Laporan Terkait komitmen “zero deforestation” Asia Pulp and Paper
Pada tanggal 5 Februari 2013, Asia Pulp & Paper (APP) mengumumkan “penghentian pembukaan hutan alam di seluruh rantai pasokannya di Indonesia.” Janji “zero deforestasi” perusahaan serta komitmen keberlanjutan lainnya seolah menandai perubahan signifikan kebiasaan APP selama dua dasawarsa sebelumnya. Sejak membangun dua pabrik pulp besar di Sumatera di pertengahan tahun 1990-an, produsen pulp dan kertas yang terkemuka di Indonesia tersebut dan anak perusahaannya sangat mengandalkan kayu rimba campuran (mixed tropical hardwood atau MTH) yang berasal dari kegiatan pembukaan hutan alam.
APP dan konglomerasi induknya, Grup Sinar Mas, dikritik karena merusak ekosistem hutan dan habitat penting bagi spesies yang terancam punah seperti Harimau Sumatera,menyingkirkan masyarakat lokal dari tanah adatnya, dan turut menyebabkan pemanasan global karena mengembangkan hutan tanaman di atas lahan gambut berkarbon tinggi.
Lima bulan setelah pengumuman komitmen keberlanjutannya, pada bulan Juli 2013, APP mengumumkan rencana pembangunan pabrik pulp ketiganya, yang berskala raksasa di Indonesia. Dengan pinjaman sebesar $2,5 miliar dari bank milik negara Tiongkok. Proyek PT OKI Pulp & Paper Mills tersebut di Sumatera Selatan akan meningkatkan kebutuhan bahan baku kayu APP secara keseluruhan sebesar lebih dari 50% jika, seperti telah diindikasikan perusahaan, kapasitas produksi pulp di pabrik akan sebesar 2,0 juta ton/tahun.
Namun, Direktur OKI baru-baru ini menyatakan bahwa APP merencanakan peningkatan kapasitas pabrik sampai 2,8 juta ton/tahun, sementara berita di industri pulp melaporkan bahwa peralatan yang dipesan untuk pabrik OKI dapat diupgrade sehingga memungkinkan produksi sebesar 3,2 juta ton/tahun. Kapasitas produksi yang lebih tinggi ini sesuai dengan pemberitaan diberbagai media massa yang menyatakan bahwa pabrik OKI akan menjadi salah satu pabrik pulp terbesar di dunia. Apabila kapasitas mencapai 2,8 juta ton/tahun, maka
kebutuhan bahan baku kayu grup akan meningkat sebesar hampir 75%; dan jika kapasitas akhirnya mencapai 3,2 juta ton/tahun, kebutuhannya akan meningkat sebesar 85% sampai hampir 33 juta meter kubik (m 3 ).
Mengingat komitmen APP yang hanya akan menggunakan serat kayu yang berasal dari hutan tanaman, maka banyak pemangku kepentingan sekarang akan bertanya: Akankah hutan tanaman milik grup mampu menghasilkan kayu dalam volume yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ketiga pabrik pulp di Sumatera ketika pabrik OKI sudah mulai produksi? Dan jika ternyata hutan tanaman Sinar Mas/APP tidak mampu menghasilkan kayu dalam volume yang cukup, akankah grup tersebut kembali melakukan pembukaan hutan alam?
Laporan ini mengulas tentang konsesi Sinar Mas/APP di Sumatera Selatan dan apakah luas areal tanam yang sudah dikembangkan cukup untuk menghasilkan volume serat kayu yang akan dibutuhkan pabrik OKI pada kapasitas produksi pulp sebesar 2,0 juta, 2,8 juta, dan 3,2 juta ton/tahun.
Berdasarkan luas areal tanam yang dilaporkan APP pada tahun 2015, analisis dalam kajian ini menemukan kekurangan luas areal konsesi milik grup di Sumatera Selatan setidaknya sebesar 59.000 hektar lebih kecil dari luas areal hutan tanaman yang diperlukan untuk menghasilkan volume serat kayu yang akan dikonsumsi OKI, bahkan pada skenario dengan laju pertumbuhan tinggi dan dengan kapasitas pulp sebesar 2,0 juta ton/tahun pun.
Kekurangan ini diproyeksikan menjadi jauh lebih besar di bawah jika menggunakan skenario dengan laju pertumbuhan sedang atau rendah di hutan tanaman, dan/atau jika kapasitas pulp OKI ditingkatkan menjadi 2,8 juta atau 3,2 juta ton/tahun. Setelah bencana kebakaran tahun 2015 – di mana areal hutan tanaman Akasia yang diperkirakan seluas 86.000 di dalam konsesi Sinar Mas/APP ikut terbakar – defisit ini jauh lebih besar sekarang, bahkan dari satu tahun yang lalu.
Untuk grup usaha secara keseluruhan, hasil analisis mengindikasikan juga menemukan bahwa areal tanam APP yang sudah dikembangkan di seluruh Indonesia sampai saat ini tidak akan memadai untuk memenuhi kebutuhan serat kayu untuk kedua pabrik grup yang sudah ada serta untuk pabrik OKI.
Bahkan dalam skenario dengan laju pertumbuhan tinggi, dan asumsi kapasitas pulp di pabrik OKI sebesar 2,0 juta ton/tahun, proyeksi menunjukkan bahwa APP akan dihadapkan dengan kekurangan bahan baku tahunan setidaknya sebesar 3 juta m 3 . Kekurangan yang terjadi setiap tahun ini diproyeksikan meningkat sampai lebih dari 11 juta m 3 di jika menggunakan bawah skenario dengan laju pertumbuhan sedang dan/atau apabila kapasitas produksi pulp pabrik OKI meningkat sampai 2,8 juta atau 3,2 juta ton/tahun.
Dalam skenario dengan laju pertumbuhan rendah, kekurangan akan jauh lebih besar lagi. Terlepas dari pernyataannya mengenai transparansi pada tingkat yang “belum pernah ada sebelumnya,” APP tetap tidak mengumumkan secara detil mengenai pasokan kayunya di masa yang akan datang.
Perusahaan hanya memberikanjanji bahwa para pemasoknya akan mampu menghasilkan volume kayu hutan tanaman yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang grup akan bahan baku serat kayu, dan mempertahankan komitmen keberlanjutan mereka. Untuk mendukung klaim ini, APP mengacu pada kajian terhadap pertumbuhan dan hasil panen yang dilakukan oleh The Forest Trust bersama konsultansi kehutanan Ata Marie yang dibiayai oleh mereka.
TFT dan Ata Marie diketahui hanya mengkaji pasokan kayu sampai dengan tahun 2020. Melihat jangkauan kajian mereka, ini sangat mengkhawatirkan karena kajian hanya mencakup empat tahun pertama beroperasinya pabrik. Padahal pabrik OKI akan memproduksi pulp selama berpuluh-puluh tahun ke depan. Sepengetahuan penulis laporan ini (per 10 April 2016), kajian tersebut dan data yang mendasarinya belum diterbitkan untuk dicermati oleh publik luas. Selain itu, pada waktu kesimpulan kajian itu diumumkan pada tahun 2014, The Forest Trust maupun APP tidak menjelaskan secara terbuka bahwa pasokan kayu perusahaan hanya dikaji sampai dengan tahun 2020.
Untuk Laporan lengkap silakan Download DISINI