ”Kebanyakan pemesan datang dari negara-negara di Eropa,” ucapnya.
Permasalahannya kini, sulit untuk memenuhi permintaan pasar yang membutuhkan kepastian stok hingga 50 ton-100 ton per bulan. ”Itulah sebabnya, produksi kopi arabika asal Sumsel masih dikhususkan untuk pasar domestik,” ucap Aidil.
Analis Madya Sarana dan Prasarana Perkebunan, Dinas Perkebunan, Sumatera Selatan Rudi Arpian mengatakan, Sumsel diampu sebagai penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia karena luas kebun kopinya mencapai 230.000 hektar dengan produktivitas sekitar 150.000 ton kopi per tahun.
Dengan kekayaan itu, sudah seharusnya kopi asal Sumsel memiliki nama besar. Apalagi beberapa varietas kopi asal Sumsel sudah mendapat sertifikat indikasi geografis dari Direktorat Jenderal Merek dan Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, seperti kopi Semendo, Pagar Alam, dan Empat Lawang.
Modal itu, ujar Rudi, bisa melecut para pegiat kopi Sumsel untuk tidak gentar bersaing dengan kopi dari daerah lain. Pihaknya pun menyebarkan sejumlah tenaga penyuluh ke beberapa sentra produksi kopi untuk turut menyosialisasikan pengelolaan pascapanen yang lebih baik.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru beranggapan keterbatasan infrastruktur juga menjadi kendala pengenalan kopi asal Sumsel. Kebanyakan, biji kopi dikirim ke Lampung karena mereka punya pelabuhan. Karena itu, Pemerintah Provinsi Sumsel terus berupaya untuk mempercepat pembangunan Pelabuhan Laut Dalam Tanjung Carat, Kabupaten Banyuasin.
Dengan begitu, kopi asal Sumsel bisa diekspor langsung dari Sumsel sehingga bisa memperkuat branding. Menurut Herman, penguatan identitas kopi Sumsel merupakan hal yang cukup krusial agar kopi asal Sumsel ke kancah dunia.
Sumber : Kompas
Oleh RHAMA PURNA JATI